Semangat untuk Tetap Bersekolah

Jurnalis : Apriyanto, Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto
 
foto

Dengan berkaca-kaca, Sukarmi mencurahkan isi hatinya kepada Oey Hoey Leng, relawan Tzu Chi. Sebelumnya Sukarmi juga membagikan pengalaman hidupnya dan menyatakan tekadnya untuk tetap melanjutkan pendidikannya yang sempat tertunda.

”Coba Tzu Chi dari dulu sudah ada (di Pati), mungkin saya nggak seperti ini, bisa lebih maju lagi.”

(Sukarmi, warga Desa Bleber, Cluwak, Pati)
Air mata itu sudah lama mengering. Namun sisa-sisa haru dan kesedihan masih tampak lekat di wajah Sukarmi (30). Sambil memangku anak keduanya, Irvam Adhi Saputra, Sukarmi dengan tekun menyimak setiap kegiatan yang dilakukan relawan Tzu Chi dari Jakarta di Vihara Asoka Maura, Cluwak, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Tanpa sungkan dan malu-malu, Sukarmi mengungkapkan pengalaman masa kecilnya yang ”kelabu” sekaligus mencurahkan isi hatinya. Detik itu pula ia mengikrarkan tekadnya, ”Saya akan berusaha agar anak-anak saya (laki-laki ataupun perempuan) untuk bersekolah selama saya dan suami mampu membiayai.”

Anak Perempuan Tak Layak Sekolah
Mungkin apa yang dialami Sukarmi banyak menimpa anak-anak –khususnya perempuan– di desa. Anak perempuan dianggap tak layak dan tak perlu untuk bersekolah. Sekuat dan setinggi apapun tekad, sulit untuk bisa mewujudkannya manakala hambatan terbesar justru datang dari orang terdekat, sang ayah. ”Ibu mendukung saya (bersekolah), tapi nggak bisa berbuat apa-apa,” ungkap Sukarmi dengan mata berkaca-kaca. Bahkan meskipun mampu, sang ayah tetap bersikukuh agar Sukarmi cukup bersekolah hingga sekolah dasar (SD) saja. ”Anak perempuan paling-paling juga nanti di dapur,” kata Sukarmi, menirukan kata-kata ayahnya puluhan tahun silam.

Sejak kecil prestasi belajar Sukarmi bisa dibilang biasa-biasa saja. Meski begitu, tak sekalipun ia tinggal kelas dan semangatnya untuk melanjutkan sekolah pun sangat tinggi. Beruntung, melihat hal itu, kakek Sukarmi bersedia menanggung biaya pendidikannya hingga SMP. ”Padahal waktu itu kakek (hidupnya) pas-pasan. Akhirnya orangtua juga ikut bantu,” jelasnya. Tiga tahun berlalu, Sukarmi pun kembali menghadapi masalah yang sama. Ayahnya ngotot menyuruhnya untuk tidak melanjutkan ke SMA. Sang ayah yang petani ini tetap berprinsip jika sekolah tidaklah penting –apalagi untuk anak perempuan.

foto  foto

Ket : - Dalam setiap kunjungan kasih, relawan Tzu Chi selalu memberi semangat bagi anak-anak asuh Pati.
           Agus Hartono, relawan Tzu Chi dari Jakarta tengah menjelaskan kegiatan yang dilakukan Tzu Chi di Jakarta,
           khususnya Tzu Ching (muda-mudi Tzu Chi). (kiri)
         - Hok Lay, relawan Tzu Chi Jakarta tengah membawakan permainan menarik bagi anak-anak. Meski baru
           pertama kali ke Pati, Hok Lay cepat akrab dan merasa senang dengan semangat anak-anak untuk
           bersekolah dan berdana. (kanan)

Sedih dan tak berdaya, akhirnya Sukarmi pun tak melanjutkan sekolah seperti teman-teman lainnya. Ibunya yang berdagang kecil-kecilan di pasar, mencoba untuk menghiburnya. ”Saya dijanjikan untuk melanjutkan sekolah tahun depan,” ujar Sukarmi. Agar biaya untuk masuk sekolah tak mencolok, Sukarmi pun menabung di celengan bambu dari uang yang diberikan ibunya setiap hari. ”Itu pun saya umpetin di kolong tempat tidur, takut diambil bapak,” katanya sambil terisak. Wajahnya pun memerah dan air mata pun meleleh di pipinya.

Suatu ketika, Sukarmi memiliki keinginan untuk bisa menjahit. Maka, ia pun membongkar celengan bambunya untuk biaya kursus. Kesempatan untuk melanjutkan sekolah pun pupus sudah. Setelah lulus kursus menjahit, bersama 20 orang anak muda warga desanya, Sukarmi merantau ke Jakarta. Kala itu mereka dijanjikan untuk bekerja di pabrik dan ada pula yang dijanjikan untuk disekolahkan. Tertarik, tanpa pikir dua kali Sukarmi pun merantau ke ibukota. ”Tapi begitu di sana (Jakarta –red), saya malah dijadikan pembantu rumah tangga,” kata Sukarmi lirih. Kali ini tangisnya pun pecah kembali. ”Bahkan ada teman yang lulusan SMA juga dijadikan pembantu seperti saya,” ujarnya mengenang. Dari sang teman ini pulalah kemudian para orangtua –termasuk ayah Sukarmi– mengetahui jika anak-anak mereka tak diperlakukan layak seperti janji-janji orang yang mengajak mereka.

foto  foto

Ket : - Anak-anak asuh yang berhasil menjawab pertanyaan yang diajukan mendapatkan hadiah terindah buku
           "Teladan Cinta Kasih" karya Master Cheng Yen. (kiri)
         - Anak-anak asuh Tzu Chi di Vihara Asoka Maura memberikan uang yang
           mereka sisihkan dari uang saku mereka ke dalam celengan bambu untuk turut berpartisipasi membantu
           sesama. (kanan)

Dijemput Ayah Pulang
Mendengar putri pertamanya dipekerjakan sebagai pembantu, ayah Sukarmi pun tak rela. Setelah menjual kambing peliharaannya, sang ayah pun menyusul ke Jakarta. Berbekal uang saku yang tak seberapa, sang ayah pun berusaha menemukan dan menjemput Sukarmi. ”Waktu itu bapak nyasar, namanya orang kampung baru pertama kali ke Jakarta,” kata Sukarmi. Beruntung, mereka pun akhirnya bertemu, dan ayahnya pun langsung memboyong Sukarmi kembali ke kampung. ”Saya nggak mau pengalaman pahit ini menimpa ke adik dan anak-anak saya,” ujarnya.

Adik Sukarmi, Jumiah rupanya jauh lebih beruntung. Selain telah terbukanya kesadaran sang ayah tentang betapa pentingnya sekolah, Jumiah pun menjadi anak asuh Tzu Chi dan meneruskan ke Akademi Perawatan (Akper) St. Elisabeth di Semarang, Jawa Tengah. Jumiah kini telah bekerja di RSKB Cinta Kasih Jakarta dan menjadi kebanggaan bagi keluarga, khususnya Sukarmi. ”Saya salut dengan adik saya, terutama dengan nilai-nilai yang diberikan Tzu Chi bahwa tangan di atas itu lebih baik dari tangan di bawah,” kata Sukarmi mengulang perkataan adiknya. Ketika ibu mereka sakit gondok dan harus dioperasi, Sukarmi kemudian meminta saran pada adiknya apakah ibu mereka didaftarkan saja sebagai pasien penanganan khusus Tzu Chi. ”Tapi ditolak sama adik saya, katanya biar saya aja yang bayar, mencicil pun ndak papa,” terang Sukarmi haru.

Meski kini sudah menikah dan memiliki dua anak dari perkawinannya dengan Karyono, Sukarmi tetap memegang teguh semangatnya untuk sekolah. Ia mengikuti Kejar Paket C (setara SMA). ”Waktu saya bilang sama adik (Jumiah –red) kalo saya mau daftar jadi anak asuh Tzu Chi, dia larang. Dia bilang biar dia aja yang biayai saya. Nilai-nilai dari Tzu Chi ini yang saya salut dari dia,” ungkap Sukarmi bangga. Sukarmi pun bersyukur adiknya bisa memperoleh beasiswa pendidikan dari Tzu Chi hingga bisa seperti ini. ”Walau saya nggak merasakan beasiswa Tzu Chi, tapi saya sangat senang dengan apa yang sudah dicapai adik saya dan anak-anak lainnya di Pati,” katanya.

foto

Ket : - Ruswaty, relawan Tzu Chi dari Jakarta tengah mengajarkan isyarat tangan kepada warga Pati. Ruswaty
          juga merasa kagum dengan kerelaan warga Pati untuk bersumbangsih.


Seperti menjawab rasa syukurnya, Sukarmi dan ratusan anak asuh Tzu Chi di Pati ini memberikan hasil tabungan mereka di celengan bambu untuk disumbangkan ke Tzu Chi untuk turut berbuat kebajikan. Hal ini sangat menyentuh hati relawan Tzu Chi, salah satunya Ruswaty (ketua He Qi Selatan) yang baru kali ini bertemu dengan anak-anak asuh Tzu Chi di Pati. ”Sangat senang melihat antusias anak-anak dan warga Pati terhadap Tzu Chi. Karena itu, saya berpikir agar minimal setahun sekali Tzu Chi harus datang ke Pati untuk memberi bimbingan dan semangat kepada warga Pati,” kata Ruswaty bangga.

Bukan besarnya dana yang memberi kebahagiaan bagi relawan Tzu Chi, tetapi kerelaan warga dalam bersumbangsih di tengah kehidupan warga yang sederhana. ”Kita tidak bisa menilai dari besarnya uang. Mungkin bagi kita (di Jakarta) uang segitu kecil, tetapi bagi mereka itu sudah harta yang besar bagi mereka. Walaupun minim, kita harus hargai usaha mereka,” tambah Ruswaty. Sementara bagi Hok Lay, relawan Tzu Chi yang juga baru kali ini berkunjung ke Pati mengatakan, ”Kita lihat, bukan banyaknya uang, tetapi banyaknya jiwa yang terketuk untuk melakukan suatu kebajikan. Ini adalah jiwa yang masih muda bisa melakukan begini, berarti mereka melakukan sesuatu yang berarti dengan adanya kita di sini, ini akan melekat di ingatan mereka sampai kapanpun.”

 

Artikel Terkait

Menanamkan Sikap Welas Asih dalam Diri Anak-anak

Menanamkan Sikap Welas Asih dalam Diri Anak-anak

13 November 2018

Kelas Budi Pekerti yang digelar Tzu Chi Bandung mulai menampakan hasil yang baik dari anak-anak (Xiao Pu Sa). Mereka sudah memiliki sikap dan etika yang baik ketika di rumah, disiplin, dan berbakti kepada orang tua.

 Melestarikan Lingkungan, Mempraktikkan 1 Hari 5 Kebajikan

Melestarikan Lingkungan, Mempraktikkan 1 Hari 5 Kebajikan

04 November 2022

Relawan Tzu Chi komunitas Hu Ai Angke pada Minggu 16 Oktober 2022 mengadakan kegiatan pelestarian lingkungan di Komplek Duta Harapan Indah, Kapuk Muara. Pada kegiatan ini ada 56 orang yang terlibat mulai dari relawan Tzu Chi, warga, serta pengurus RT dan RW 02 Kapuk Muara.

Selamat Ulang Tahun, DAAI TV Indonesia!

Selamat Ulang Tahun, DAAI TV Indonesia!

26 Agustus 2021

HUT ke-14 DAAI TV Indonesia dirayakan secara internal pada 25 Agustus 2021. Perayaan itu adalah wujud syukur seluruh tim atas kerja keras dan konsistensi akan penyiaran yang tetap menjaga pedoman kebenaran, kebajikan, dan keindahan di tengah keterbatasan dalam situasi pandemic.

Semua manusia berkeinginan untuk "memiliki", padahal "memiliki" adalah sumber dari kerisauan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -