Pembukaan seminar geriatri TIMA Indonesia ke-23 di Aula Jing Si, Tzu Chi Center, PIK. Dr. Imran Pambudi, M.P.H.N. dari Kementerian Kesehatan RI menyampaikan apresiasi terhadap kontribusi TIMA Indonesia dalam meningkatkan kualitas pelayanan bagi lansia di Indonesia.
Indonesia kini sedang memasuki era aging population, yang mana jumlah penduduk lanjut usia makin banyak. Fenomena ini menuntut perhatian ekstra supaya para lansia ini tak hanya panjang umur, tapi juga tetap mandiri, sehat, dan bahagia di tengah keluarga yang menyayangi mereka.
Salah satu organisasi yang sangat peduli dengan isu ini adalah TIMA Indonesia (Tzu Chi International Medical Association). Dalam rangka merayakan hari jadinya yang ke-23 tahun, TIMA Indonesia menyelenggarakan berbagai kegiatan edukatif dan sosial yang fokus pada kesehatan lansia. Salah satunya seminar geriatri bertajuk Optimalisasi Pelayanan Geriatri Terpadu dengan Kolaborasi Lintas Disiplin Menuju Lansia Bahagia dan Sejahtera, yang digelar pada Minggu 19 Oktober 2025 di Aula Jing Si, Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara.
Seminar yang berlangsung pukul 09.00 hingga 16.00 WIB ini dibagi menjadi dua sesi, satu untuk tenaga medis dengan 323 peserta, dan satu lagi untuk relawan Tzu Chi serta masyarakat umum yang diikuti oleh 83 peserta. Materi disesuaikan dengan peran masing-masing peserta. Seminar ini berkolaborasi dengan lintas disiplin.
“Acara ini juga berkaitan dengan bakti sosial kami yang bersifat degeneratif. Di sini kami menimba ilmu dari para pakar, terutama dari sivitas akademika seperti UI, Atma Jaya, Untar, dan Trisakti. Kami ingin membangun persepsi bersama tentang bagaimana membantu masyarakat, terutama para lansia,” ujar dr. Ruth, Wakil Ketua Harian TIMA Indonesia.
Peserta seminar antusias menyimak materi tentang pentingnya menjaga kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual pada usia lanjut.
Dr. Ruth, Wakil Ketua Harian TIMA Indonesia (tengah) berbagi visi tentang pentingnya pelayanan geriatri terpadu agar lansia tidak hanya panjang umur, tapi juga hidup sehat dan bahagia.
TIMA Indonesia memang secara rutin mengadakan bakti sosial degeneratif setiap tiga bulan sekali berturut-turut, bekerja sama dengan komunitas relawan Tzu Chi di berbagai kota di Indonesia.
Seminar ini mendapat dukungan penuh dari Kementerian Kesehatan RI, khususnya Direktorat Penyakit Rentan dan Lansia. Dr. Imran Pambudi, M.P.H.N., Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kementerian Kesehatan menyampaikan apresiasi atas kontribusi TIMA dan Tzu Chi Indonesia.
“Laju pertumbuhan lansia di Indonesia bahkan lebih cepat dari Jepang. Karena itu pelayanan geriatri harus bersifat komprehensif, tidak hanya medis, tetapi juga sosial dan psikologis,” ujarnya.
Pada tahun 2024, terang Dr. Imran, jumlah lansia di Indonesia mencapai 12%, dan diperkirakan pada 2045 akan mencapai hampir 20%, artinya 1 dari 5 orang Indonesia adalah lansia. Saat ini terdapat 21 provinsi yang telah memasuki fase aging population. Yogyakarta memiliki proporsi tertinggi (hampir 16%), sementara jumlah lansia terbanyak ada di Jawa Timur. Menariknya lebih dari 90% lansia Indonesia masih mandiri, meski sebagian besar tinggal bersama keluarga.
Beberapa masalah kesehatan utama yang dihadapi lansia antara lain hipertensi (63%), demensia (sekitar 2 juta kasus), penurunan mobilitas, penglihatan, pendengaran, ingatan, dan imunitas. Kemudian kebutuhan pengobatan jangka panjang dan meningkatnya biaya perawatan. Lalu Penurunan tingkat kemandirian dan kebutuhan long-term care.
Kementerian Kesehatan mengembangkan tiga pilar utama pelayanan lansia, yaitu promotif dan preventif berupa edukasi, skrining, dan deteksi dini penyakit kronis. Lalu Kuratif yaitu penguatan Puskesmas Santun Lansia dan layanan geriatri terpadu di rumah sakit. Kemudian Rehabilitatif, pengembangan sistem long-term care bagi lansia dengan ketergantungan tinggi.
Dr. Pascalis Andrew menjelaskan konsep “frailty” dengan contoh kasus nyata, membuat peserta mudah memahami pentingnya menjaga kekuatan otot.
Dalam sesi materi yang ditujukan bagi masyarakat umum dan relawan, Dr. Pascalis Andrew, Sp.PD-KGer. dari Tzu Chi Hospital PIK membawakan topik menarik berjudul Bagaimana Menjadi Rekan Sehat bagi Lansia: Cara Sederhana untuk Mengenali dan Mencegah Kelemahan Sejak Dini.
Dr. Pascalis membuka dengan ilustrasi sederhana. Ada seorang pria bernama Pak Tony usia 60 tahun. Ia masih mandiri, bisa berbelanja, makan, dan membersihkan rumah sendiri. Namun belakangan ia merasa lemas, tak bersemangat, dan lebih sering ingin duduk atau tidur. Pemeriksaan medis normal tapi kondisi ini bisa menjadi tanda frailty atau kerapuhan, saat tubuh mulai kehilangan kemampuan pulih dari stres fisik, emosional, atau lingkungan.
Seiring bertambahnya usia, fungsi tubuh menurun, mulai dari otot, otak, hingga indera. Namun penurunan ini bukan berarti harus pasrah. Dengan menjaga tubuh dan pikiran tetap aktif, kualitas hidup bisa tetap tinggi. Banyak orang sehat hingga usia 80–90 tahun, bahkan lebih.
Dalam dunia kesehatan, pencegahan dibagi tiga yakni menjaga kesehatan sejak awal, memperbaiki saat muncul tanda kelemahan, dan mempertahankan kualitas hidup bagi yang sudah rentan. Bahkan lansia yang sangat lemah masih bisa merasa berharga dan terhubung secara sosial.
Empat pilar utama kehidupan sehat menurut Dr. Pascalis adalah fisik, mental, sosial, dan spiritual. Jika salah satunya goyah, kualitas hidup ikut menurun. Massa otot mulai menurun sejak usia 40 dan semakin cepat setelah 60. Aktivitas fisik dan latihan kekuatan otot sangat penting. Tanda kehilangan massa otot (sarkopenia) antara lain mudah lelah, berjalan pelan, sering kehilangan keseimbangan, dan sulit berdiri dari duduk. Tes sederhana duduk-berdiri lima kali dalam 12 detik bisa menilai kondisi otot.
Selain fisik, otak dan kemampuan bersosialisasi harus tetap dilatih. Tes sederhana, seperti mengingat tiga kata dan menggambar jam, bisa membantu menilai fungsi kognitif. Lansia perlu rangsangan dari hal-hal baru, interaksi sosial, dan aktivitas di luar rumah agar otak tetap aktif. Rutinitas dan hobi membantu tubuh mempertahankan ritme alami, membuat tidur lebih nyenyak, dan menjaga semangat. Sementara itu, menemukan makna hidup, misalnya lewat membantu orang lain atau berkontribusi di komunitas, memberi arah dan semangat untuk tetap bertahan dan bahagia.
Dengan menjaga fisik, mental, sosial, dan spiritual, lansia bisa tetap sehat, mandiri, dan menikmati hidup meski usia terus bertambah. “Banyak orang merasa sehat karena tidak sakit, padahal massa ototnya sudah menurun. Menjaga otot sama pentingnya dengan menjaga jantung. Tidak ada orang yang menyesal karena terlalu kuat,” ujarnya disambut tawa peserta.
Merawat Otak yang Menua: Stroke dan Demensia dibawakan oleh dr. Reinhardt Oktofianto, Sp.S. Ia menjelaskan, seiring bertambahnya usia, risiko gangguan saraf seperti stroke dan demensia meningkat. Mengetahui tanda-tanda awal dan langkah penanganannya sangat penting untuk menjaga kualitas hidup lansia.
Stroke terjadi saat suplai darah ke otak tersumbat atau pembuluh darah pecah, menyebabkan kerusakan sel otak. Tiga kunci mengenali stroke adalah adanya gejala neurologis, sifatnya mendadak, dan menyerang satu sisi tubuh. Contohnya, wajah mencong, tangan lemas, atau kesulitan bicara yang tiba-tiba. Metode FAST (Face, Arm, Speech, Time) membantu pengenalan. Penanganan cepat sangat penting karena setiap menit penundaan bisa merusak sel otak yang seharusnya bisa diselamatkan.
Keluarga atau caregiver berperan besar dalam pemulihan pasien stroke. Dukungan emosional, bantuan aktivitas fisik, pengawasan diet, serta motivasi untuk menjalani rehabilitasi sangat menentukan keberhasilan pasien kembali aktif.
Demensia adalah penurunan fungsi kognitif progresif yang mengganggu kemampuan berpikir, bernalar, menghitung, dan menjalani aktivitas sehari-hari. Stadium awal disebut Mild Cognitive Impairment (MCI), di mana pasien mulai lupa-lupa tapi masih mandiri. Penanganannya meliputi latihan kognitif, dukungan emosional, bantuan aktivitas harian, serta stimulasi sosial.
Stroke dan demensia bukan akhir hidup. Dengan deteksi dini, penanganan cepat, rehabilitasi, dan dukungan keluarga, pasien tetap bisa menikmati kualitas hidup yang baik. Mengetahui tanda-tanda awal dan faktor risiko adalah langkah pertama untuk menjaga otak tetap sehat di usia senja.
Megawati (kanan) dengan senyum ramah menimba ilmu tentang hidup sehat di usia lanjut.
Sementara itu antusiasme peserta seminar sangat tinggi, baik dari kalangan relawan maupun masyarakat umum. Megawati (65), relawan Tzu Chi yang masih aktif bekerja di pabrik, mengaku sangat termotivasi mengikuti seminar ini. “Saya sudah lansia, jadi harus mulai mempersiapkan diri. Sekarang lagi tren menaikkan massa otot, dan saya juga enggak mau gampang jatuh,” katanya sambil tersenyum.
Meski sibuk, Megawati tetap aktif berolahraga seperti bersepeda, taichi di pagi hari, berjalan kaki lebih dari 6.000 langkah, serta yoga sepulang kerja. “Materinya bagus sekali, saya jadi tahu pentingnya menjaga otot sejak sekarang. Saya bahkan sudah daftar seminar ini dua bulan lalu,” ujarnya antusias.
Heri apoteker dan anggota TIMA Bandung, hadir sebagai peserta yang ingin memperdalam pengetahuan tentang pelayanan geriatri.
Hal senada disampaikan Heri (56), seorang apoteker dan anggota TIMA Bandung. “Temanya sangat relevan dan mengedukasi kami, baik sebagai tenaga kesehatan maupun masyarakat umum,” katanya.
Dengan meningkatnya jumlah lansia di Indonesia, seminar seperti yang diselenggarakan TIMA Indonesia ini menjadi sangat penting. Tak hanya memberi pengetahuan medis, tapi juga membekali masyarakat dan relawan dengan kemampuan untuk mendukung lansia agar tetap mandiri, sehat, dan bahagia.
Editor: Metta Wulandari