Tzu Ching Camp: Bersatu Kembali untuk Orang Tua

Jurnalis : Joko Hermanto, Widya (Tzu Ching Jakarta), Fotografer : Elysa, Widya (Tzu Ching Jakarta)
 
 

foto
Tzu Ching Camp 8 yang diadakan di Aula Jing Si pada tanggal 8-9 Juni 2013 ini diikuti sebanyak 198 peserta.

Perjalanan generasi muda Tzu Chi, Tzu Ching tahun ini akan menginjak usia yang ke 10 tahun. Hingga kini, semangat dan tekad dari Tzu Ching bagaikan air yang mengalir, tidak akan pernah putus walaupun dibelah berkali-kali dan akan tetap kembali bersatu lagi pada akhirnya. Semangat inilah yang ditanamkan kepada 198  peserta Tzu Ching Camp VIII yang diadakan sejak 8-9 Juni 2013. Tzu Ching camp ini diadakan untuk menggalang Bodhisatwa baru dan menambah barisan Tzu Ching ke depannya.

Selama 2 hari 1 malam ini, peserta diajak untuk lebih mengenal 4 misi Tzu Chi dan 8 jejak Dharma yang diajarkan oleh pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi, Master Cheng Yen atau biasa disebut Tzu Ching dengan panggilan Shigong Shangren (Kakek Guru). Mereka juga diajak untuk mengenal budaya humanism Tzu Chi seperti tata krama dalam tidur, makan, duduk, berdiri, berpakaian dan bahasa isyarat tangan.

Mayoritas peserta berasal dari berbagai universitas di Jabodetabek dan Bandung, walaupun mereka tidak saling mengenal satu sama lain, tetapi di camp inilah mereka menyatukan dan memadukan hati mereka untuk lebih mengenal satu sama lain tanpa membedakan suku, agama dan ras. Tema camp tahun ini adalah, “Ada dua hal yang tidak bisa ditunda di dunia ini, yaitu berbakti kepada orang tua dan berbuat kebajikan.” Seiring perkembangan jaman, banyak generasi muda yang tidak sadar  dan peduli akan sosok orang tua. Kebanyakan dari mereka menganggap kesibukan orang tua dalam bekerja sebagai contoh ketidak pedulian orang tua kepada anaknya, padahal semua yang orang tua kerjakan adalah demi anak mereka sendiri.

Salah satu sesi bersyukur dan berbakti kepada orang tua yang dibawakan oleh Sudarno Xuezhang mengajak peserta untuk lebih mendalami makna dari rasa bersyukur dan berbakti kepada orang tua, “Ada dua hal mengapa saya memilih topik ini, satu karena semua orang harus belajar dan mempunyai rasa syukur, rasa syukur paling mudah dibangkitkan dari rasa syukur terhadap orang tua, menurut saya rasa syukur juga merupakan awal atau dasar dari moral manusia. Kedua karena berbakti kepada orang tua adalah salah satu bentuk kebajikan yang utama, yang harus dibuat sebelum berbuat kebajikan yang lain,” ujar Sudarno Xuezhang dengan mantap.  Malam itu diwarnai dengan rasa haru dan tangis dari peserta.

foto  foto

Keterangan :

  • Mayoritas peserta berasal dari berbagai universitas di Jabodetabek dan Bandung, walaupun mereka tidak saling mengenal satu sama lain, tetapi di camp inilah mereka menyatukan dan memadukan hati mereka (kiri).
  • Peserta menuliskan surat yang menyampaikan isi hatinya untuk orang tua (kanan).

Sebelum menuliskan surat untuk orang tua mereka, Sudarno Xuezhang mengajak mereka untuk merenungkan perbuatan mereka terhadap orang tua melalui video. Video tersebut menceritakan anak kecil yang mengucapkan “Wo Ai Ni” (Aku sayang kamu) kepada orang tua mereka saat perayaan hari ibu. Para peserta pun sadar bahwa selama ini mereka tidak pernah mengucapkan “Papa, Mama Wo Ai Ni.” Setelah menonton video, banyak peserta yang memilih untuk langsung menghubungi orang tua mereka. Salah satunya adalah Rifandi, ia sangat menyesal akan perbuatannya selama ini terhadap orang tuanya. Baginya, orang tua adalah pengekang kebebasan dan tidak pernah sayang kepadanya. Kesibukan orang tuanya dalam bekerja, membuatnya menghabiskan masa kecilnya bersama neneknya berdua. Saat ia kembali tinggal bersama orang tuanya, ia merasakan orang tuanya mengajarkannya dengan sangat keras dan mulai membenci orang tuanya terutama mamanya sendiri.

Setelah sesi ini, ia pun menangis dan langsung menghubungi mamanya. “Ma, 对不起,我真的真的很爱你.” (Maafkan saya mama, saya sangat sangat mencintai anda). Kalimat ini diucapkannya berulang-ulang hingga 5 kali, semua batu besar dan kesalah pahaman selama ini pun akhirnya terasa ringan seperti simpul tali yang akhirnya dapat terbuka. “Saya berjanji kalau mama memarahi saya, saya akan berbicara pelan-pelan ke mama, saya ga akan keras-keras ngomong ke mama lagi. Saya terharu banget tadi pas saya menelepon mama, mama ga marahin saya balik, malahan dia nanyain saya apa saya baik-baik saja selama ikut camp ini? Dia khawatir banget waktu saya menangis. Saya benar-benar menyesal akan perbuatan saya selama ini,” ungkap Rifandi.

foto  foto

Keterangan :

  •  Berbakti kepada orang tua menjadi hal utama yang disampaikan kepada para peserta (kiri).
  •  Pada sesi tersebut, Rifandi (Kiri) menelepon orang tuanya dan meminta maaf atas kesalahannya (kanan).

Hal serupa juga dirasakan oleh orang tua Frederick Renaldi salah satu peserta Tzu Ching Camp VIII. Sang Mama mengirimkan pesan kepada salah satu panitia dan berkata, ”Makasih ya anak saya ikutan Tzu Chi. Malam-malam telepon saya dan papinya, nangis tersedu-sedu dan minta maaf kalau selama ini ada perbuatan salah. Tzu Chi sangat saya rasakan loh.” Ia juga mengatakan bahwa anak kedua mereka pun ingin didaftarkan apabila ada kegiatan Tzu Chi lainnya dan ia ingin mengajak anak-anak dan suaminya ikut serta dalam kegiatan Tzu Chi.

Setelah sesi yang mengharukan, para peserta pun disuguhkan onde oleh panitia. Onde yang bentuknya bulat ini melambangkan “Tuan Yuan atau bersatu kembali”, para peserta seperti keluarga yang bersatu lagi kepada orang tua mereka. Segala kesalahpahaman dan kebencian dihilangkan oleh rasa cinta kasih yang besar. Suasana keluarga itu pun dapat mereka rasakan di Tzu Chi, bersama mentor mereka tertawa kembali menikmati onde-onde.

Banyak peserta dan panitia yang berharap Tzu Ching Camp ini dapat setiap tahun dilaksanakan karena dapat memberikan pengetahuan, pengalaman, materi yang baik dan sangat berguna bagi setiap orang. Mereka juga berharap melalui Tzu Ching Camp VIII ini, jalinan jodoh mereka akan terus berlanjut dengan Tzu Chi.

  
 

Artikel Terkait

Suara Kasih: Makna Agama Sesungguhnya

Suara Kasih: Makna Agama Sesungguhnya

08 Juli 2011
Saya sering mengatakan bahwa agama tidak boleh tidak ada dalam diri setiap orang, karena agama adalah pembimbing kehidupan ke arah yang damai dan penuh cinta kasih. Dalam beragama, perlu adanya keyakinan benar untuk dapat berjalan ke arah kedamaian.
Cintai Lingkungan Melalui Kegiatan Sehari-hari

Cintai Lingkungan Melalui Kegiatan Sehari-hari

19 April 2013 Udara yang dulunya sejuk juga telah tercemar dengan gas karbondioksida dan metana yang kandungannya berlebih sehingga menimbulkan efek rumah kaca. Oleh karena itu sebagai makhluk yang tinggal di bumi, tentunya kita  wajib menjaga kelestarian bumi, bukan hanya untuk bumi itu sendiri tapi untuk kehidupan kita kelak agar dunia bebas dari bencana.
Doa dan Solidaritas untuk Warga Penyintas Erupsi Gunung Semeru

Doa dan Solidaritas untuk Warga Penyintas Erupsi Gunung Semeru

14 Desember 2021

Para guru dan staf di Sekolah Tzu Chi Indonesia bersumbangsih bagi warga penyintas bencana erupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur.

Keindahan kelompok bergantung pada pembinaan diri setiap individunya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -