Waisak 2025: Kebersamaan Penuh Makna dalam Perayaan Waisak Tzu Chi
Jurnalis : Henny Yohannes (He Qi Pluit), Fotografer : Charlie (He Qi PIK), James Yap (He Qi Barat 2), Kasun (He Qi Muara Karang), Raymond (He Qi Muara Karang)
Mok Tjun Sin (ketiga dari kanan) mengungkapkan rasa syukurnya karena untuk pertama kalinya dapat membawa persembahan dalam perayaan Waisak. Didampingi sang istri, Nyuk Kim, yang bertugas di tim pelayanan, serta anak sulungnya yang turut bergabung dalam formasi, ia merasa kepercayaan dirinya semakin tumbuh berkat dukungan keluarga.
Perayaan Waisak, Hari Ibu Internasional, dan Hari Tzu Chi Sedunia di Tzu Chi Indonesia tahun ini tidak hanya menjadi upacara keagamaan, tetapi juga ruang bertemunya berbagai kisah penuh makna dari para relawan dan peserta. Di balik khidmatnya prosesi dan megahnya formasi, tersembunyi cerita-cerita sukacita tentang keberanian, cinta keluarga, dan ketulusan memberi. Dari relawan yang mengalahkan rasa tidak percaya diri hingga opa-opa penuh semangat yang menempuh perjalanan jauh demi mengikuti perayaan ini, semua menyuarakan satu semangat: berbagi dan bersatu dalam kasih tanpa pamrih.
Seperti salah satunya Mok Tjun Sin (47), yang sering dipanggil Acun dan merupakan komite Tzu Chi tahun 2019, berbagi kisah tentang perjalanan hidupnya sebagai relawan. Acun mengungkapkan bahwa dulunya ia adalah seorang relawan yang kurang percaya diri untuk tampil. Namun, seiring berjalannya waktu, kepercayaan dirinya semakin membaik. Meskipun memiliki keterbatasan waktu, ia selalu berusaha memanfaatkan setiap kesempatan untuk bersumbangsih.
Pada perayaan Waisak di Tzu Chi ini, Acun merasa sangat bangga karena untuk pertama kalinya ia membawa persembahan dalam perayaan Waisak. "Selama ini saya selalu gugup bila tampil di depan orang banyak, tetapi sekarang, keluarga saya sangat mendukung. Istri saya, Nyuk Kim, juga membantu tim pelayanan, dan anak saya yang besar juga ikut membantu dalam formasi. Ini membuat saya sangat bersyukur," kata Acun senang.
Saat doa berlangsung, Acun merasa sangat terharu dan teringat pada orang tuanya. Ia juga mengenang kata perenungan dari Master yang selalu ia ingat sejak dilantik sebagai relawan: "Memiliki hati baik dan melakukan kebaikan, tetapi tidak berkata baik, tidak termasuk orang baik." Kata-kata ini telah menjadi pedoman hidup Acun dalam setiap tindakannya sebagai relawan.

Jenny Leo (paling kanan), komite Tzu Chi yang baru dilantik tahun ini, merasa pengalaman pertamanya membawa persembahan air dalam upacara Waisak sangat bermakna. Ia juga mendapatkan pencerahan dari Bhante Pannavaro tentang makna cinta kasih tanpa pamrih yang semakin memperdalam pemahamannya akan ajaran Buddha.
Relawan lainnya, yakni Jenny Leo, anggota komite Tzu Chi yang baru dilantik pada tahun 2024, merasakan pengalaman berharga saat mengikuti perayaan Waisak tahun ini. Untuk pertama kalinya, ia dipercaya membawa persembahan air dalam rangkaian upacara suci.
“Saya sangat bersyukur atas kesempatan ini. Momen seperti ini hanya datang sekali setahun, jadi saya ingin menjalaninya sepenuh hati,” ujarnya penuh haru.
Perayaan Waisak kali ini memiliki makna yang lebih mendalam karena sekaligus memperingati tiga momen penting: Hari Waisak, Hari Ibu, dan perayaan Tzu Chi Internasional. Bagi Jenny, momen ini menjadi pengingat akan pentingnya Hari Ibu yang selama ini sering terlupakan.
"Pagi ini sebelum mengikuti upacara, saya sempat menelepon mama saya dan mengucapkan selamat Hari Ibu," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Keterlibatan dalam membawa persembahan memberikan kesan mendalam bagi Jenny. Ia juga mendapatkan pencerahan dari Bhante Pannavaro tentang makna mencabut penderitaan melalui cinta kasih tanpa pamrih, yang makin memperkaya pengalaman spiritualnya.
Senangnya Waisakan di Tzu Chi dari Tahun ke Tahun
Opa Suci Yanto, seorang pria berusia 87 tahun, merupakan salah satu penerima bantuan dari Tzu Chi yang telah berulang kali merasakan makna mendalam dalam perayaan Waisak bersama komunitas ini. Tahun ini menjadi kali keempat beliau hadir dalam perayaan Waisak Tzu Chi, dan seperti tahun-tahun sebelumnya, semangatnya tidak pudar meski usia sudah lanjut. Sabtu lalu, Opa bahkan turut serta dalam gladi resik dan naik Transjakarta untuk sampai ke lokasi, sementara pada hari perayaan, ia datang bersama para relawan.

Opa Suci Yanto, penerima bantuan Tzu Chi, kembali hadir dalam perayaan Waisak untuk keempat kalinya. Meski usia lanjut, semangatnya tetap menyala. Ia mengaku merasa damai setiap kali datang ke Tzu Chi karena selalu teringat pada ajaran Buddha yang menyejukkan hati.
“Sejak saya mengenal Tzu Chi, sudah empat kali saya ikut merayakan Waisak di sini. Saya merasa tenang hati saya jika datang ke Tzu Chi, karena selalu teringat pada Buddha,” ujarnya dengan penuh rasa syukur. Opa Suci juga memberikan apresiasi besar kepada relawan Tzu Chi yang menurutnya sangat baik, rendah hati, ramah, dan penuh perhatian. Dalam pesannya yang menyentuh, beliau menyampaikan pentingnya toleransi dan saling menghormati antarumat beragama. “Jangan beda-bedakan. Yang Buddha ingat Buddha, yang Kristen ingat Yesus, yang Muslim ingat Allah. Semua harus saling menghormati,” ungkapnya dengan bijak.
Hari ini menjadi sangat istimewa bagi Opa Suci karena bertepatan dengan tiga momen penting. “Pertama, hari Waisak. Karena saya ingin dekat dengan Buddha, saya datang ke sini setahun sekali untuk ikut perayaan ini, bagi saya itu tidak masalah. Kedua, hari Ibu. Kalau tidak ada ibu, bagaimana kita bisa ada? Jadi, jangan lupa ibu di rumah. Ketiga, jika tidak ada Tzu Chi, bagaimana kita bisa berkumpul di sini?” tuturnya penuh makna, meninggalkan kesan mendalam bagi siapa pun yang mendengarnya.

Dicky Agustinus (kanan), pemuda asal Bekasi, mengikuti formasi barisan dalam perayaan Tri Suci Waisak untuk kedua kalinya. Ia terkesan dengan pesan Bhante Pannavaro yang mengajarkan bahwa membantu orang lain melewati penderitaan sejatinya adalah jalan untuk menyelamatkan diri sendiri.
Hal yang sama juga dirasakan Dicky Agustinus (24) asal Bekasi yang kembali menunjukkan komitmennya dengan mengikuti perayaan Waisak di Tzu Chi untuk kedua kalinya. Bersama dua sahabatnya, Rio dan Valen, ia mendaftar sebagai bagian dari formasi barisan, sebuah peran yang mereka jalani dengan penuh semangat meski harus menempuh perjalanan jauh dari Bekasi.
“Acara ini sangat berkesan dan menyentuh secara pribadi. Nilai-nilai kemanusiaan yang diusung Tzu Chi benar-benar menggerakkan hati saya untuk terlibat, meskipun hanya satu kali dalam setahun,” ujar Dicky.
Lewat partisipasinya, ia merasa semakin mengenal berbagai program nyata yang dilakukan relawan Tzu Chi, mulai dari kegiatan sosial, pendidikan, hingga pelestarian lingkungan. Untuk memberikan kontribusi terbaik, Dicky bahkan mengikuti gladi resik sehari sebelumnya dan berangkat dari rumah pukul 06.20 pagi agar tiba tepat waktu di lokasi acara.
Salah satu hal yang paling membekas dalam perayaan hari ini adalah pesan Bhante Pannavaro yang menyampaikan perumpamaan tentang penderitaan. “Membantu orang lain menyeberang jalan yang ramai ibarat membantu mereka keluar dari penderitaan. Saat kita membantu orang lain melewati penderitaan, kita pun turut terselamatkan,” kutip Dicky, mengulang pesan yang menurutnya sangat relevan dengan semangat Waisak dan kehidupan sehari-hari.

Opa Sugianto (paling kanan) dan sang istri datang dari Bogor bersama kelompok jalan pagi PAMOR untuk mengikuti perayaan Waisak di Tzu Chi. Di usia 88 tahun, ia tetap penuh semangat dan berharap dapat kembali hadir tahun depan jika diberi kesempatan dan umur panjang.
Ada lagi yang datang jauh-jauh untuk ikut Waisakan bersama Tzu Chi. Dia adalah Opa Sugianto, atau yang akrab disapa Opa Asun, datang dari Bogor untuk mengikuti perayaan Waisak di Tzu Chi bersama rombongan kelompok jalan pagi PAMOR (Papa Suka Humor). Di usia 88 tahun, Opa Asun tetap penuh semangat, datang bersama sang istri dan rombongan Tzu Chi Bogor dalam satu bus yang dipenuhi keceriaan. Ini menjadi kali kedua bagi kelompok PAMOR mengikuti perayaan Waisak di Tzu Chi, setelah pertama kali hadir satu dekade lalu.
Suasana spiritual dan kebersamaan menjadi inti dari perjalanan ini, mempererat ikatan di antara para anggota serta memperkuat nilai-nilai batin yang mereka anut. “Kami semua sangat senang bisa ikut merayakan Waisak di sini. Kalau masih diberi kesempatan dan umur panjang, tahun depan kami ingin ikut lagi,” ujar Opa Asun penuh semangat, memancarkan kebahagiaan yang tulus.
Momen ini tidak hanya menjadi perjalanan spiritual, tetapi juga menjadi ruang kebersamaan dan kegembiraan bagi para anggota PAMOR yang menjadikan humor dan semangat hidup sebagai bagian dari keseharian mereka.
Editor: Metta Wulandari
Artikel Terkait
Waisak Tzu Chi 2018: Dari Satu Menjadi Tak Terhingga (Bag. 2)
15 Mei 2018Sejak Yayasan Buddha Tzu Chi berdiri hingga kini berusia 25 tahun, Chia Wenyu selalu mendapatkan tanggung jawab sebagai pemandu acara. Namun pemandangan berbeda ada di Waisak Tzu Chi 2018. Wenyu kali ini tidak lagi ada di depan panggung, dirinya duduk dengan anggun di barisan pembawa persembahan bersama 120 relawan Tzu Chi lainnya.

Berbakti Pada Ibu di Waisak Tzu Chi
06 Juni 2014 Wajah Nenek Hartati diliputi senyuman, walau kini umurnya telah mencapai 88 tahun, dengan kondisi pergerakannya sudah tidak leluasa lagi, tapi di umurnya yang telah lanjut nenek Hartati masih bisa mengikuti acara waisak yang di adakan oleh Tzu Chi di Aula Jing Si, Pantai Indah Kapuk, pada hari Minggu 11 Mei 2014.