Waisak 2025: Merayakan Waisak dengan Semangat Berbagi Tanpa Pamrih (Rame Ing Gawe, Sepi Ing Pamrih)
Jurnalis : Metta Wulandari, Triana Putri (He Qi Pluit) , Fotografer : Arimami Suryo A, Charlie (He Qi PIK), Raymond (He Qi Muara Karang)
Tzu Chi Indonesia merayakan tiga hari besar secara bersamaan: Hari Waisak, Hari Ibu Internasional, dan Hari Tzu Chi Sedunia. Perayaan yang dihadiri lebih dari dua ribu peserta ini juga melibatkan kehadiran 69 bhikkhu sangha, yang turut menyemarakkan acara dengan doa.
Matahari belum tinggi saat ribuan orang mulai memadati pelataran Tzu Chi Center, Minggu pagi, 11 Mei 2025. Hari ini istimewa. Tak hanya karena langit Jakarta sedang cerah bersahabat, tetapi karena tiga momentum besar berpadu dalam satu perayaan suci: Hari Waisak, Hari Ibu Internasional, dan Hari Tzu Chi Sedunia.
Di lantai 4 Aula Jing Si (Jing Si Tang) yang megah dan tenang, 69 bhikkhu Sangha duduk, mengisi ruangan bersama 2.930 peserta dari berbagai usia dan latar belakang. Udara dalam ruangan terasa hening namun hangat, membawa serta semangat cinta kasih yang terpancar dari wajah-wajah penuh sukacita. Peserta waisak juga memenuhi ruang Guo Yi Ting (lantai 3 Aula Jing Si) dan Fu Hui Ting (lantai 2 Aula Jing Si).

Selain di lantai 4 Aula Jing Si, perayaan Waisak juga meriah di ruangan lain seperti Guo Yi Ting lantai 3 dan Fu Hui Ting dilantai 2, di mana ribuan peserta berkumpul untuk bersama-sama merayakan hari suci ini.
Di tengah suasana khusyuk, Bhante Pannavaro Mahatera menyampaikan pesan Waisak yang membumi namun menggugah jiwa. Dengan suara tenang namun berwibawa, Bhante mengajak para hadirin merenungi kembali titik mula perjalanan spiritual Siddharta Gautama, bermula dari seorang pangeran yang terguncang oleh penderitaan dunia, hingga menjadi guru agung yang membabarkan Dharma selama 45 tahun demi membebaskan makhluk dari duka.
“Setiap kali kita memperingati Waisak, kita sesungguhnya sedang diingatkan pada momen kesadaran mendalam dari Pangeran Siddharta,” ucap Bhante. “Saat beliau melihat penderitaan di luar istana, orang sakit, orang tua, dan kematian, itulah awal dari kebangkitan kepedulian yang sejati. Ia mulai bertanya, ‘apakah ada jalan untuk membebaskan makhluk dari penderitaan ini’?”

Dalam acara ini, Bhante Pannavaro Mahathera menyampaikan pesan Waisak yang mengajak semua untuk berbagi dengan penuh kasih tanpa pamrih, sebagaimana yang dicontohkan oleh Buddha Gautama.
Bhante Panna melanjutkan, “Itulah cinta kasih yang sejati. Bukan sekadar rasa kasihan, tetapi dorongan untuk bertindak. Setelah perjuangan panjang selama enam tahun, beliau mencapai pencerahan, dan selama 45 tahun berikutnya, beliau tidak pernah berhenti membimbing, tanpa pamrih. Itulah keteladanan yang ingin kita teladani hari ini.”
Namun Bhante Panna juga mengingatkan, bahwa cinta kasih bisa menjadi pedang bermata dua. Apabila tidak hati-hati, kepedulian pun bisa memancing keakuan. Bisa muncul rasa ingin dipuji, ingin dianggap mulia. Inilah yang justru menodai kasih itu sendiri.
Beliau menyampaikan ajaran kearifan Jawa yang sarat makna: Rame ing gawe, sepi ing pamrih yang berarti: aktif berkarya, tetapi tenang dari kepentingan pribadi dan rasa pamrih. “Namun jika tidak dilandasi cinta kasih sejati, semboyan ini bisa berubah menjadi 'rame ing gawe, rame ing pamrih'. Maka itulah sebabnya kita harus terus melatih diri agar kasih kita murni dan bebas dari pamrih.”

Perayaan Waisak di Tzu Chi terasa sangat khusyuk dan hangat, dengan setiap peserta diberikan kesempatan untuk ikut serta dalam pemandian rupang Buddha, sebuah ritual penghormatan dan rasa syukur.
Di sela pesan spiritual tersebut, Bhante Panna juga menyampaikan apresiasi atas suasana Waisak di Tzu Chi yang menurutnya begitu tertata dan menyentuh hati. “Perayaan Waisak di Tzu Chi sangat rapi, hangat, dan khidmat,” ujar Bhante. “Pada momen pemandian rupang Buddha, setiap orang juga mendapatkan kesempatan yang sama untuk memberikan penghormatan kepada guru agung kita. Ini sangat bermakna, karena semua orang, tanpa membedakan status atau usia, bisa ikut merasakan kehadiran Buddha dalam hati mereka.”
Cinta Kasih dan Kebijaksanaan dalam Tindakan Nyata
Dalam perayaan kali ini, terdapat pula formasi yang tampak terbentuk di tengah ruang, yakni: “zheng nian dan li xing”, mewakili kalimat mendalam dari ajaran Master Cheng Yen, "Giat mengembangkan perhatian benar untuk belajar dan sadar. Tekun dan bersemangat dalam mempraktikkan Jalan Bodhisattva." Bukan hanya barisan relawan, namun merupakan niat tulus untuk terus menapaki jalan pembebasan dengan hati penuh welas asih.

Formasi "Zheng Nian" dan "Li Xing" terlihat dengan indah, menggambarkan ajaran mendalam dari Master Cheng Yen, "Giat Mengembangkan Perhatian Benar untuk Belajar dan Sadar, serta Tekun dalam Mempraktikkan Jalan Bodhisattva," yang menjadi pedoman hidup insan Tzu Chi.
“Formasi tahun ini adalah zheng nian dan li xing. Master Chen Yen berharap kita semua memiliki zheng nian, yang artinya perhatian benar, dan juga kebijaksanaan. Serta mampu li xing, yang berarti mempraktikkan,” ujar liu Su Mei. “Sebagaimana yang Master ajarkan, hanya dengan mempraktikkan secara nyata, barulah kita bisa merasakan sukacita dalam Dharma.”
Beliau juga menyoroti pentingnya semangat kebersamaan yang harmonis di tengah keberagaman Indonesia. “Besok adalah Hari Waisak yang juga merupakan hari libur nasional. Kami berharap dapat mengundang para Bhante dan bhikkhu senior untuk bersama-sama mewujudkan semangat dan prinsip ajaran Buddhisme di Indonesia. Banyak Bhante yang penuh cinta kasih dan welas asih. Harapan kami, ajaran Buddhisme dapat menyatu dan hidup berdampingan, serta semua agama saling menghormati satu sama lain. Dengan demikian, dunia ini bisa menjadi tempat yang damai dan tenteram.”

Liu Su Mei (paling depan), Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, bersukacita di tengah keramaian, merasa bahagia karena perayaan Waisak ini dapat dihadiri oleh ribuan peserta serta bhikkhu sangha, yang semua bersama-sama memperingati momen penuh makna ini.
Terkait antusiasme peserta, Liu Su Mei mengakui bahwa kehadiran ribuan orang di luar ekspektasi awal mereka. “Awalnya kami mempertimbangkan bahwa besok umat akan merayakan Waisak di tempat ibadah masing-masing, karena banyak vihara akan mengadakan prosesi pemandian rupang Buddha. Tapi ternyata, hari ini banyak sekali orang yang datang, jauh melebihi yang kami perkirakan. Kami sudah menyiapkan yang terbaik. Semua peserta sangat bahagia, semua mendapatkan tempat duduk, dan tim masak juga bersungguh-sungguh dalam menyiapkan konsumsi. Kami berharap hari ini menjadi hari penuh sukacita dalam Dharma.”
Perayaan tiga hari besar yang berlangsung di Tzu Chi Center ini menjadi pengingat akan nilai-nilai kebaikan yang bisa terus dirawat dan dipraktikkan bersama. Dengan semangat perhatian benar dan tindakan nyata, harapannya benih kebajikan ini dapat terus tumbuh di tengah masyarakat, memberi manfaat bagi sesama tanpa pamrih.
Editor: Hadi Pranoto
Artikel Terkait
Waisak Tzu Chi 2018: Dari Satu Menjadi Tak Terhingga (Bag. 2)
15 Mei 2018Sejak Yayasan Buddha Tzu Chi berdiri hingga kini berusia 25 tahun, Chia Wenyu selalu mendapatkan tanggung jawab sebagai pemandu acara. Namun pemandangan berbeda ada di Waisak Tzu Chi 2018. Wenyu kali ini tidak lagi ada di depan panggung, dirinya duduk dengan anggun di barisan pembawa persembahan bersama 120 relawan Tzu Chi lainnya.
Waisak Tzu Chi 2018: Kerja Sama Dalam Kemanusiaan
14 Mei 2018Sebanyak 106 umat
Gereja St. Fransiskus Xaverius, Tanjung Priuk, mengikuti perayaan Tiga Hari
Besar Tzu Chi: Hari Raya Waisak, Hari Ibu
Internasional, dan Hari Tzu Chi Sedunia pada Minggu, 13 Mei 2018.
Waisak Tzu Chi 2018: Doa Jutaan Insan Untuk Kedamaian dan Keamanan Surabaya
14 Mei 2018Kabar duka datang di
pagi hari saat relawan Tzu Chi Surabaya mempersiapkan kegiatan Waisak. Di sejumlah
titik di Gereja Surabaya terjadi serangan bom yang memporak-porandakan ketenangan
warga Surabaya. Dalam prosesi kali ini, insan Tzu Chi menyelipkan sesi berdoa, semoga
masyarakat Surabaya, korban dan keluarga yang ditinggalkan bisa ditenteramkan
batinnya agar senantiasa damai dan sentosa.