Para relawan Zhen Shan Mei dari berbagai komunitas Tzu Chi di seluruh Indonesia mengikuti ZSM Bootcamp 2025 di Aula Jing Si, Tzu Chi Center, dengan penuh semangat dan kebersamaan.
Suasana penuh semangat dan kehangatan kebersamaan memenuhi Aula Jing Si, Tzu Chi Center, saat sekurangnya 100 relawan Zhen Shan Mei (ZSM) dari berbagai komunitas Tzu Chi di seluruh Indonesia berkumpul dalam ZSM Bootcamp 2025, pada 25–26 Oktober 2025. Dengan mengusung tema Jadilah Pelita, Jadilah Teladan, kamp ini menjadi ajang pembentukan karakter dan penguatan batin bagi para relawan dokumentasi Tzu Chi, mereka yang menyalakan cahaya kebaikan melalui lensa dan tulisan.
Ketua Relawan Zhen Shan Mei Indonesia, Stephen Ang, menjelaskan bahwa kamp tahun ini berbeda dari sebelumnya karena menerapkan sistem seleksi yang lebih ketat.
“Peserta yang ikut tahun ini harus melalui beberapa tahap seperti sudah pernah mengikuti pelatihan ZSM di komunitas dan memiliki karya yang sudah dimuat di website Tzu Chi Indonesia atau media sosial komunitasnya,” ujarnya.
Stephen Ang, memberikan sambutan pembuka sekaligus menekankan pentingnya karakter dan keteguhan batin dalam setiap karya relawan dokumentasi.
Dengan demikian peserta yang hadir bukan lagi pemula, melainkan relawan berpengalaman yang siap mengasah diri lebih dalam. Fokus utama kamp kali ini bukan lagi teori dasar menulis atau fotografi, melainkan pembentukan karakter batin dan keteguhan pikiran agar para relawan lebih kuat menghadapi tantangan saat meliput kisah-kisah di lapangan.
Tema Jadilah Pelita, Jadilah Teladan sendiri mengandung makna mendalam. Stephen berharap, setelah melewati rangkaian pembelajaran dan pengalaman di kamp ini, para peserta dapat pulang dengan semangat baru, menjadi pelita yang menerangi dan teladan yang menginspirasi di lingkungan masing-masing.
“Dari kisah-kisah yang mereka liput, semoga makin banyak orang tersentuh dan terinspirasi untuk ikut berbuat baik,” tambahnya.
Para relawan dengan penuh antusias mengikuti setiap sesi pelatihan dari pagi hingga malam.
Para relawan dengan penuh antusias mengikuti setiap sesi pelatihan dari pagi hingga malam.
Beragam sesi diadakan untuk menumbuhkan semangat tersebut, mulai dari ZSM Amazing Race yang mengasah kerja tim lintas peran yakni penulis, fotografer, hingga videografer hingga sesi perenungan bersama relawan senior Tzu Chi, Nelly Kosasih, yang membantu relawan menenangkan batin.
“Relawan Zhen Shan Mei sering menghadapi tekanan di lapangan. Melalui sesi perenungan mereka bisa merelaksasi hati dan pikiran, mengubah beban menjadi kekuatan positif,” ujar Stephen.
Dalam materinya bertajuk Zhen Shan Mei yang Abadi, Stephen menekankan pentingnya keberlanjutan misi Zhen Shan Mei. “Suatu saat kita akan mewariskan peran kepada generasi berikutnya. Tapi karya yang sudah kita buat, baik itu tulisan, foto, maupun video akan tetap abadi, menjadi sejarah yang menginspirasi banyak orang sepanjang masa,” ungkapnya penuh makna.
Pesan Dharma dari Shifu Griya Jing Si
Dé jiǎn Shīfu, memberikan pencerahan kepada para relawan tentang makna sejati budaya Zhen Shan Mei, menyebarkan kebenaran, kebajikan, dan keindahan melalui karya.
Momen istimewa juga hadir dengan kehadiran Shifu dari Griya Jing Si, Hualien, Taiwan, yang membagikan pesan penuh inspirasi bagi para relawan. Dé jiǎn Shīfu menyampaikan bahwa sebuah artikel yang baik tidak hanya merangkai kata-kata, tetapi menjadi sarana untuk mewariskan Dharma dan menyebarkan kedamaian.
Beliau mengingatkan bahwa agar masyarakat dapat hidup tenteram, dibutuhkan tiga hal yang berjalan seiring yakni niat yang baik, pribadi yang baik, dan berita yang baik. Inilah makna sejati dari budaya Zhen Shan Mei (Kebenaran, Kebajikan, dan Keindahan), arah yang menjadi panduan setiap relawan Tzu Chi dalam berkarya.
“Sebagai relawan Zhen Shan Mei, kita perlu memahami bahwa keindahan bukan hanya tentang gambar yang indah,” tutur Dé jiǎn Shīfu. “Tetapi juga tentang hati yang bajik dan niat yang murni di balik setiap karya.”
Dé jiǎn Shīfu menekankan bahwa setiap kali relawan mengangkat kamera, tujuannya bukan sekadar merekam peristiwa, melainkan menampilkan keindahan dan kebajikan di dalamnya. “Konten yang indah harus memiliki nilai budaya yang membawa pengaruh positif,” ujarnya.
Relawan Zhen Shan Mei Indonesia menyambut penuh rasa hormat kedatangan Dé jiǎn Shīfu yang hadir secara langsung untuk mendukung dan memberikan semangat bagi keluarga besar Tzu Chi di Indonesia.
Dengan rendah hati, Dé jiǎn Shīfu menambahkan bahwa kedatangannya ke Indonesia kali ini tidak direncanakan secara khusus, melainkan lahir dari ketulusan hati untuk mendukung keluarga besar Tzu Chi di Indonesia.
“Saya sering terharu melihat relawan Indonesia. Walaupun tidak semua memahami bahasa Mandarin dengan sempurna, namun kalian mampu menjalankan ajaran Master Cheng Yen dengan sepenuh hati. Semangat seperti ini sangat langka,” sambungnya.
Beliau pun kerap membagikan kisah relawan Indonesia kepada relawan di Taiwan dan negara lain. “Saya selalu mengatakan bahwa saya ingin belajar dari relawan Indonesia Karena kalian memiliki semangat untuk mendengarkan dan menjalankan Dharma dengan sukacita.” Tuturnya.
Mengisahkan pengalamannya, Dé jiǎn Shīfu menceritakan bagaimana ia mulai memegang kamera dan video sejak tahun 1997 di Jing Si Hualien. “Banyak yang bertanya, seorang biksuni kok bisa memegang kamera?” katanya sambil tersenyum. “Semua karena bimbingan Master. Beliau mengajarkan bahwa setiap ceramah, setiap peristiwa, harus kita dokumentasikan, karena di situlah kita menggali potensi diri.”
Menurut Dé jiǎn Shīfu, menjadi relawan Zhen Shan Mei adalah ladang berkah. Tidak perlu takut tidak bisa, yang penting ada kemauan, kesungguhan, dan hati yang bersukacita. “Kalau kalian tulus, bahkan dengan kamera handphone pun hasilnya bisa indah,” ujarnya sambil menunjukkan foto bunga yang ia ambil di Tzu Chi.
“Kalau akarnya dalam, bunga akan mekar secara alami. Begitu pula hati kita bila berakar pada niat baik, maka karya kita pun akan memancarkan keindahan.” Tegasnya.
Lebih dari sekadar mendokumentasikan kegiatan, Dé jiǎn Shīfu menegaskan bahwa relawan Zhen Shan Mei sejatinya sedang merekam perjalanan kehidupan dan cinta kasih. Karena itu, setiap relawan perlu memiliki kepekaan batin, mampu melihat jalinan jodoh di balik setiap peristiwa dan menumbuhkan rasa syukur atas setiap pertemuan.
“Relawan Zhen Shan Mei bukan hanya merekam keindahan, tetapi juga menumbuhkan kebijaksanaan,” ujar Dé jiǎn Shīfu. “Kita belajar untuk tenang, peka terhadap sekitar, dan menulis atau memotret dengan hati yang jernih.”
Dengan demikian, semangat Jing Si bukan hanya tercermin dalam tulisan dan foto, tetapi dalam cara kita memandang dunia dengan mata yang lembut, hati yang penuh syukur, dan pikiran yang bening.
Relawan senior Tzu Chi, Hadi Pranoto memberikan materi inspiratif tentang bagaimana memanfaatkan media sosial dan teknologi digital secara bijak untuk menebarkan nilai-nilai kemanusiaan.

Presenter DAAI TV, Sera Mirsa, membawakan sesi “Dari Lensa ke Hati: Menginspirasi Lewat Kisah Nyata” yang membuka wawasan para relawan tentang kekuatan media digital dalam menyebarkan kebaikan.
Selain itu, ada juga sesi bersama DAAI TV bertajuk “Dari Lensa ke Hati: Menginspirasi Lewat Kisah Nyata” yang disampaikan oleh presenter DAAI TV, Sera Mirsa, memberikan wawasan baru tentang pentingnya menyebarkan kebaikan melalui media digital. Para relawan pun diharapkan siap berperan sebagai videografer agar kisah-kisah cinta kasih dari seluruh pelosok Indonesia bisa terekam dan menjangkau lebih banyak orang.
Bootcamp ini telah dipersiapkan sejak setahun sebelumnya dengan perencanaan matang, mulai dari konsep, tema, hingga materi. Kegiatan berlangsung selama dua hari penuh dengan berbagai sesi bermakna seperti “AI di Tangan yang Bajik”, “Teguh di Tengah Badai”, hingga talkshow inspiratif bersama pasangan relawan senior.
Semangat Para Peserta
Moderator Hadi Pranoto memandu talkshow inspiratif bersama pasangan relawan senior Amir dan Nuraina serta dua relawan yang adalah ayah dan anak, Surianto dan Dora yang berbagi pengalaman memimpin dengan ketulusan dan mewariskan semangat Zhen Shan Mei melalui teladan nyata.
Bagi Yanti Yunita, perjalanan sebagai relawan Zhen Shan Mei bermula dari ketidaksengajaan yang berbuah tekad. Sejak bergabung di Tzu Chi Medan pada Desember 2013, ia aktif di berbagai misi, mulai dari amal hingga penampil lagu isyarat tangan. Namun setelah mengikuti Kamp Zhen Shan Mei di Medan pada Mei 2025, pandangannya berubah.
“Saya merasa lebih berkembang. Sebelumnya saya enggak pernah belajar fotografi, video, atau menulis artikel. Ternyata saya punya minat di situ,” ujarnya dengan senyum bangga.
Kegiatan kamp yang padat memberi tantangan tersendiri. Saat sesi bersama Stephen Ang bertajuk Zhen Shan Mei yang Abadi, para peserta diberi waktu singkat untuk membuat video bertema tertentu. “Awalnya sempat blank, karena tim saya orang-orang baru. Tapi ternyata bisa juga. Di situ saya belajar me-manage waktu dan orang,” ujarnya.
Bagi Yunita, seluruh materi terasa menarik. Ia memperoleh banyak ilmu baru mulai dari teknik pengambilan gambar yang menarik, tips menulis artikel, hingga pemahaman tentang SOP relawan Zhen Shan Mei. Sepulang dari kamp, semangatnya langsung diuji. Ia mendapat tugas baru membuat video dokumentasi untuk acara kepulangan Gan En Hu, menggabungkan foto-foto kegiatan selama satu tahun terakhir.
“Saya merasa lebih percaya diri sekarang. Sepulang dari kamp ini, saya bertekad untuk lebih aktif lagi di kegiatan Zhen Shan Mei,” ujarnya mantap.
Yanti Yunita (ketiga dari kiri) relawan Zhen Shan Mei dari Tzu Chi Medan, menemukan semangat baru dan kepercayaan diri untuk terus berkarya setelah mengikuti ZSM Bootcamp 2025.

Relawan Zhen Shan Mei asal Kota Biak, Marcopolo, antusias mengikuti setiap sesi dan bertekad untuk mengembangkan tim media sosial di daerahnya agar nilai-nilai kemanusiaan Tzu Chi semakin meluas.
Sementara itu di ujung timur Indonesia, Marcopolo telah mengabdikan diri sebagai relawan Zhen Shan Mei Tzu Chi Biak sejak 2015. Ia pertama kali mengenal Tzu Chi pada tahun 2012 saat ikut membantu membagikan beras cinta kasih dari Taiwan ke daerah-daerah pedalaman.
“Waktu itu saya memang senang jalan-jalan ke tempat baru dan sedang belajar fotografi,” ceritanya. Dari situ ia diajak oleh Nining Shijie, relawan yang dulu mendokumentasikan kegiatan di Biak. Saat Nining pindah, Marcopolo pun melanjutkan tugas tersebut.
Baginya kamp Zhen Shan Mei kali ini terasa berbeda. Jika sebelumnya lebih banyak fokus pada teknis seperti menulis, fotografi, dan video, maka tahun ini suasananya lebih inspiratif dan reflektif.
“Saya sangat terinspirasi dengan materi dari Hadi Pranoto Shixiong tentang Menyebarkan Kebaikan di Era Digital, juga kisah Shifu dari Taiwan, dan sesi bersama Stephen Ang. Semua memberikan semangat baru,” ujarnya.
Dari kamp ini, ia menyadari pentingnya media sosial sebagai sarana untuk menjangkau lebih banyak orang. “Saya belajar banyak tentang konten dan media sosial. Tapi di Biak, saya kerja sendiri, belum ada tim. Jadi agak berat, apalagi ini membawa nama yayasan,” katanya jujur.
Langkah pertama yang akan ia lakukan setelah pulang adalah mencari tim berjiwa muda untuk bersama-sama mengelola konten. “Agar Tzu Chi Biak juga bisa hadir di media sosial dan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan lebih luas lagi,” ujarnya penuh semangat.
Editor: Arimami S.A