Tim Medis TIMA Indonesia mengukur pengelihatan mata kanan Slamet Budiono dengan jari dari jarak yang bervariasi saat proses Post Op pada Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-149 di Surabaya.
Sama sekali tak pernah terlintas dalam benak Slamet Budiono (41) akan menderita katarak di mata kanannya. Warga Kelurahan Kedung Baruk, Kecamatan Rungkut, Surabaya ini mulai merasakan gejalanya sejak tahun 2023. Sebagai kepala keluarga yang sehari-hari bekerja sebagai sekuriti perumahan ini, katarak yang dideritanya menjadi masalah saat beraktivitas dan berkendara sepeda motor saat berangkat dan pulang bekerja.
“Saya merasa ada kelainan pada mata kanan saya itu awal di bulan April 2023. Setelah itu awal 2024, mata kanan saya kaya ada kotoran terus. Di bulan Oktober, kaya ada benda seperti plastic kalau melihat, lama-kelamaan sudah nggak kelihatan cuma ada cahaya,” cerita Slamet tentang awal mula katarak di mata kanannya.
Kondisi ini pun tentu sangat berpengaruh dalam kehidupan Slamet baik di rumah atau pun saat bekerja. Terlebih lagi saat harus menggunakan benda-benda kecil seperti kunci rumah, kunci motor, dan benda-benda kecil lainnya.
“Sangat mengganggu, contoh kalau mau memasukkan benda berukuran kecil, perasaan sudah pas tapi ternyata enggak,” kata Slamet. “Kalau jalan itu perasaan jalan datar, tapi kesandung pada waktu kerja,” tambahnya.
Mau tidak mau ayah dua anak ini pun harus beradaptasi dengan kondisi matanya, karena harus sepenuhnya hanya menggunakan mata kiri untuk beraktivitas. Tentunya ini bukan hal yang mudah bagi Slamet, apalagi saat berkendara sepeda motor menuju dan pulang dari tempat bekerja.
Katarak di mata kanan Slamet membuatnya terganggu saat berkendara sepeda motor. Saat memasuki gang atau jalan yang sempit, Slamet harus meraba tembok untuk menjaga keseimbangan karena pengelihatannya terbatas.
“Pernah perasaan saya sudah melewati kendaraan saat mau menyalip kanan, tapi saya diklakson kencang. Saya kaget karena mata saya yang kanan sudah nggak lihat. Jadi kalau di jalan kondisi seperti saya ini sangat membahayakan karena pengelihatan mata itu paling utama saat berkendara,” kenang Slamet.
Kondisi katarak di mata kanan Slamet selama ini juga membuatnya cemas. Sebagai tenaga sekuriti kontrak, kekurangan fisik terutama pengelihatan menurut Slamet bisa saja mengacam pekerjaannya. Terlebih lagi Slamet adalah tulang punggung keluarga dan usianya juga sudah tidak lagi muda.
“Yang pasti sekuriti itu menurut saya harus sempurna fisiknya, kalau salah satunya sudah nggak berfungsi takut nggak diperpanjang kerjanya. Kalau mata kanan saya sudah nggak fungsi, cara cepat untuk saya bertindak itu agak kurang dan mengganggu sekali. Di umur sekarang ini kan mencari pekerjaan sangat sulit,” kata Slamet.
Syaiful, anak kedua Slamet menunjuk mata orang tuanya yang menderita katarak saat dikunjungi relawan Tzu Chi di wilayah Kelurahan Kedung Baruk, Kecamatan Rungkut, Surabaya.
Dulu Slamet sempat menyembunyikan kondisi mata kanannya, tapi setelah ada titik putih teman-temannya bekerja pun berkata kalau Slamet kena katarak. Dari sana, Slamet pun disarankan untuk segera menangani katarak di mata kanannya. Tetapi karena keterbatasan biaya, keinginannya untuk sembuh pun tertunda.
“Saya yang ingin berharap sembuh kalau pakai dana pribadi itu kita menyisihkan uang sampai kapan? Contoh seperti saya mau operasi secara mandiri itu susah, biayanya yang nggak ada,” ungkap Slamet.
Secercah Harapan Itu Datang
Tak patah arah, Slamet pun memutuskan untuk mencari cara untuk mengobati katarak di mata kanannya. “Jadi saya mulai tanya ke teman-teman untuk pengurusan BPJS karena saya agak awam. Ehh, ndilalah (kebetulan) ada info dari Babinsa yang menawarkan ada operasi katarak gratis, saya jawab mau tanpa ragu,” ungkap Slamet.
Setelah itu Slamet diperintahkan untuk menyiapkan fotokopi KTP dan KK, serta surat keterangan dokter yang menyatakan pasien menderita katarak. Kemudian diarahkan tanggal 12 Juli 2025 untuk mengikuti screening pasien di RS Tk.III Brawijaya, Surabaya.
Di ruang transit, mata kanan Slamet ditetesi cairan untuk membesarkan pupil secara berkala sebelum masuk ke ruang operasi.
Slamet (tengah) bersama pasien lainnya saling berpegangan dan menguatkan sesaat sebelum masuk ruang operasi. Ia merasa seperti punya keluarga dan sahabat baru yang senasib.
Setelah melengkapi persyaratan, Slamet didampingi relawan dari awal masuk hingga mengikuti serangkaian tes kesehatan dan pemeriksaan mata. “Sangat membantu (relawan), karena saya sudah lihat kaya orang yang susah berjalan sangat dibantu oleh relawan Buddha Tzu Chi, pokoknya the best lah,” ungkapnya.
Dari hasil pemeriksaan, Slamet pun dinyatakan lolos screening untuk mengikuti operasi katarak pada Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-149 di Surabaya. “Sangat gembira karena saya ingin mata kanan saya pulih kembali seperti yang sebelah kiri,” ungkap Slamet menceritakan kegembiraannya.
Kegembiraan Slamet juga hadir denga rasa cemas dalam benaknya. Pasalnya, seumur hidup Slamet belum pernah dioperasi. “Agak berdebar-debar, karena nggak pernah sama sekali ini. Pikirannya ya sampai ‘iki mengko nek nggak berhasil piye? Mengko malah wuto mataku’ (ini nanti kalau tidak berhasil bagaimana? Malah buta mata saya). Tapi ya saya membesarkan hati, insyallah berpikirian positif, hasilnya akan positif,” kata Slamet.
Hari Bahagia Untuk Slamet
Ketika pelaksanaan Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-149 berlangsung di RS Tk.III Brawijaya, Surabaya, pada Sabtu, 19 Juli 2025. Slamet datang didampingi oleh Syawal anak pertamanya. Setelah daftar ulang, Slamet bersama ratusan pasien yang mengikuti baksos kesehatan menunggu giliran untuk masuk ke ruang operasi. Rasa takut, cemas, tegang pun menyelimuti para pasien, begitu pula dengan Slamet.
Dr. Tri Agus Haryono, Sp.M, salah satu Dokter TIMA Indonesia sedang menangani salah satu pasien dalam kegiatan Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-149.
Tetapi untuk menghilangkan ketegangan, Slamet yang memiliki kepribadian periang ini mencoba berkenalan dan saling berbicara dengan pasien lainnya. “Saling menguatkan biar nggak panik, kita saling menyemangati, merasa sekali jadi keluarga tadinya kita nggak kenal dari mana asalnya, kerja apa, jadi tau. Rasanya seperti punya keluarga, sahabat baru,” ucap Slamet.
Setelah selesai operasi, Slamet pun dituntun oleh perawat menuju kursi roda untuk diantarkan ke pendampingnya. Ia pun merasa senang karena telah melewati proses operasi yang membuatnya cemas, sekaligus mengantarkannya untuk dapat melihat dengan normal kembali. “Lega sekali, tadi sempat panik terasa kaya nafasnya susah. Tapi saya bertekad mau sembuh, jadi saya lawan rasa takutnya,” cerita Slamet setelah keluar dari ruang operasi. Setelah mendapat pengarahan oleh Tim Medis TIMA Indonesia, Slamet diperbolehkan pulang dan kembali lagi keesokan harinya untuk Post Op (pemeriksaan pascaoperasi).
Rasa lega dirasakan Slamet setelah menjalani operasi katarak di mata kanannya. Ia dibantu relawan Tzu Chi Surabaya menemui pendampingnya di lobi RS Tk.III Brawijaya, Surabaya.
Pagi itu, 20 Juli 2025, Slamet bersama ratusan pasien yang telah dioperasi pada Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-149 sudah mulai berkumpul di lobi gedung baru RS Tk.III Brawijaya, Surabaya untuk mengikut proses Post Op. Slamet pun dengan sabar menunggu giliran untuk dibuka penutup mata kananya yang dioperasi oleh perawat.
“Yang awalnya cuma kelihatan cahaya, sekarang sudah kelihatan orang,” kata Slamet sesaat setelah penutup matanya dibuka. “Malah mata saya yang kanan lebih jelas dari mata kiri saya. Perasaan saya sangat bahagia sekali, karena yang selama satu tahun setengah ini hanya kelihatan cahaya saja,” tambahnya.
Kebahagiaan Slamet semakin bertambah saat perawat mengukur pengelihatan mata kanannya dengan jari dari jarak yang bervariasi. Sekitar jarak setengah meter hingga 1,5 meter, pengelihatan maka kanan Slamet sangat jelas. “Kalau buka kunci kemungkinan nggak salah lagi, nggak usah dibantu tangan lagi. Kalau bekerja kemungkinan besar tidak ada gangguan lagi. Bawa motor keluar masuk ke gang sudah nggak pegang tembok lagi, langsung sruttt lancar. Sekarang kalau naik motor ya siap, gass poll. Hahaha,” ungkap Slamet bersukacita.
Sukacita dan bahagia terpancar dari wajah Slamet Budiono setelah mata kanannya terbebas dari katarak berkat Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-149 di Surabaya.
Bagi Slamet, terbebas dari katarak merupakan lembaran baru untuk mata kanannya. Ia pun sangat mengapresiasi relawan dan tim dokter dari Tzu Chi yang mengoprasi para pasien dalam Baksos kali ini di Kota Pahlawan. “Menolong orang yang nggak mampu itu merupakan tindakan kepahlawanan. Tanpa melihat batas-batas agama saya apa, tanpa melihat batas-batas suku saya apa, itu salah satu ciri pahlawan atau bisa dikatakan orang-orang yang ada di Buddha Tzu Chi ini pahlawan semua. Karena mereka bisa menyisihkan hartanya untuk menolong orang-orang yang kurang mampu,” tutur Slamet. “Untuk Buddha Tzu Chi teruskan membantu rakyat kecil seperti kami yang membuthkan bantuan seperti operasi katarak dengan biaya yang besar. Jadi mohon untuk diteruskan kegiatan bakti sosial seperti ini,” tambahnya bersemangat.
Bukan hanya pasien, kebahagiaan juga dirasakan dr. Tri Agus Haryono, Sp.M, Dokter TIMA Indonesia yang ikut dalam Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-149 di Surabaya ini. Ia merasa bersyukur bisa berjodoh baik dan mengoperasi para pasein katarak dan salah satunya adalah Slamet Budiono.
“Tujuan setiap dokter itu membahagikan pasien, yang tidak melihat jadi melihat. Mudah-mudahan dengan keberhasilan operasi ini kualitas hidupnya bertambah, dia bisa kembali lagi menjalani pekerjaan dengan baik. Itu suatu kebahagian tersendiri bagi saya ya dan bagi pak Slamet juga saya ucapkan terima kasih karena kita berjodoh dalam baksos Tzu Chi ini,” jelas dr. Tri Agus Haryono, Sp.M disela-sela kegiatan Post Op.
Editor: Fikhri Fathoni