Bakti Sosial Kesehatan Tzu Chi ke-153 yang digelar pada Sabtu 13 Desember 2025 menghadirkan kembali kualitas hidup yang lebih baik bagi 99 penyintas katarak dan pterygium.
Setahun terakhir pandangan Narwi (52) kian kabur. Petani asal Desa Bunder, Kecamatan Widasari, Indramayu itu mulai kesulitan melihat dengan jelas terutama saat bekerja di sawah. Kedua matanya katarak, dengan kondisi mata kiri yang paling mengganggu.
“Ngeblur,” ujarnya saat bersiap mengikuti operasi katarak di Bakti Sosial Kesehatan Tzu Chi ke-153 di Lantai 9 Tzu Chi Hospital PIK pada 13 Desember 2025 lalu.
Kesulitan yang Narwi rasakan paling berat terutama saat menyabit padi. Keringat yang menetes ke mata terasa perih, sementara penglihatan yang buram kerap menyulitkan geraknya. Meski begitu Narwi tetap bertahan karena sawah adalah sumber hidupnya.
Keinginan Narwi untuk operasi sebenarnya sudah sejak lama. Narwi dan anaknya, Tarkina (29) sempat mencoba jalur pemerintah di Indramayu. Namun harus sabar menanti. “Katanya nunggu sampai bulan empat tahun depan,” ujar Tarkina.
Tarkina setia mendampingi ibunya, Narwi sejak proses screening hingga operasi, serta pembukaan perban mata.
Sudah sepuluh tahun ini, Tarkina bekerja sebagai petugas keamanan di Gedung Tzu Chi Center, PIK. Meski masih berstatus outsourcing, kesehariannya berada di lingkungan Tzu Chi membuatnya akrab dengan berbagai kegiatan kemanusiaan Tzu Chi.
“Karena kerja di sini, jadi tahu ada pengobatan katarak gratis,” ujar Tarkina.
Jauh sebelumnya, Tarkina sudah berpesan kepada Tami, staf dari TIMA Indonesia agar mengabari jika nanti ada pengobatan katarak gratis. Begitu dapat informasi, apalagi bakal digelar di lingkungan Tzu Chi Center, Tarkina langsung menghubungi ibunya di kampung.
“Saya sendiri yang minta. Kalau ada kesempatan operasi, saya mau,” kenang Narwi.
Pada 3 Desember 2025, Tarkina menjemput ibunya dan membawanya ke Jakarta. Screening dilakukan pada 6 Desember, disusul operasi katarak mata kiri pada 13 Desember.
Tarkina satu-satunya anak Narwi. Sejak suaminya meninggal, Narwi tinggal sendiri di kampung. Meski jarak memisahkan, perhatian Tarkina tak surut.
“Kalau video call, Mama tetap buka. Tapi enggak bisa lihat jelas, buram,” cerita Tarkina.
Kaki Narwi dibersihkan oleh sang anak, memastikan kondisi steril sebelum menjalani operasi katarak.
Senyum lega Narwi merekah setelah penglihatannya kembali terang usai operasi. Setelah itu relawan Tzu Chi kembali membantu memasangkan perban lagi sebelum ia meninggalkan Tzu Chi Hospital.
Selama mengikuti rangkaian bakti sosial, Narwi tinggal bersama Tarkina di Rusun Cinta Kasih. Kesempatan ini sekaligus jadi waktu kebersamaan yang jarang mereka miliki. Narwi bisa melihat cucunya secara langsung, sesuatu yang tak bisa ia nikmati lewat layar ponsel.
Bagi Narwi, pengalaman mengikuti Bakti Sosial Kesehatan Tzu Chi ke-153 meninggalkan kesan mendalam. Sejak screening hingga hari operasi, ia merasa dilayani dengan penuh perhatian. “Baik semua, ramah-ramah,” katanya.
Suasana haru terasa saat perban mata Narwi dibuka. Perlahan ia mengedipkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya. “Terima kasih, sekarang bisa melihat lagi,” ucapnya lirih.
Saat ditanya ingin ke mana setelah penglihatannya kembali terang, Narwi tak menyebut tempat wisata atau keinginan besar lainnya. Pikiran Narwi sudah kembali ke sawah.
“Mau pulang ke kampung. Sudah kangen. Sekarang masih musim tebar. Sawahnya lagi dibajak pakai traktor,” ceritanya.
Musim tanam tengah berjalan. Benih padi sedang disiapkan. Tak lama lagi ia dan teman-temannya akan mulai menanam. Ia ingin kembali ke sana dengan mata lebih terang, langkah lebih yakin, dan hati penuh syukur.
Menemukan Harapan
Yessie Christina, relawan menemani Roalim setelah berhasil menjalani operasi katarak.
Jika Narwi menemukan kembali harapannya berkat anaknya yang bekerja di Tzu Chi, Roalim (57), pasien lainnya menemukan harapannya berkat unggahan di media sosial Instagram. Informasi tentang Bakti Sosial Kesehatan Tzu Chi ke-153 terbaca oleh salah satu anaknya.
Bagi Roalim, harapan untuk kembali melihat sempat terasa menjauh. Mata kirinya telah lama berkabut. Bertahun-tahun ia mengandalkan mata kanan untuk beraktivitas. Namun beberapa bulan terakhir, nasib seakan tak memberi jeda. Mata kanannya pun mulai menggelap.
Pandangan makin buram, langkah kian hati-hati. Ketakutan perlahan muncul, takut tak lagi mandiri, takut jadi beban orang-orang terdekat.
Roalim terharu saat perban matanya dibuka dan kembali dapat melihat jelas.
Harapan itu akhirnya datang pada Sabtu lalu. Roalim jadi salah satu pasien yang berhasil menjalani operasi katarak yang digelar di Tzu Chi Hospital. Sebuah kesempatan yang nyaris tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Sehari setelah operasi, suasana haru menyelimuti ruang pembukaan perban. Saat perban matanya dilepas, Roalim terdiam sejenak. Lalu dengan mata berkaca-kaca, ia mengucapkan kata-kata pertamanya. “Saya bisa lihat lagi, Alhamdulillah.” Suaranya bergetar diiringi air mata haru.
Dengan suara penuh harap, Roalim pun menyampaikan doa. “Saya mengucapkan ribu-ribu terima kasih kepada Yayasan Buddha Tzu Chi. Semoga makin jaya, makin maju. Relawannya makin banyak, pekerjanya juga. Semoga semua disehatkan, dimudahkan rezekinya, dan diberi kekuatan untuk terus menebar cinta kasih,” tuturnya.
Ketulusan Mendampingi dari Awal hingga Akhir
Ketulusan Yessie Christina serta relawan Tzu Chi lainnya tampak dalam setiap perhatian yang diberikan pada para pasien.
Di balik lancarnya proses screening, operasi, hingga pembukaan perban, ada tangan-tangan relawan Tzu Chi yang setia mendampingi para pasien. Salah satunya Yessie Christina, relawan Tzu Chi dari Komunitas He Qi PIK.
Yessie bertugas sebagai pemerhati pasien, ia mengamati, mendampingi, dan memastikan kebutuhan pasien terpenuhi, baik yang belum maupun yang sudah menjalani operasi.
“Yang belum operasi biasanya sudah stres duluan. Kata operasi itu menakutkan. Tugas kami membuat mereka tenang,” terangnya.
Dengan lembut, Yessie dan timnya menguatkan batin pasien. Ia tak membedakan latar belakang atau keyakinan. Setiap pasien diajak kembali pada iman masing-masing, berserah kepada Yang Maha Kuasa, sembari percaya bahwa proses medis berjalan melalui tangan-tangan profesional para dokter.
Relawan Tzu Chi mendampingi pasien penuh perhatian sejak sebelum hingga sesudah operasi katarak.
Tim relawan konsumsi Tzu Chi memastikan pasien dan relawan tak kekurangan makanan selama berlangsungnya Bakti Sosial Kesehatan Tzu Chi ke-153.
Bagi pasien yang sudah operasi, perhatian tak berhenti. Jika ada yang kedinginan, Yessie segera mengambilkan selimut. Ia juga menyodorkan air hangat supaya pasien merasa lebih tenang. Ia melayani tanpa canggung seolah mendampingi keluarga sendiri. Bagi Yessie, ketulusan itu muncul alami.
“Karena kita memperlakukan semua makhluk sama,” ujarnya.
Menariknya, bakti sosial katarak ini merupakan pengalaman pertama Yessie. Banyak momen yang membekas di hati Yessie, terutama air mata haru para pasien. “Banyak yang menangis karena bersyukur akhirnya bisa operasi dan melihat lebih jelas. Itu membuat saya ikut terharu,” sambungnya.
Baginya, layanan operasi katarak ini bukan hanya memberi manfaat bagi pasien, tetapi juga bagi para relawan Tzu Chi. “Kami kan ikut merasakan sukacita para pasien. Dan itu seperti kami mendapatkan nutrisi positif untuk tubuh kami, menguatkan dan menyehatkan jiwa raga,” pungkasnya.
Editor: Metta Wulandari
Sitemap