Tim medis melakukan pemeriksaan kondisi mata peserta. Sebanyak 101 pasien katarak dan 1 pasien pterygium lolos dan dapat mengikuti operasi pada Sabtu 13 Desember 2025 mendatang.
Suasana hangat langsung terasa begitu tiba di Basement Aula Jing Si, Tzu Chi Center PIK, saat screening Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-153, Sabtu 6 Desember 2025. Para calon pasien operasi katarak disambut dengan keramahan relawan Tzu Chi International Medical Association (TIMA) Indonesia dan relawan Tzu Chi dari komunitas He Qi PIK. Senyum yang tulus tersebut membuat para pasien yang semula sedikit cemas jadi lebih tenang dan merasa sangat dihargai.
Nani (48) tiba di Basement Aula Jing Si dengan kursi roda yang didorong oleh suaminya. Tatapan kosong dari kedua matanya langsung menggugah siapa pun yang melihatnya. Suaminya menjelaskan bahwa istrinya telah kehilangan penglihatan total sejak beberapa bulan terakhir.
Nani datang ke Tzu Chi setelah dirujuk oleh dokter mata di RSCK Tzu Chi Cengkareng. Lebih dari dua tahun, katarak mengaburkan penglihatannya. Dan dalam lima bulan terakhir penglihatannya hilang, hanya menyisakan bayangan cahaya samar.
Sebelumnya Ibu Nani bekerja sebagai akuntan. Kondisi mata memaksanya berhenti bekerja. Sang suami pun meninggalkan pekerjaannya di kantor untuk mendampingi istri tercinta dan kini mencari nafkah sebagai pengemudi ojek daring. Pasangan tanpa anak ini saling mengandalkan satu sama lain. Karena itu kabar tentang operasi katarak gratis dari Tzu Chi menjadi secercah harapan yang sangat berarti bagi keduanya.
“Harapan saya bisa kembali melihat dunia, melihat wajah suami saya yang selalu setia,” tuturnya lembut.
Bu Nani tiba dengan kursi roda didampingi suaminya.

Ibu Esther mengikuti screening (baju kuning) dengan penuh semangat, apalagi didampingi juga oleh para relawan Tzu Chi.
Sementara itu di usia 70 tahun lebih sebulan, Esther Herlambang akhirnya menemukan kembali harapan yang lama ia nanti. Kedatangannya di screening Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-153 bermula dari pesan WhatsApp seorang teman. Ia menyebut itu sebagai “jodoh” yang membawanya menemukan cahaya baru.
Meski penglihatannya buram akibat katarak, semangatnya tak padam. Setiap hari Ibu Esther tetap rajin membaca Alkitab menggunakan kaca pembesar. Dalam doanya ia selalu memohon agar diberi kesempatan untuk melihat lebih jelas agar bisa kembali membaca Alkitab tanpa hambatan.
Sebelumnya ia sempat beberapa kali kecewa karena harapan bantuan operasi melalui BPJS tak kunjung terwujud. Ketika mengetahui baksos katarak Tzu Chi memiliki batas usia peserta maksimal 70 tahun, Ibu Esther sempat khawatir. Namun dengan keyakinan penuh dan tekad kuat, ia memberanikan diri hadir langsung ke lokasi pagi itu dan diterima dengan tangan terbuka oleh tim relawan.
“Baksos katarak Tzu Chi ini membawa cahaya dan kebahagiaan untuk saya. Tuhan membawa saya datang ke rumah cinta kasih universal untuk mewujudkan harapan umat-Nya,” ujarnya.
Doa yang Tuhan Genapi
Julistina (baju putih mendekap tas) menunggu hasil screening dengan tenang, berharap mendapat kartu kuning untuk operasi.
Sementara di salah satu sudut ruang tunggu, Julistina (67) duduk menanti kartu kuning, kartu yang menandai lolos screening dan bisa menjalankan operasi pada Sabtu, 13 Desember 2025 mendatang. Sisa-sisa kecantikannya di masa muda masih tampak jelas. Empat tahun terakhir penglihatannya makin menurun sejak ia kehilangan putri satu-satunya akibat kanker.
Kesedihan itu begitu membekas hingga membuatnya enggan ke rumah sakit. Selain itu ada juga trauma yang tertinggal dari pengalaman menemani sang putri berobat, yakni perlakuan kurang baik dari salah satu tenaga medis. Sejak itu ia memilih diam, tidak menceritakan kondisi matanya kepada siapa pun.
Sehari-hari, Julistina aktif di gereja, membersihkan, membantu, mengurus apa saja yang bisa ia kerjakan. Untuk membaca tulisan kecil, ia masih mampu, tapi rasanya seperti ada yang mengganjal di mata.
Suatu hari Julistina berdoa agar Tuhan memberinya jalan supaya bisa melihat dengan jelas. Tak lama seorang teman memberitahu informasi tentang Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-153. Tanpa pikir panjang, ia langsung mendaftar. Demi memastikan tak salah jalan, ia bahkan datang ke Tzu Chi Center sehari sebelumnya hanya untuk mengecek lokasi.

Para relawan menemani para pasien lansia memastikan mereka merasa nyaman dan tenang.
Tim relawan di bidang konsumsi mempersiapkan makanan dan minuman untuk para pasien dan relawan dengan sepenuh hati.
Pagi itu Justina berangkat ke Tzu Chi Center setelah pulang dari gereja. Perjalanan menuju PIK ditempuh dengan TransJakarta. Setelah operasi nanti, Julistina berharap dapat kembali mencurahkan tenaga untuk kegiatan sosial.
“Saya ingin lebih mencintai pekerjaan sosial,” katanya mantap. Selain aktif di gereja, jauh sebelum itu Julistina yang pernah tinggal lama di Bali, aktif mendampingi anak-anak hiperaktif dan autis agar bisa membaca dan berhitung.
Menghadirkan Ruang untuk Melihat Kembali
Dr. Santoso Kurniawan, MM, Kepala Medis Tzu Chi Hospital (kanan). Untuk screening kali ini, hampir 50 anggota tim Tzu Chi Hospital dikerahkan, mulai dari perawat, dokter umum, dokter mata, dokter penyakit dalam, hingga tenaga analis.
Bakti sosial Tzu Chi berskala besar yang menutup tahun 2025 ini diselenggarakan dengan dukungan Tzu Chi Hospital sebagai tuan rumah. Dr. Santoso Kurniawan, MM, Kepala Medis Tzu Chi Hospital Indonesia, menegaskan layanan operasi katarak ini selaras dengan visi dan misi Tzu Chi untuk membantu masyarakat hidup lebih sehat dan lebih nyaman.
“Pancaindra terutama mata, punya peran penting. Bagi mereka yang masih produktif, penglihatan yang baik akan meningkatkan produktivitas. Bagi yang sudah paruh baya, mata yang sehat membantu memperpanjang masa produktif. Sementara untuk para lansia, setidaknya mereka bisa tetap mandiri dan tidak menyulitkan orang lain,” tuturnya.
Meski layanan BPJS di Jakarta sudah berfungsi cukup baik, dr. Santoso menjelaskan bahwa banyak pasien tetap mengalami hambatan. “Ada yang harus menunggu antrean lama, ada pula yang karena alasan tertentu tidak dapat menggunakan BPJS,” tuturnya.
Tidak sedikit pula pasien yang mengikuti baksos karena kepercayaan mereka terhadap pelayanan yang diberikan Tzu Chi. “Kalau kita bisa membantu lebih cepat, kenapa tidak?” tambahnya.
Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-153 menjadi kesempatan berharga bagi para Relawan Tzu Chi komunitas He Qi PIK untuk menebar ladang berkah. Mereka memanfaatkan momentum ini sebaik-baiknya, karena menyadari bahwa meskipun kegiatan serupa mungkin kembali diadakan di Jakarta tahun depan, belum tentu komunitas mereka mendapat giliran untuk terlibat sedekat ini. Sepanjang hari, para relawan tampak aktif menemani para pasien dengan obrolan ringan agar mereka tidak bosan menunggu dan merasa lebih nyaman.
Poen Wi Ping bertugas menerangkan tentang persiapan sebelum operasi kepada para pasien dengan tutur kata yang lembut.
Poen Wi Ping, yang telah 15 tahun menjadi relawan Tzu Chi, hari itu bertugas memanggil para pasien yang lolos screening dan membagikan kartu kuning. Dengan tutur kata yang lembut, ia menjelaskan berbagai persiapan yang harus dilakukan sebelum operasi, seperti tidak memakai riasan dan perlu keramas terlebih dahulu agar saat operasi kepala tetap bersih.
“Kami para relawan menjalani tugas ini dengan bersyukur dan bahagia. Apalagi kalau bertugas di kertas kuning itu seperti membawa kabar gembira kepada calon pasien. Jadi saya happy sekali,” tuturnya.
Peserta screening kali ini datang bukan hanya dari Jakarta, tetapi juga dari Bogor dan sekitarnya. Beberapa pasien bahkan datang mendadak pada hari screening, dan tetap diterima tanpa ragu.
“Target pasien memang sekitar 150, tapi pendaftaran tak sampai sebanyak itu, sehingga pasien yang datang langsung pun tetap diterima. Akses ke sini tidak mudah, jadi kalau mereka sudah berusaha datang jauh-jauh, tak mungkin ditolak. Mereka yang datang sudah pasti butuh bantuan,” terang Suster Wenny, dari TIMA Indonesia.
Suster Wenny (tengah) memberikan pengarahan pada para relawan agar pelayanan pada pasien berjalan lancar dan penuh dengan budaya humanis Tzu Chi.
Suster Wenny menambahkan, semakin cepat pasien ditangani, semakin cepat pula mereka dapat kembali beraktivitas. Terutama para kepala keluarga yang harus kembali bekerja untuk menafkahi keluarganya. Karena berada di penghujung tahun, banyak pasien berharap dapat menyambut Natal dan Tahun Baru dengan penglihatan yang lebih jelas.
“Selama ini, beberapa di antara mereka tidak mampu melihat wajah keluarga dengan jelas, ada yang tidak lagi berani bepergian, dan ada pula yang hidup dalam bayang-bayang pandangan yang kabur. Dengan adanya baksos ini, mereka dapat merayakan hari besar dengan penglihatan yang lebih cerah, bisa kembali melihat anak-cucu, atau sekadar bepergian bersama keluarga,” pungkas Suster Wenny.
Editor: Fikhri Fathoni