Belajar Menata Berkesinambungan

Jurnalis : Dian Dewi Purnamasari / Madina Nusrat (Harian Kompas), Fotografer : Dok. Tzu Chi

Belajar Menata Berkesinambungan

Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat ini diresmikan pada 25 Agustus 2003 yang menampung warga yang terkena normalisasi Kali Angke oleh Pemda DKI Jakarta pada tahun 2002. Setelah 13 tahun lebih, banyak kemajuan dan perubahan hidup warganya, khususnya dalam bidang pendidikan.

NYARIS tak pernah ada relokasi warga ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang disambut sukacita warga Ibu Kota. Wajahnya tetap sama, yakni penggusuran paksa.

Alih-alih menggunakan perencanaan dan melibatkan partisipasi warga sebagai bagian penataan kota berkelanjutan, hampir semua relokasi terjadi akibat desakan pembangunan fisik dan kebutuhan ruang untuk normalisasi sungai, ruang terbuka hijau, ataupun akses jalan.

Menengok 13 tahun lalu, relokasi lebih dari 500 keluarga dari bantaran Kali Angke ke Rumah Susun (Rusun) Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng, Jakarta Barat, juga ditolak warga yang seluruhnya adalah korban banjir besar 2003. Amarah dan rasa kesal itu masih tertanam di ingatan Sumarlik (53).

"Marah saya dipindah ke rusunawa. Di tempat asal saya punya rumah, aset meskipun di pinggir kali. Di sini saya harus sewa," katanya.

Kendati demikian, Sumarlik tak menampik banyak hal didapatnya di rusunawa itu. Ia memperoleh pendidikan keterampilan, pendampingan untuk pendidikan anak-anaknya hingga anak bungsunya dapat mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Indonesia.

"Sekarang kehidupan keluarga lumayan mapan. Anak saya sudah kerja. Di sini bersih dan nyaman," katanya, pekan lalu.

Wina (45), penghuni lain di rusun itu, merasakan kesulitan pada lima tahun pertama pindah. Sebelum direlokasi, Wina memiliki warteg berpenghasilan Rp 150.000 per hari. Sejak di rusun, ia tak lagi membuka warteg karena sepi pelanggan. Ia hanya mengandalkan gaji suaminya Rp 2 juta per bulan yang bekerja di bengkel di Rawabuaya.

Masa pertama relokasi pada 2003, Rusun Cinta Kasih Tzu Chi masih sepi dan jauh dari permukiman. Berdagang pun sulit memperoleh pelanggan. Lain halnya dengan sekarang, Rusun Tzu Chi yang dihuni 930 keluarga itu dikelilingi apartemen dan ruko.

Diakui Kepala Sekretariat Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Suriadi, bukan hal mudah mengelola penghuni rusunawa. Lima tahun pertama bermukim di rusunawa, hampir semua penghuni menunggak sewa unit seperti terjadi di hampir seluruh rusunawa Pemerintah Provinsi DKI saat ini.

Tunggakan sewa unit dalam setahun Rp 1,5 miliar. Padahal, sewa di lima tahun pertama hanya Rp 90.000 per bulan per unit, tak termasuk tagihan air dan listrik. Di tahun ke-13 saat ini, biaya sewa per unit Rp 150.000 per bulan.

"Kami benahi ini dengan belajar dari pengalaman meski tidak diawali perencanaan yang detail. Sebab, rusunawa ini juga kegiatan sosial yayasan kami," ujarnya.

Pembenahan itu dimulai dengan pemberian pendidikan formal ataupun informal untuk mengubah mentalitas dan perilaku. Orangtua yang putus sekolah diberi pendidikan Kejar Paket A hingga C, sementara anak-anak diwajibkan sekolah yang ada di rusunawa. Untuk memberikan model panutan, guru sekolah bermukim di rusunawa. Penghuni langsung memperoleh contoh cara hidup bersih dan tertib.

Pengelola Rusun Tzu Chi juga semaksimal mungkin menyerap tenaga kerja dari penghuni rusunawa. Dengan demikian, para penghuni dapat berdaya secara ekonomi sekaligus menumbuhkan rasa memiliki terhadap rusun.

Muin (53), salah satunya, penjaga pompa Kali Angke ini dipercaya memelihara jaringan saluran air di rusunawa dan memperoleh upah sesuai upah minimum kota Jakarta.

1.	Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat ini diresmikan pada 25 Agustus 2003 yang menampung warga yang terkena normalisasi Kali Angke oleh Pemda DKI Jakarta pada tahun 2002. Setelah 13 tahun lebih, banyak kemajuan dan perubahan hidup warganya, khususnya dalam bidang pendidikan.

Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng ini juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas kesehatan, pendidikan, pelestarian lingkungan, dan pemberdayaan ekonomi warga.

Berulang, tak belajar

Hampir seluruh permasalahan yang pernah ada di Rusun Tzu Chi kini terjadi di hampir semua rusunawa Pemprov DKI yang dihuni warga relokasi. Umumnya para penghuni mengalami kesulitan ekonomi karena pekerjaannya sebagai pedagang, sementara umumnya rusunawa berada jauh dari permukiman ataupun pasar sebagai sarana mereka berdagang.

Sosiolog Universitas Indonesia, Setya Damayanti, mengatakan, idealnya proses relokasi warga dari bantaran kali ke rumah susun membutuhkan waktu dua tahun. Waktu untuk proses pendekatan, pemetaan, pendataan, penempatan, penertiban, penataan, dan pemberdayaan. Namun, hal itu hampir tidak pernah dilakukan dalam program relokasi pemerintah.

"Pemerintah juga tidak punya aturan baku relokasi. Masalah lain timbul ketika sungai yang dinormalisasi merupakan kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya kebagian tugas menertibkan hunian di bantaran. Lemahnya koordinasi serta keterbatasan sumber daya manusia selalu jadi kendala," tuturnya.

Pendidikan ataupun pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan seperti di Rusun Tzu Chi tak dijumpai di rusunawa Pemprov DKI.

"Pelatihan dan pendidikan bagi anak-anak itu sangat diperhatikan pengelola di rusun ini. Kami jadi punya harapan lebih baik," kata Sumarlik.

Dari sisi penataan ruang permukiman, menurut Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Real Estat Hari Ganie, setiap permukiman baru harus memperhitungkan kebutuhan sosial-ekonomi penghuninya. Hunian perlu dibangun sebagai hunian campuran agar kegiatan ekonomi penghuninya dapat bergerak. Hunian itu tak hanya menyediakan rusunawa untuk warga relokasi, tetapi juga untuk umum dengan biaya sewa yang sesuai dengan harga pasar.

"Dengan adanya perbedaan kemampuan ekonomi, ekonomi warga miskin pun bergerak. Hunian yang homogen itu relatif menyulitkan warga yang bekerja di sektor informal," katanya.

Sosiolog UI, Otto Hernowo Hadi, mengatakan, DKI perlu membuat rencana induk penataan kota yang holistik dengan melibatkan masyarakat. Rencana induk itu untuk menjamin penataan itu bisa berjalan berkesinambungan hingga 25 tahun ke depan. Dengan demikian, tak peduli siapa pun kepala daerahnya, penataan tetap berjalan. Ia mencontohkan, penataan kampung lewat program MH Thamrin di era Gubernur Ali Sadikin pada 1974 berhasil berkat kekuatan penguasa saat itu. Tetapi, kalau dari sisi kepuasan dan keterlibatan masyarakat, proyek itu jauh di bawah harapan.

"Kini saatnya politik pemerintah kota dengan memperhatikan unsur kemanusiaan, selain memperhatikan legalitas hukumnya," kata Otto.

Editor

: Egidius Patnistik

Sumber

: http://megapolitan.kompas.com/read/2016/11/10/17000081/belajar.menata.berkesinambungan


Artikel Terkait

KOMPAS: Belajar Tabah dari Parikin

KOMPAS: Belajar Tabah dari Parikin

12 April 2010
Yabin Yap, Manajer Program DAAI, Kamis (8/4), mengatakan, drama seri ini menyampaikan pesan kepada masyarakat agar tidak pasrah menjalani hidup. ”Orang bisa memetik pelajaran bergelut dalam kehidupan keras dari drama-drama yang kami tayangkan.”
Semangat dalam Melestarikan Lingkungan dan Mengolah Sampah

Semangat dalam Melestarikan Lingkungan dan Mengolah Sampah

09 Februari 2016
Sebanyak 40 Warga Binaan Kompas Gramedia yang berasal dari Bogor dan Jakarta melakukan kunjungan belajar (studi banding) ke Tzu Chi pada tanggal 6 Februari 2016. Kegiatan ini bertujuan agar warga binaan terinspirasi dengan sistem pengolahan sampah yang dilakukan oleh para relawan yang bertempat di Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi Cengkareng yang berada di Kompleks Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat.
Belajar Menata Berkesinambungan

Belajar Menata Berkesinambungan

11 November 2016
Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat ini diresmikan pada 25 Agustus 2003 yang menampung warga yang terkena normalisasi Kali Angke oleh Pemda DKI Jakarta pada tahun 2002. Setelah 13 tahun lebih, banyak kemajuan dan perubahan hidup warganya, khususnya dalam bidang pendidikan.
Apa yang kita lakukan hari ini adalah sejarah untuk hari esok.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -