Dokter Monalisa saat menjelaskan tentang penyuluhan TBC.
“Terhadap hal-hal yang benar, lakukanlah tanpa ragu-ragu dan jangan berhenti di tengah jalan.Walaupun kehidupan dapat berakhir, namun kemilau cahaya jiwa kebijaksanaan akan menerangi kehidupan. Inilah makna kehidupan sesungguhnya”
(Kata Perenungan Master Cheng Yen)
Masih banyak yang menganggap tuberkulosis (TBC) sebagai penyakit sepele, padahal mudah menular dan tanpa memandang usia. Berangkat dari kepedulian itu, relawan Tzu Chi di Xie Li Kalimantan Timur 1 mengadakan penyuluhan tentang TBC untuk para siswa SMP Eka Tjipta 2 Kongbeng, Kamis (12/6/25). Melalui kegiatan ini, para relawan berharap para siswa bisa lebih waspada dan memahami pentingnya mengenali gejala TBC sejak dini.
Kali ini dr. Monalisa Silaen menjadi pemateri dalam penyuluhan yang diikuti siswa kelas 7 dan 8 ini. Dengan cara yang lembut namun jelas, ia mulai menjelaskan bahwa TBC bukan hanya penyakit orang dewasa. Bahwa anak-anak juga bisa terjangkit. Bahwa menjaga kesehatan bukan hanya tanggung jawab orang tua atau tenaga medis, tetapi dimulai dari diri sendiri, bahkan sejak usia sekolah.
"Anak-anak, kalian harus tahu... TBC bisa menyebar hanya lewat batuk, bersin, bahkan saat berbicara. Tapi kalian juga bisa mencegahnya. Dengan makan makanan bergizi, menjaga kebersihan, dan selalu memakai masker saat sakit," terangnya.
Penjelasan dr. Monalisa bikin para siswa aktif bertanya.
Tidak ada keraguan di mata para siswa. Mereka mendengarkan. Mereka bertanya. Mereka ingin tahu. Mereka sadar bahwa tubuh kecil mereka menyimpan kekuatan besar, kekuatan untuk melindungi diri dan orang-orang yang mereka cintai.
Irfan mengangkat tangan dan bertanya dengan polos, “Dok, usia berapa saja yang bisa kena TBC?” ucapnya. Pertanyaan ini terlihat sederhana, tetapi jawaban dr. Mona sungguh menggugah.
“Semua usia, Nak. Dari bayi sampai lansia. Tapi itulah kenapa kalian harus tahu hari ini. Supaya kalian bisa melindungi diri lebih awal,” jawab dr. Mona.
Selain Irfan, Dwi Wahyuni, relawan Dharma Wanita juga ikut menyampaikan pertanyaan. “Dokter mengapa pengobatan TBC memakan waktu lama?” dr. Mona menjawab dengan hati-hati, namun penuh kejujuran.
“Karena bakteri TBC sangat kuat. Walaupun kita merasa sudah sembuh, bakteri itu belum tentu hilang. Itulah kenapa pengobatan harus dijalani sampai selesai. Jangan berhenti hanya karena sudah merasa sehat,” jawabnya.
Kalimat itu menancap dalam, bukan hanya bagi siswa, tapi juga bagi para guru dan relawan. Bahwa kesabaran adalah bagian dari kesembuhan.
Para siswa menjalani skrining kesehatan termasuk ditelusuri riwayat kontak dengan penderita TBC.
Usai penyuluhan, para siswa menjalani skrining kesehatan. Berat badan, tinggi badan, status gizi, hingga riwayat kontak dengan penderita TBC diperiksa satu per satu. Kegiatan ini bukan untuk mencari-cari penyakit, tapi untuk mendeteksi lebih awal sebelum semuanya terlambat.
Dan di antara puluhan wajah ceria, ditemukan satu siswa yang masuk dalam kategori terduga TBC. Bukan karena ia tampak lemah, bukan pula karena ia mengeluh sakit. Tapi karena data menunjukkan bahwa ia pernah tinggal serumah dengan anggota keluarga yang sedang menjalani pengobatan TBC.
Tak ada ketakutan. Tak ada stigma. Yang ada hanyalah kepedulian. Siswa tersebut langsung diarahkan untuk mendapat pemeriksaan lebih lanjut oleh dr. Mona di Klinik Region Muara Wahau. Ia tidak sendiri. Ia didampingi. Ia dikuatkan.
Penyuluhan hari itu bukan sekadar kegiatan sosialisasi. Ia adalah benih harapan. Benih yang ditanam di tanah sederhana, namun bisa tumbuh menjadi pohon perlindungan bagi banyak generasi. Para relawan pulang dengan peluh, tapi juga dengan rasa lega. Mereka tahu, hari itu mereka tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi menanam kesadaran.
Keceriaan para siswa usai mendengarkan penyuluhan tentang TBC.
Anak-anak yang sebelumnya tak tahu apa itu TBC, kini tahu cara mencegahnya. Anak-anak yang sebelumnya hanya memakai masker karena disuruh, kini mengerti maknanya. Anak-anak yang dulunya acuh, kini menjadi penjaga bagi diri dan lingkungannya. Karena perubahan tidak selalu datang dari atas. Terkadang, ia tumbuh pelan-pelan. Dari satu kelas. Dari satu siswa. Dari satu pertanyaan polos yang dijawab dengan sepenuh hati.
Kegiatan hari itu adalah bukti nyata bahwa cinta kasih bisa diwujudkan lewat edukasi. Bahwa kesehatan bukan hanya urusan medis, tapi juga urusan hati. Dan bahwa setiap anak berhak untuk tahu, untuk tumbuh, dan untuk hidup sehat. Harapan dari adanya kegiatan ini adalah, mereka tak hanya mencegah TBC. Mereka sedang menjaga napas masa depan.
Editor: Khusnul Khotimah