Gempa Palu: Mengapa Harus Datang Langsung ke Palu?

Jurnalis : Khusnul Khotimah, Fotografer : Khusnul Khotimah


Selama berada di Palu, Chandra mendapatkan banyak pelajaran hidup. Salah satunya bagaimana rasa syukur harus diwujudkan dalam bentuk membantu orang yang sedang kesusahan.

Para relawan Tzu Chi ini punya alasan kuat mengapa mereka merasa harus datang langsung ke Palu, Sulawesi Tengah untuk bersumbangsih tenaga. Apa saja yang mereka rasakan selama di sana? Simak kisah-kisah mereka berikut ini.

Hampir tiga pekan lamanya, Chandra Ferdinan, relawan Tzu Chi Biak berada di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Ia tiba di Palu sejak tanggal 7 Oktober 2018 dan baru pulang hari ini, Kamis, 25 Oktober 2018. Tidak tega dengan warga Palu, begitu alasan yang membuat Chandra tinggal lebih lama.

“Kalau pulang lebih cepat juga kan masih ada rasa sedih meninggalkan warga di sini. Padahal masih banyak yang perlu dikerjakan. Bencana tsunami dan likuifaksi di Palu ini membuat banyak warga kehilangan rumah, kehilangan keluarga. Sedangkan saya di Biak, Papua bisa dibilang aman dan tenteram, itu saya sangat tidak tega. Betul-betul hati saya pilu sekali melihat penderitaan mereka,” katanya.


Selama di Palu, Chandra selalu berusaha menggenggam waktu, melakukan apapun semampunya untuk meringankan penderitaan warga. 

Bersumbangsih tulus dan ikhlas dari hati itulah yang membuat Chandra seolah tak merasakan lelah yang berarti. Padahal saban hari dari pagi hingga malam, Chandra dan relawan lainnya harus mendistribusikan bantuan hingga ke pelosok Palu, Sigi, dan Donggala.

Bertugas sebagai tim survei membuat Chandra berinteraksi secara langsung dengan warga yang terkena langsung bencana. Survei di wilayah Balaroa dan Petobo adalah yang paling membuatnya sedih. “Harapan warga di sini seolah-olah sudah tidak ada lagi. Rumah yang waktu itu mereka tinggali sangat nyaman, dan keluarga mereka berkumpul, tiba-tiba hilang begitu saja,” kata Chandra.

Keramahan Warga Membuat Aida Makin Semangat


Aida selalu berusaha menciptakan suasana penuh canda setiap kali berada di posko pengungsian agar warga merasa terhibur.

Sementara Aida Angkasa (54) berada di Palu sejak 10 Oktober 2018 dan berencana pulang pada 28 Oktober 2018 mendatang. Ibu dari dua anak ini merasa bersumbangsih dalam bentuk materi belumlah  cukup baginya mengingat kerusakan di Palu sangatlah dahsyat.

“Hari ini saya masih lebih baik dari saudara-saudara kita. Jadi kenapa kita tidak membantu walaupun hanya tenaga,” kata Aida yang memiliki pengalaman memberikan bantuan bagi warga korban gempa dan tsunami di Aceh selama empat tahun. Saat itu, ia mendapatkan tugas untuk memverifikasi warga yang layak mendapatkan rumah bantuan dari Tzu Chi.

“Kalau dilihat ya, mungkin korban jiwa yang meninggal di Palu lebih sedikit dari Aceh, tetapi rumah-rumah mereka di sini lebih parah. Kelihatan dari depan rumahnya masih bagus, tapi setelah masuk ke dalam, rumahnya sangat parah. Jadi tingkat keparahannya sangat berbeda,” ujarnya. 

Tak jarang, Aida berada dalam momen-momen yang membuatnya tak kuasa menahan air mata. Misalnya saat pertama kali ke wilayah Petobo, salah satu wilayah yang paling hancur akibat tsunami.

“Begitu masuk di reruntuhan itu, hati saya langsung tersentuh, bahkan ngilu karena merasakan berapa banyak jiwa itu di tempat kaki saya berpijak itu mungkin masih begitu banyak yang tertimbun. Saat itu saya hanya bisa berdoa untuk mereka. Benar-benar waktu itu merinding dan mencekam di situ,” ujar Aida yang bergabung dengan Tzu Chi sejak tahun 2002 ini.


Aida merasa bersyukur bisa bersumbangsih walaupun hanya tenaga untuk saudara-saudara yang menjadi korban gempa di Palu, Sigi, dan Donggala semampu yang ia bisa. 

Dipercaya sebagai koordinator, banyak hal yang harus dilakukan Aida. Berkat kerja sama semua relawan Tzu Chi yang saling mendukung dan juga saling mengisi, semua kendala dapat diselesaikan. Tapi ada satu hal yang membuat Aida makin semangat dalam upaya penyaluran bantuan Tzu Chi di pelosok-pelosok Palu, Sigi, dan Donggala. Tak lain dan tak bukan adalah keramahan warga.

“Dengan tidak sengaja saya ke tempat pengungsian itu dan mendapatkan (bantuan) asisten logistik dari warga setempat. Mereka itu bekerja dengan gembira, padahal sangat capai sekali dari pagi sampai malam. Itu yang membuat saya lebih semangat. Mereka yang kena musibah saja tidak mengeluh apalagi kita yang keadaannya lebih baik, kenapa kita tidak berbuat lebih banyak,” kata Aida.  

Merasa Bernilai, Sama Sekali Tak Sia-sia


Rudi (kiri) bersama Liwan, relawan Tzu Chi lainnya menghibur anak-anak di pengungsian di Desa Duyu di Kecamatan Palu Barat.

Lima hari berada di Palu, meninggalkan pekerjaan dan keluarga untuk menyalurkan bantuan Tzu Chi, Rudi Suryana merasa tidak sia-sia. Bersama relawan lainnya, Rudi mendistribusikan bantuan ke wilayah yang belum banyak dijangkau, memberi perhatian bagi para korban, dan menghibur anak-anak. Ini semua membuatnya merasa bernilai.

Penyaluran bantuan di Desa Kavaya, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala yang sempat terhenti karena hujan deras menjadi salah satu yang tak terlupakan buat Rudi. Apalagi ini adalah pertama kalinya ia dipercaya menjadi penanggung jawab memasak nasi Jing Si. Baru mulai memasak, hujan deras pun turun. Karena lokasinya di area tanah lapang, angin pun bertiup dengan kencang.

“Penuh perjuangan,” ujar Rudi.


Setiap kali terjadi bencana, selalu ada dorongan di hati Rudi untuk datang langsung membantu para korban yang tertimpa musibah.

Namun ketika Nasi Jing Si matang, warga merasa sangat senang. Mereka menikmati nasi tersebut dengan penuh rasa syukur. Hati Rudi bahagia bukan kepalang. Masih di tempat yang sama, ada satu momen yang membuat Rudi sedih. Ada seorang anak kecil yang tiba-tiba lari dan mengatakan kalau air laut naik. Semua orang panik. Bahkan ada seorang ibu yang refleks lari ke arah pantai untuk mencari anaknya.

“Bayangkan betapa paniknya dia, ternyata itu adalah isu saja. Dari sini saya merenung ya, mereka yang hidup dalam situasi susah, hujan, tidur di tenda yang kondisinya sangat minim, dan masih ada isu tsunami. Bayangkan kalau kita ada di posisi mereka. Saya membayangkan satu hari saja untuk tidur di sana juga rasanya sangat dingin, dan juga banyak nyamuk. Sungguh bersyukur dengan keadaan yang kita peroleh sekarang, karena itu saya merasa sangat penting untuk membantu mereka,” kata Rudi.

Harus Cepat-cepat ke Palu


Banyak pelajaran hidup yang Supandi dapatkan selama berada di Palu yang memperkaya batinnya. 

Supandi, relawan Tzu Chi Aceh memiliki alasan tersendiri kenapa ia harus cepat-cepat datang ke Palu. “Pada masa darurat itu, di awal-awal di mana di televisi ada berita tentang penjarahan, masih ada gempa, pastinya membuat banyak orang belum bersedia untuk terjun langsung ke Palu. Itulah yang membuat saya merasa harus segera maju untuk terjun ke Palu,” kata Supandi.

Supandi berada di Palu selama dua pekan, yakni sejak tanggal 9- 23 Oktober 2018. Dalam setiap kesempatan, Supandi berupaya untuk menghibur warga. Sejujurnya banyak hal yang membuat perasaannya tersentuh. Misalnya saat berada di tengah-tengah jemaat Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID), yang menyanyikan lagu rohani. Lagu itu tentang seseorang yang berdoa agar Tuhan menjadikannya manusia yang berguna.

Melihat langsung penderitaan yang dialami warga yang menjadi korban gempa dan tsunami membuat Supandi merasa bahwa semua cinta kasih di dunia ini harus dibangkitkan.

Bencana tsunami dan likuifaksi membuat mereka semua trauma, baik kaya ataupun yang miskin mengungsi ke tenda. Di tenda mereka harus menahan panas di siang hari dan malam hari cukup dingin. Kalau bantuan kita bisa salurkan tepat sasaran, itu satu amal kebajikan,” kata relawan yang bergabung di Tzu Chi sejak tahun 2001 ini.

Menyemangati Warga untuk Bangkit


Melihat warga korban bencana dapat sejenak tersenyum sudah lebih dari cukup bagi Tonny. 

Saat mendengar berita adanya tsunami yang memporak-porandakan Palu, kenangan masa lalu seketika membayangi pikiran Tonny yang juga menjadi korban tsunami Aceh pada tahun 2004.

“Pada saat tsunami Aceh itu keluarga mertua saya yang kehilangan ada nenek mertua saya, bapak mertua saya, mertua saya yang perempuan, adik ipar saya tiga, pembantu kami dua, supir kami satu, jadi sembilan orang. Kami dibantu oleh saudara-saudara kita yang ada di Indonesia, bahkan seluruh dunia. Jadi hari ini di Palu ada musibah, saya wajib bantu mereka,” kata Tonny. 

Selama berada di Palu selama sembilan hari, Tonny benar-benar memanfaatkan waktu dan tenaganya. Berbuat semampunya untuk bisa meringankan kesedihan warga. Ia menyemangati warga untuk bangkit. “Yang penting harus semangat. Semangat sangatlah penting. Warga Palu harus bangkit. Semangat tak boleh kendur,” ujarnya.

Editor: Hadi Pranoto


Artikel Terkait

Gempa Palu: Membantu Wilayah Terisolir di Sigi

Gempa Palu: Membantu Wilayah Terisolir di Sigi

09 November 2018

Relawan membagikan bantuan ke Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi yang sebelumnya merupakan satu dari empat Kecamatan yang terisolir akibat gempa.


Gempa Palu: Menggalang Hati untuk Korban Gempa

Gempa Palu: Menggalang Hati untuk Korban Gempa

24 Oktober 2018

Relawan Tzu Chi di Jakarta dan luar kota melakukan penggalangan dana untuk membantu para korban gempa di Palu dan Lombok pada Sabtu dan Minggu, 20 – 21 Oktober 2018. Tzu Chi akan membangun 3.000 rumah untuk para korban gempa di dua lokasi: Palu dan Lombok.


Bersatu Hati Menggalang Donasi Untuk Palu dan Lombok

Bersatu Hati Menggalang Donasi Untuk Palu dan Lombok

26 November 2018

Pada Jumat, 23 November 2018 Tzu Chi Surabaya mengadakan kunjungan ke PT. Aneka Coffee Industri untuk sosialisasi daur ulang dan penggalangan dana 3000 rumah untuk Palu dan Lombok.

Cara kita berterima kasih dan membalas budi baik bumi adalah dengan tetap bertekad melestarikan lingkungan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -