Chen Ming Zhu berbagi inspirasi. Relawan senior dari Taichung ini mengenang awal perjalanannya sejak mendengar siaran radio Master Cheng Yen tahun 1987.
Kamp 4in1 yang berlangsung pada 27–28 September 2025 di Aula Jing Si Indonesia menghadirkan rangkaian materi yang inspiratif. Mengusung tema Satu Hati, Satu Tekad, Satu Tujuan, sebanyak 733 relawan Tzu Chi dari berbagai kota di Indonesia memperoleh banyak pembelajaran berharga.
Salah satu pemateri adalah Chen Ming Zhu yang datang dari Taichung, Fong Yuan, Taiwan, kota masa kecil Master Cheng Yen. Perjalanan pengabdiannya sebagai relawan Tzu Chi bermula pada tahun 1987, ketika ia mendengar siaran radio yang menyiarkan tekad Master Cheng Yen untuk melenyapkan kemiskinan, meski Master Cheng Yen kala itu tidak memiliki apa pun selain satu nyawa.
Chen Ming Zhu sangat tersentuh. Ia bertanya dalam hati, bagaimana mungkin seseorang dengan kondisi tubuh yang rapuh di masa muda, tanpa dukungan orang maupun dana, memiliki tekad sebesar itu? Justru dari situlah ia melihat ketulusan hati Master Cheng Yen, seorang yang tidak tega menyaksikan penderitaan makhluk hidup dan bertekad untuk menguranginya. Keteladanan itu pun menyalakan semangat baru dalam diri Chen Ming Zhu.
“Inilah yang menumbuhkan tekad saya juga mengikuti jejak Master Cheng Yen dan pergi ke tempat-tempat yang penuh penderitaan untuk menyalakan api harapan bagi mereka yang menderita,” ujarnya.
Chen Ming Zhu mengenal Tzu Chi pada 1987 melalui siaran radio, menjadi relawan tahun 1990 dan mulai menggalang dana dan hati, lalu resmi dilantik sebagai relawan komite pada 1995. Saat pelantikan, ia dipercaya menjadi ketua komunitas dan berani melangkah karena meneladani Master Cheng Yen. Para senior membimbing dengan penuh kehangatan sehingga regenerasi berjalan baik. Dukungan keluarga juga besar, suami dan anaknya turut menjadi relawan komite. Bahkan ketika ayah mertuanya sakit, sang suami tetap mendorongnya untuk melanjutkan kegiatan Tzu Chi.
Suasana penuh semangat di Aula Jing Si Indonesia saat 733 relawan berkumpul dalam kamp dengan tema Satu Hati, Satu Tekad, Satu Tujuan.
Suatu kali, karena terburu-buru ia hampir menabrak Master Cheng Yen. Dengan lembut, Master menasihati agar selalu berjalan tenang dan tidak melukai bumi. Dari pengalaman itu ia belajar, di Tzu Chi setiap langkah adalah pelatihan diri, harus tulus, dan terus bertumbuh.
Ia juga mengisahkan betapa tidak mudahnya mendampingi seseorang hingga siap menjadi relawan komite. Salah satu pengalaman yang ia kenang adalah tentang seorang calon komite yang dijadwalkan dilantik tahun depan. Sayangnya, orang tersebut mengalami kecelakaan pada tahun ini. Dengan penuh harap, Chen Ming Zhu mendoakan, “Kamu harus kembali lagi dengan cepat, supaya bisa segera menjadi murid Master Cheng Yen.”
Menjadi Cahaya Seperti Matahari
Dalam menghadapi berbagai kasus amal yang rumit, Chen Ming Zhu pernah berkonsultasi dengan Master Cheng Yen. Saat itu, Master Cheng Yen berpesan, “Kita harus seperti matahari. Matahari pagi terasa sejuk dan penuh harapan. Matahari siang memang terik, membuat orang kepanasan. Namun, matahari sore kembali lembut dan hangat. Matahari sangat dibutuhkan dunia, sebagaimana Tzu Chi bagaikan matahari yang menerangi mereka yang menderita.”
Pesan itu meneguhkan dirinya bahwa dengan hati yang lapang, seseorang akan selalu mampu berbuat baik dan merangkul semua orang. Seperti yang selalu diingatkan Master Cheng Yen,“Tidak ada orang yang tidak kukasihi.”
Namun, perjalanan sebagai relawan tidak selalu mudah. Ada kalanya Chen Ming Zhu menghadapi pengalaman yang tidak menyenangkan, bahkan pernah mengalami kecelakaan saat melakukan kegiatan Tzu Chi. Saat itu, Master menasihati, “Hidup ini tidak kekal. Karena itu, genggamlah setiap saat untuk bersumbangsih bagi masyarakat.”
Relawan bersama-sama berlatih lagu isyarat tangan, gerakan penuh makna, mengharmoniskan tubuh dan hati untuk menyampaikan Dharma dengan indah.
Nilai-nilai Tzu Chi pun selalu menjadi pegangan, bahkan dalam hal sederhana. Chen Ming Zhu mengenang seorang sahabat relawan yang pernah berkata kepada Master, “Karena ingat akan sila Tzu Chi, maka saya selalu memakai sabuk pengaman.” Bagi mereka, sila bukan sekadar aturan, melainkan tuntunan hidup sehari-hari.
Bagi Chen Ming Zhu, Tzu Chi adalah tempat bertemu dengan begitu banyak orang yang sebelumnya tak ia kenal. Kini, mereka menjadi keluarga se-Dharma, sehati dan seikrar. Ia percaya, satu orang saja tidak mungkin bisa melakukan segalanya. Tetapi ketika setiap tetes kebaikan dari banyak orang berkumpul, ia menjadi kekuatan besar. “Seperti cahaya kunang-kunang,” katanya, “jika bersatu, mereka mampu menerangi tempat-tempat yang penuh penderitaan.”
Menghargai waktu yang ada juga berarti membuka hati untuk mendengarkan suara sanubari. Bagi Chen Ming Zhu, Master Cheng Yen senantiasa hadir dalam keseharian. “Angin bagaikan suara Dharma, udara adalah kebenaran Dharma. Master ada di hadapan kita, mengurai kerisauan. Jika kita membuka pintu hati, maka Master akan datang. Tugas kita adalah mencari Dharma Master,” ujarnya penuh keyakinan.
Bagai Seorang Ibu
Materi yang sangat mendalam bukan? Selepas kisah Chen Ming Zhu, rangkaian kamp hari pertama dilanjutkan dengan beberapa sesi lainnya, di antaranya sesi interaktif pada pukul 19.15 WIB. Peserta dibagi delapan kelompok dengan tiga pembicara dari Taiwan. Melalui cerita-cerita yang dibagikan, peserta diajak semakin dekat mengenal sosok Master Cheng Yen.
Suasana kamp dipenuhi energi positif. Para relawan begitu bersemangat, penuh tawa dan keceriaan bisa belajar, berlatih, dan melayani bersama sesuai bidang dan tanggung jawab masing-masing.
Menjalani kehidupan sebagai seorang Qing Xiu Shi di Griya Jingsi, Hualien, Taiwan, tentu Huang Si Hau banyak kisah inspiratif yang bisa dibagikan mengenai sosok Master Cheng Yen sebagai pribadi yang penuh kebijaksanaan. Huang Si Hau mendedikasikan hidupnya untuk mengabdi di Griya Jingsi, sebuah tempat yang ia sebut bagaikan rumah penuh kedamaian.
Bagi Master Cheng Yen, mereka yang tinggal di sana bukanlah sekadar staf, melainkan seperti anak-anak yang hidup dalam perhatian seorang ibu. Master Cheng Yen memperhatikan detail-detail kecil dalam keseharian mereka, mulai dari kerapian rambut hingga kebersihan diri, sebagai wujud kasih sayang yang tulus.
Perhatian itu terasa begitu hangat. Ketika ada seorang staf yang telah lama berada di luar negeri, Master menanyakan kabarnya dengan penuh rasa khawatir, layaknya seorang ibu kepada anaknya. Beliau selalu peduli, apakah mereka dalam keadaan sehat atau sakit, serta senantiasa mengingatkan untuk jangan melupakan keluarga.
Ikrar Seorang Qing Xiu Shi
Seorang Qing Xiu Shi berikrar untuk melatih diri secara murni serta meneladani apa yang dilakukan Master Cheng Yen, dengan kesiapan untuk ditempatkan di mana saja. Pada saat pelantikan Qing Xiu Shi tahun 2016, seragam yang dikenakan pun ditetapkan dengan persetujuan Master Cheng Yen. Namun, lebih dari sekadar memastikan seragam, Master menekankan keteguhan hati dan kesungguhan, apakah mereka benar-benar siap menjadi Qing Xiu Shi dengan sepenuh hati.
Huang Si Hau (kiri) pada sesi interaktif membagikan pengalaman hidupnya. Tekadnya untuk melatih diri sungguh murni, siap ditempatkan di mana saja, dengan sepenuh hati mengikuti jejak Master Cheng Yen.
Kunjungan ke berbagai daerah di Taiwan merupakan agenda rutin Master Cheng Yen. Meski perjalanan itu sangat melelahkan, Master Cheng Yen tetap menuntaskan semua urusan di daerah hingga selesai. Ketika staf mencoba mengingatkan agar beliau beristirahat, Master tetap berpegang pada prinsipnya. Dengan tegas beliau berkata, “Apabila kalian ingin kembali, kembalilah saja. Saya akan pulang dengan dua atau tiga orang saja.”
Selain itu, setiap kali ada murid yang kembali ke “kampung halaman batin”, yakni Hualien, Master selalu meluangkan waktu untuk mendengarkan keluh kesah mereka. Ucapan sederhana seperti, ‘Master, anak-anak Indonesia sudah pulang,’ atau, ‘Master, papa mama saya juga komite,’ begitu membekas di hati beliau. “Kalimat-kalimat itu meninggalkan kesan mendalam bagi Master Cheng Yen dan akan selalu diingat,” tutur Huang Si Hau.
Di sesi interaktif, para peserta dibagi kelompok untuk semakin dekat mengenal sosok Master Cheng Yen melalui kisah-kisah nyata yang disampaikan oleh moderator.
Kami Selalu Ada
Kamp Pelatihan 4 in 1 memasuki hari kedua, menghadirkan bincang-bincang bersama Tim Tanggap Darurat Indonesia bertajuk Kami Selalu Ada. Sesi ini dipandu Chia Wen Yu sebagai moderator, menghadirkan Sugianto Kusuma, Wakil Ketua Tzu Chi Indonesia, dan Ketua Tim Tanggap Darurat Tzu Chi Indonesia, Joe Riadi. Sejumlah narasumber lain juga tampil dengan pengalaman lapangan yang begitu mendalam.
Chia Wen Yu sang moderator berhasil mencairkan suasana dengan pembawaan hangat dan penuh semangat dalam bincang-bincang bersama Tim Tanggap Darurat Tzu Chi Indonesia.
Banjir besar yang berlangsung berbulan-bulan pada 2002 membuat Tzu Chi segera turun tangan. Air yang mencapai atap rumah memaksa ribuan warga menderita. Pada 22 Februari 2002, Sugianto Kusuma mengusulkan kerja sama dengan Sinarmas untuk membangun hunian bagi korban. Usulan itu disambut baik oleh Eka Tjipta Widjaja, pendiri Sinarmas. Bersama Liu Su Mei, mereka kemudian meminta restu Master Cheng Yen sekaligus mengajak para pengusaha Jakarta berkontribusi.
Asosiasi Medis Tzu Chi (TIMA) juga terjun melayani lebih dari 10.000 pasien di tengah situasi darurat. Like Hermansyah, penanggung jawab di Kali Angke mengenang kondisi yang memprihatinkan itu. “Sungai hitam penuh sampah, rumah nyaris roboh, hingga harus menggunakan perahu untuk mencapai lokasi,” katanya. Bersama aparat militer, nelayan, dan relawan Tzu Chi serta Sinarmas, mereka bahu-membahu membersihkan sungai meski penuh tantangan.
Sugianto Kusuma kerap menjadi penggerak utama di balik berbagai inisiatif besar Tzu Chi Indonesia. Dukungan yang ia berikan, baik dalam bentuk gagasan menjadi fondasi kuat bagi gerak langkah relawan dalam membantu masyarakat.
Hong Tjhin menambahkan, saat itu jumlah relawan masih terbatas, sehingga Tzu Chi meminta bantuan 300 personel militer. Relawan pun menggalang dana dengan membagikan kupon ke keluarga dan sahabat.
Awalnya Tzu Chi berencana membangun rumah susun sebagai percontohan. Namun Master Cheng Yen menegaskan, hunian harus benar-benar layak ditinggali. Dari arahan ini program berkembang lebih luas, membangun rumah, menciptakan lapangan kerja, mendirikan sekolah cinta kasih, hingga rumah sakit. Lebih dari itu, warga diajak untuk hidup lebih sehat dari membuang sampah pada tempatnya hingga menjaga kebersihan lingkungan. Ini bukti bahwa kepedulian tulus mampu melahirkan perubahan mendasar.
Banjir Bandang di Jakarta pada 2012
Sepuluh tahun kemudian, banjir besar kembali melanda Jakarta Utara. Ribuan warga terjebak hingga lebih dari sepuluh hari. Relawan Tzu Chi bergerak cepat dengan membuka posko di Pluit dan Muara Karang, menyediakan logistik, dapur umum, dan evakuasi.
Adi Prasetyo mengenang betapa sulitnya mengevakuasi warga ke Aula Jing Si Tzu Chi Indonesia karena terbatasnya perahu dan kendaraan amfibi. Tzu Chi Indonesia pun menambah pasokan agar bantuan tetap sampai. Like Hermansyah bercerita bagaimana relawan memasak hingga 3.000 nasi bungkus dengan sarana terbatas, bahkan melibatkan militer untuk distribusi. Seorang ibu yang hendak melahirkan berhasil dievakuasi dan selamat bersama bayinya.
Dengan antusias, Adi mengenang pengalamannya saat menyalurkan bantuan di banjir Jakarta.
Di Muara Baru kondisi lebih berat karena bantuan sulit masuk. Banyak warga berhari-hari tanpa makanan. Tzu Chi Indonesia mengirim tabung gas agar mereka bisa memasak sendiri. Sebagian warga ditampung sementara di Aula Jing Si dengan kebutuhan dasar terjamin, bahkan biaya rumah sakit bagi lansia pun ditanggung.
Johny Chandrina menambahkan, koordinasi dilakukan hingga ke tingkat RT/RW agar bantuan tepat sasaran. Relawan lintas komunitas bergotong royong membersihkan rumah pasca banjir. Semua ini menjadi bukti kepedulian tanpa batas di tengah bencana besar.
Menembus Nepal
Pada 25 April 2015, gempa 7,8 SR mengguncang Nepal, menewaskan hampir 9.000 orang dan melukai lebih dari 22.000 lainnya. Untuk pertama kalinya, Tim Tzu Chi Tanggap Darurat Indonesia menembus batas negara, dengan dukungan penuh TNI.
Belasan relawan termasuk tenaga medis terbang 26 jam dengan pesawat Hercules, membawa logistik dan dana tambahan yang disiapkan Tzu Chi Indonesia. Setiba di Nepal, kerusakan begitu parah hingga situs bersejarah pun runtuh. Tim mendirikan 15 tenda komando, membuka dapur umum dengan 1.000 porsi makanan per hari, serta memberikan layanan medis dan dukungan moral.
Dengan dukungan Sinarmas, 7.500 paket sembako dibagikan di empat titik lewat sistem kupon lokal agar tertib. Selain itu, relawan mengadakan kegiatan pendampingan anak. Rudy bersama dr. Tiwi membuat origami gajah sebagai simbol penguat, serta membagikan kartu ucapan dari anak-anak Indonesia untuk anak-anak Nepal.
Harapan di Tengah Pandemi
Ketika pandemi Covid-19 melanda, Tzu Chi kembali menjadi tumpuan. Saat rapid test belum tersedia, seorang relawan menemukan jalan keluar, dan Sugianto Kusuma segera mendukung. Dari para dermawan terkumpul dana Rp650 miliar, yang menjadi modal awal untuk menyelamatkan banyak rumah sakit.
Suriadi mengenang bagaimana lebih dari 1.400 rumah sakit bergantung pada pasokan darurat seperti APD, ventilator, hingga 2.400 tabung oksigen dari Singapura pada Juli 2021. Relawan rela meninggalkan kenyamanan demi menyelamatkan nyawa. Di sisi lain, para penggali kubur bekerja tanpa henti setiap hari Tzu Chi hadir menguatkan mereka, pahlawan terakhir bagi begitu banyak jiwa.
Sugianto Kusuma mengenang saat harus menyewa dua pesawat komersial demi mendatangkan bantuan dari Tiongkok. Bahkan, ketika listrik rumah sakit di Belitung terancam padam, ia segera menghubungi Panglima TNI hingga masalah teratasi. Di tengah gelapnya pandemi, secercah welas asih menjadi cahaya harapan bagi bangsa.
Bebenah Kampung, dari Hunian Menuju Harapan
Program Bebenah Kampung menjadi salah satu inisiatif paling membumi. Hingga kini Tzu Chi Indonesia telah membangun lebih dari 1.702 rumah, termasuk ribuan hunian pascabencana. Pemerintah bahkan menugaskan Tzu Chi membangun 4.000 rumah di seluruh Indonesia, dengan 445 unit sudah terealisasi.
Johan Tando memaparkan bahwa program Bebenah Kampung lebih dari sekadar membangun rumah, program ini memulihkan martabat warga dan menyalakan harapan baru bagi ribuan keluarga.
Berawal dari perbaikan dua rumah di Kamal Muara, program ini berkembang menjadi pembangunan masjid, sekolah, hingga perpustakaan. Di Jakarta, 95 rumah selesai, di Bandung, 129 unit, dan di Banyumas, ratusan keluarga kini tinggal di rumah layak setelah sebelumnya dalam kondisi memprihatinkan.
Program ini bukan sekadar membangun rumah, tetapi memulihkan martabat warga. Di Tanah Tinggi, ada keluarga tinggal di ruang 9 m², bahkan kasus ekstrem Nenek Hasnah di rumah 2x3 meter berisi 13 orang tanpa toilet. Relawan turun tangan rutin untuk survei, menggalang dana, dan menanggung biaya kontrakan sementara. Kini 453 unit tengah dibangun di sana.. Bebenah Kampung membuktikan kepedulian sejati menghadirkan hunian, harapan, dan kehangatan.
Dari banjir Jakarta hingga gempa Nepal, dari pandemi hingga program Bebenah Kampung, kisah-kisah ini menegaskan satu hal bahwa di tengah bencana, manusia bisa menjadi cahaya bagi sesamanya. Kamp 4 in 1 bukan sekadar forum pembelajaran, tetapi bukti nyata bahwa relawan Tzu Chi selalu hadir di saat yang paling dibutuhkan. “Kami Selalu Ada” bukan sekadar slogan, melainkan kenyataan yang hidup dalam setiap aksi kemanusiaan.
Editor: Khusnul Khotimah