Pradaksina di Aula Jing Si. Peserta mengitari aula dengan khidmat, memulai hari dengan doa dan rasa syukur.
Masih dari Kamp 4in1 yang digelar pada 27–28 September 2025. Minggu pagi, kamp diawali dengan pradaksina, prosesi khidmat mengitari Aula Jing Si. Setiap langkah diiringi doa, rasa syukur, dan tekad menapaki jalan Bodhisatwa. Suasana hening yang menyelimuti ruangan jadi landasan batin sebelum para peserta menerima wejangan berharga dari De Rang Shifu, biksuni Griya Jing Si.
Dalam keheningan itu, Shifu menuturkan kisah nyata bencana di Hualien yang baru saja ia saksikan. Ia menggambarkan betapa berat penderitaan para korban sekaligus betapa sigap ribuan relawan Tzu Chi hadir membawa perlengkapan, makanan, dan pengharapan. “Begitu musibah terjadi, relawan tidak menunggu. Mereka langsung hadir, membawa bukan hanya kebutuhan jasmani, tetapi juga cahaya harapan bagi para korban,” ujar Shifu.
Kisah itu jadi pengingat bahwa semangat Bodhisatwa hadir dengan welas asih dan kebijaksanaan di tengah penderitaan, sebuah teladan yang hendaknya terus hidup dalam diri setiap relawan.
Melalui sambungan daring, De Rang Shifu memberi wejangan. Shifu juga menuturkan kisah relawan Tzu Chi di Hualien, menekankan welas asih di tengah penderitaan.
Shifu juga menyinggung tekad Buddha Sakyamuni yang menumbuhkan welas asih bahkan sejak berada di alam neraka hingga akhirnya mengajarkan Dharma puluhan tahun sebelum menyampaikan inti ajarannya dalam Sutra Teratai. “Ketika melihat makhluk lain menderita, Beliau tidak tega. Dari sanalah tekad Bodhisatwa tumbuh,” ucap Shifu dengan suara yang menyentuh relung hati.
Shifu menguraikan Enam Paramita yang ia ibaratkan sebagai kapal Dharma. Kapal ini menyeberangkan manusia dari pantai penderitaan menuju pantai kebahagiaan. “Kapal Dharma inilah yang membawa kita semua. Jangan hanya berdiri di tepi pantai, naiklah bersama dan berlayarlah menuju pantai seberang,” tegasnya. Pesan itu menggugah para peserta untuk tak berhenti pada niat, melainkan menghidupkan praktik dalam kehidupan sehari-hari.
Shifu memperluas pandangan peserta dengan kisah nyata dari berbagai belahan dunia. Beliau menyinggung gempa besar Nepal tahun 2015 ketika relawan Tzu Chi dari banyak negara segera hadir membawa tenda, selimut, dan bahan pangan. Perjalanan penuh tantangan itu jadi bukti bahwa welas asih bukan sekadar konsep, melainkan tindakan nyata yang terus hidup di tengah penderitaan.
Shifu juga mengingatkan tentang India sebagai tanah kelahiran Buddha. Dari tanah itu, ajaran Dharma tersebar ke seluruh dunia, jadi penerang bagi umat manusia. Kini ajaran itu tak berhenti hanya sebagai renungan, tapi diwujudkan melalui misi Tzu Chi yang menjangkau berbagai penjuru.
Peserta mendengarkan penuh perhatian. Suasana hening dan khidmat saat Shifu menjelaskan tentang tekad Bodhisatwa.
Penjelasan berlanjut pada makna Jingsi, yaitu menjaga kejernihan batin. Dengan hati yang bening, seseorang mampu bercermin ke dalam diri, menyadari potensi sekaligus kekurangan, lalu menghadirkan harmoni dalam interaksi dengan sesama. “Jingsi berarti menjaga ketenangan batin agar lahir kebijaksanaan. Dengan hati jernih, kita bisa menghadirkan harmoni dalam masyarakat,” ungkap Shifu penuh ketegasan.
Pesan demi pesan mengalir membuka kesadaran bahwa pencerahan hanya bisa ditempa di dunia manusia. Di sinilah, melalui interaksi dan penderitaan, welas asih diuji dan kebijaksanaan tumbuh. Shifu menegaskan bahwa Tzu Chi adalah ladang pelatihan Bodhisatwa dunia, tempat setiap relawan menumbuhkan tekad, mengasah kepekaan, dan memperkuat kebijaksanaan.
Usai sesi tersebut, suasana hati para peserta dipenuhi getaran haru sekaligus semangat baru. Mereka menyadari bahwa jalan Bodhisatwa bukanlah cita-cita yang jauh di angan, melainkan latihan nyata yang harus diwujudkan dalam keseharian.
Seni Berbagi Kebahagiaan dalam Semangkuk Ramen
Sungguh siraman rohani yang menyentuh, bukan? Kamp 4in1 tahun 2025 menghadirkan rangkaian materi yang sarat makna, termasuk sesi khusus bagi generasi muda Tzu Chi yang dikenal sebagai Tzu Ching. Di ruang meeting Kantor Tzu Chi Indonesia, sebanyak 36 peserta anggota Tzu Ching Indonesia bersama kakak pembimbing berkumpul mengikuti sesi bersama Huang Si Hao (Joe Huang), alumnus Tzu Ching yang kini mengabdi di Griya Jing Si.
Dengan perumpamaan sederhana, Joe mengajak peserta membayangkan semangkuk ramen panas yang begitu enak hingga kita ingin mengajak teman untuk ikut mencicipinya. “Kalau kita menikmati dan menemukan makna di dalamnya, kita akan berbagi dengan tulus, bukan karena kewajiban,” ujarnya.
Dengan perumpamaan sederhana tentang semangkuk ramen, Joe Huang menginspirasi para anggota Tzu Ching Indonesia untuk berbagi kebahagiaan dengan tulus. Suasana diskusi pun terasa hangat, tanpa jarak antara pembicara dan peserta.
Perumpamaan sederhana itu mencerminkan cara Joe Huang mendampingi relawan di seluruh dunia. Sebagai penanggung jawab global untuk pelatihan dan pengembangan kapasitas relawan Tzu Chi, ia melihat empat misi utama sebagai jalan menyucikan hati sekaligus membawa perubahan positif. Pandangannya tidak hanya memberi penjelasan, tetapi juga menyalakan semangat generasi muda untuk merasa bagian penting dari perjalanan Tzu Chi.
Dalam suasana akrab itu, percakapan mengerucut pada persoalan nyata relawan. Daniel menanyakan bagaimana melibatkan relawan non-Buddhis di Tzu Chi Indonesia lebih dalam. Joe menanggapinya dengan tenang. Ia menekankan bahwa kebahagiaan adalah bahasa yang dipahami semua orang. “Ketika perut kenyang atau hati gembira, itu tidak ada hubungannya dengan apakah kita Buddhis atau Muslim. Yang penting adalah apakah hidup ini terasa bernilai.”
Ia lalu menambahkan bahwa nilai-nilai Tzu Chi seperti welas asih, kepedulian, dan pengabdian tidak mengenal batas agama. “Kebahagiaan adalah pengalaman yang bisa dirasakan siapa saja. Saat seseorang menerima bantuan atau ikut berbagi, ia merasakan kelegaan yang sama, apa pun keyakinannya.”
Mendengar itu, Daniel teringat keresahan beberapa teman sebayanya. Ia menuturkan bahwa sebenarnya banyak orang ingin terlibat, tetapi ragu karena mengira Tzu Chi hanya untuk Buddhis. Joe menegaskan, “Jangan ajak mereka dengan label agama. Ajaklah dengan rasa. Tunjukkan bahwa ini soal kemanusiaan. Kalau mereka bisa merasakan kebahagiaan saat memberi, mereka akan kembali lagi dengan sendirinya.”
Dari perbincangan tentang keterbukaan lintas agama, Nicholas menyambung dengan pertanyaan lain yang masih berkaitan. Ia ingin tahu bagaimana menjaga komunikasi agar kelompok tetap hidup dan saling mendukung. Menurutnya, semangat berbagi kadang terhambat oleh cara berkomunikasi yang kurang efektif.
Kehadiran Daniel Tanuwijaya, Ketua Tzu Ching Indonesia memberi warna pada jalannya diskusi. Tutur lembutnya mencerminkan kepedulian generasi muda terhadap perjalanan Tzu Chi.
Sambil tersenyum, Joe kembali merujuk pada perumpamaan ramen yang sempat ia gunakan. “Bayangkan kamu makan ramen yang sangat enak. Refleks pertama adalah ingin mengajak teman untuk ikut mencoba. Itu bukan kewajiban, melainkan karena kamu menikmatinya. Kalau temanmu suka, dia akan mengajak orang lain lagi. Kalau tidak, tidak masalah. Intinya, kita berbagi karena memang merasakan nilai di dalamnya.”
Ia menambahkan bahwa komunikasi yang baik lahir bukan dari aturan kaku, melainkan dari semangat berbagi rasa bahagia. “Kita sering menganggap mengajak orang lain itu pekerjaan berat. Padahal kalau kita sendiri bahagia, kita akan berbagi secara alami. Seperti ramen tadi, ketika kita suka, kita akan terus cerita tanpa merasa terbebani.”
Freida lalu bertanya bagaimana membagi waktu antara Tzu Chi dan kehidupan pribadi. Joe menjawab, setiap orang punya keterbatasan, yang penting bukan banyaknya waktu yang diberikan, melainkan menjalaninya dengan hati gembira agar Tzu Chi menjadi bagian alami dari hidup, bukan beban.
Untuk menegaskan jawabannya, Joe berbagi pengalamannya sendiri. Ia pernah mengalami penolakan dari keluarga ketika memutuskan kembali ke Taiwan untuk mengabdi di Tzu Chi. Sang ayah sempat meragukan pilihannya setelah berkorban besar demi pendidikan anak-anak di Amerika. “Saya hanya bisa berkata kepada ayah saya, ‘Keputusan itu mengubah hidup saya dan saya berterima kasih’. Saat itu, semua beban di hatinya terasa luruh.” Dari pengalaman ini, Joe menekankan pentingnya keterbukaan dan komunikasi jujur kepada orang-orang terdekat.
Diskusi makin berwarna ketika Lynette membagikan pengalaman pribadinya. Ia pernah kecewa karena seorang teman yang sudah dijadwalkan ikut kegiatan Tzu Chi justru berulang kali membatalkan di menit terakhir. Hal itu membuatnya merasa gagal, seolah semua usahanya sia-sia. Suasana ruangan seketika hening, banyak peserta bisa merasakan hal yang sama. Bagaimanapun, hampir setiap orang yang pernah mengajak teman ke kegiatan sosial tentu pernah menghadapi situasi serupa.
Joe menanggapinya dengan tenang. Ia menegaskan bahwa kegagalan bukan soal hadir atau tidaknya orang lain. “Jangan merasa gagal. Kita hanya menyiapkan kesempatan; datang atau tidaknya itu di luar kendali kita.” Yang terpenting adalah hubungan yang terjaga. “Kalau hubungan baik, suatu hari dia bisa hadir saat paling dibutuhkan.”
Pesan itu memberi Lynette perspektif baru. Mengajak orang lain bukan soal hasil instan, tetapi menanam benih, ada yang cepat tumbuh, ada yang lama, bahkan ada yang mungkin tidak tumbuh sama sekali. Yang penting, tanah tetap dijaga. Ia pun sadar tugasnya bukan menghitung hadirnya orang, tetapi menjaga jembatan hati tetap utuh.
Nicholas Salim hadir sebagai suara yang peduli akan hubungan antarsesama. Ia menyinggung bagaimana cara menjaga komunikasi agar semangat berbagi tidak padam.
Dari pengalaman Lynette, Jennifer mengangkat dua kegelisahan anak muda, salah satunya tentang tantangan membangun tim solid. Semangat anggota sering tinggi di awal, tapi lama-lama ada yang menurun atau berhenti terlibat, membuatnya bingung menjaga kebersamaan.
Joe menjawab dengan tenang, “Setiap orang punya ritme berbeda. Yang penting bukan keseragaman, tapi menciptakan ruang agar semua merasa diterima.” Ia menambahkan, naik-turunnya semangat wajar. “Kuncinya saling menopang; saat ada yang lelah, yang lain menguatkan, begitu juga sebaliknya.”
Jennifer bertanya bagaimana menghadapi lelah atau burnout, yang kerap dialami anak muda, bahkan dalam kegiatan sukarela. Joe tersenyum dan menjawab, “Ciptakan ruang kegembiraan. Kalau kita sendiri tidak gembira, bagaimana orang lain bisa tertarik?” Baginya, Tzu Chi bukan sekadar kegiatan, tapi wadah kebersamaan yang bisa diwarnai keceriaan, misalnya menonton film bersama atau bertukar buku sebelum rapat.
Dari penjelasan Joe, peserta belajar bahwa menjaga semangat bukan mengurangi tanggung jawab, tapi menciptakan ruang bahagia di tengah kesibukan. Jennifer tersenyum lega, menyadari bahwa penting bukan hanya menjaga tim tetap berjalan, tapi memastikan perjalanan bersama dijalani dengan hati ringan.
Philip bertanya tentang peran kakak pembimbing, bagaimana mendampingi junior tanpa membuat mereka merasa tertekan. Joe menanggapi hangat, “Membimbing bukan memberi tahu apa yang harus dilakukan, tapi menciptakan ruang aman agar junior bisa bertumbuh. Kakak pembimbing bukan polisi, tapi sahabat yang menuntun dengan contoh.” Ia menekankan bahwa ketulusan, disiplin, dan semangat melayani jauh lebih efektif daripada sekadar nasihat.
Joe menambahkan, setiap orang memiliki kecepatan bertumbuh berbeda. Tugas pembimbing adalah menemani proses itu dengan sabar, bukan menuntut hasil instan. Bagi Philip, hal ini menegaskan bahwa membimbing adalah kesempatan memperluas cinta kasih, bukan beban.
Diskusi berlanjut ke identitas Tzu Chi. Joe menjelaskan bahwa seragam, simbol, dan kebiasaan memiliki makna mendalam. “Jangan hanya mengikuti, tapi pahami maknanya. Jika kita mengerti, kita bisa menjelaskannya dengan tulus, dan orang lain pun akan lebih mudah menerima.”
Menutup diskusi, Joe kembali pada perumpamaan ramen: berbagi bukan karena kewajiban, tapi dari hati yang merasakan kebahagiaan. Dari situlah ketulusan lahir, menular, dan bertahan lama. Obrolan ini memberi perspektif baru bawa setiap langkah kecil, senyum tulus, dan upaya menjaga keseimbangan adalah bagian dari perjalanan. Nikmati dulu, lalu dengan sendirinya kita ingin berbagi seperti menikmati semangkuk ramen yang enak.
Kepemimpinan dari Hati
Obrolan bersama Huang Si Hao memberi banyak perspektif tentang arti keterlibatan dan semangat berbagi. Namun inspirasi itu tak berhenti di ruang diskusi. Semangat yang sama kembali diperkaya lewat pengalaman nyata seorang relawan senior, Suriadi, yang hadir berbagi kisah perjalanan panjangnya di Tzu Chi yang penuh warna. Materinya tentang menumbuhkan kepemimpinan dari hati.
Kepemimpinan dari hati bersama Suriadi. Suriadi menekankan servant leadership, mendengar dan melayani dengan tulus.
Dalam presentasinya Suriadi menyampaikan konsep kepemimpinan dari hati. Menurutnya, seorang pemimpin sejati bukanlah sosok yang ingin dilayani, melainkan yang mau mendengar, melayani, dan menguatkan orang lain. Inilah yang disebut sebagai servant leadership.
“Kalau kita mau melayani lebih dulu, orang lain akan berani melangkah bersama kita,” ujarnya. Ia menekankan bahwa setiap orang sebenarnya bisa menjadi pemimpin, asalkan memiliki kemampuan untuk mendengarkan dengan empati.
Bagi Suriadi, menumbuhkan kepemimpinan dari hati adalah sebuah perjalanan. Proses itu dimulai dari keberanian untuk memberi, berbicara dengan cinta kasih, berbuat bermanfaat, dan berjalan bersama demi tujuan yang lebih besar. “Dengan berani melangkah, kita akan menemukan bahwa kepemimpinan bukan beban, tapi bentuk pelatihan diri dan jalan kebahagiaan,” tambahnya.
Ketua Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei mengajak generasi muda meneruskan tekad para senior, menumbuhkan harmonisasi dan semangat berbagi.
Pesan-pesan yang disampaikan Huang Si Hao dan Suriadi seakan berpadu dalam satu benang merah yakni kepemimpinan dan pelayanan sejati berangkat dari hati yang tulus. Inspirasi ini kemudian ditegaskan kembali oleh Ketua Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei.
Dalam pesan cinta kasihnya, Liu Su Mei mengingatkan bahwa perjalanan Tzu Chi di Indonesia telah memasuki usia ke-32 tahun. Ibarat manusia, ini adalah usia produktif yang penuh semangat. Para relawan muda diajak untuk melanjutkan tekad para senior yang sejak awal bercita-cita mewujudkan empat misi Tzu Chi secara lengkap di Indonesia, termasuk pendirian Tzu Chi University yang masih menjadi pekerjaan rumah bersama.
Kebersamaan dan semangat berbagi tercermin dalam senyum seluruh peserta Kamp 4in1.
Liu Su Mei menegaskan bahwa di Tzu Chi, setiap langkah bukan demi diri sendiri, melainkan demi membimbing semua makhluk dan menolong mereka yang menderita. Karena itu, generasi penerus diharapkan mempercepat langkah, mengembangkan tekad, dan melatih diri dengan konsisten. “Di Tzu Chi kita menghimpun niat baik semua orang, menyatukan hati, menumbuhkan keharmonisan, serta menghidupkan semangat saling mengasihi dan gotong royong,” pesannya.
Dengan demikian, perjalanan panjang Tzu Chi di Indonesia tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga panggilan bagi setiap relawan untuk terus menyalakan semangat berbagi kebahagiaan, seperti semangkuk ramen hangat yang lezat, dinikmati terlebih dahulu lalu dengan tulus dibagikan kepada sesama.
Editor: Khusnul Khotimah