Suasana di ruang operasi Bakti Sosial Kesehatan Tzu Chi ke-153 yang digelar di Lantai 9 Tzu Chi Hospital PIK. Para pasien diperlakukan dengan penuh kasih bak keluarga sendiri.
“Alhamdulillah.. enggak kayak ada kabut lagi. Sudah normal kayak mata waktu muda,” ujar Kamiyah (66) lirih setengah tak menyangka.
Kamiyah tak dapat menyembunyikan kebahagiannya sesaat setelah perawat TIMA Indonesia membuka perban mata kirinya, pada Minggu 14 Desember 2025. Dua tahun terakhir Kamiyah yang bekerja sebagai asisten rumah tangga itu bergulat dengan katarak di kedua matanya.
Tiga bulan lalu sebenarnya ia sudah operasi mata kanan pada pengobatan gratis yang digelar di sebuah kampus di Jakarta. Namun setelah operasi itu ia merasa seperti masih ada kabut bergelayut. Ia sangat berharap ada kesempatan lagi untuk operasi mata kiri agar penglihatannya setidaknya lebih baik.
Doa Kamiyah terkabul. Suatu hari tetangganya yang seorang dokter gigi memberitahu tentang Bakti Sosial Kesehatan Tzu Chi ke-153 yang digelar pada 13 Desember 2025, dan pemeriksaan awalnya digelar pada 6 Desember 2025. Cepat-cepat ia mendaftar.
Kamiyah tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya saat perban mata kirinya dibuka dan dapat melihat dengan terang.
Dengan diantar Ketua RT, Kamiyah menaiki bus Transjakarta menuju Tzu Chi Hospital untuk pembukaan perban sehari setelah operasi katarak.
Saat operasi, Kamiyah diantar tetangganya. Namun saat pembukaan perban mata esok harinya, tetangganya sakit dan tak bisa menemani. Beruntung Ketua RT di wilayah tempat tinggalnya di Pegangsaan, Jakarta Timur bersedia mengantar.
Dari Pegangsaan, ia dibonceng dengan sepeda motor menuju Balai Kota. Kendaraan dititipkan di sana, lalu perjalanan dilanjut dengan naik bus TransJakarta menuju Pantai Indah Kapuk.
“Alhamdulillah, terang banget. Saya terharu dan sangat bersyukur karena Yayasan Buddha Tzu Chi sudah mengadakan pengobatan katarak gratis ini,” pungkasnya.
Sebuah Berkah
Senyum bahagia Paruliana karena dapat melihat dengan jelas lagi.
Kebahagiaan serupa dirasakan Paruliana (61). “Terang sekali,” ujarnya dengan suara tercekat. Senyum perlahan menghiasi wajahnya.
“Beda banget. Tadinya jarak begini saja enggak kelihatan, kabur. Sekarang kayak lampu,” sambungnya antusias, menunjuk dinding berjarak tiga meter darinya.
Dua tahun lalu, ia menjalani operasi katarak pada mata kirinya di sebuah rumah sakit khusus mata di Jakarta. Karena belum terdaftar sebagai peserta BPJS, ia harus merogoh kocek hingga Rp 15 juta. Bagi Paruliana yang telah pensiun dan tak lagi punya penghasilan tetap, jumlah itu sesungguhnya terasa berat.
Setahun kemudian giliran mata kanannya yang terasa kabur. Meski sudah pakai kacamata, penglihatannya memburuk dari waktu ke waktu. Saat bersiap kembali mendaftar operasi katarak dengan biaya sendiri lagi, kabar baik datang dari grup whatsapp alumni SMA-nya, bahwa akan ada pengobatan katarak gratis di Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-153.
Amadeus, putranya membantu membersihkan kaki Paruliana sesaat memasuki ruang operasi.
Tanpa ba bi bu, Paruliana langsung mendaftar dan mengikuti screening. Sepekan kemudian ia mengikuti operasi, disusul pembukaaan perban mata sehari setelahnya. Amadeus, anaknya yang kuliah di Bandung pulang untuk menemaninya.
“Moment Baksos Kesehatan Tzu Chi ini pas banget. Buat saya ini berkah, rezeki saya. Karena mata kan vital,” tuturnya.
Selain penglihatan yang kembali terang, satu hal yang sungguh membekas bagi Paruliana adalah pelayanannya melebihi layanan operasi berbayar.
“Cara pengaturannya luar biasa, dari screening saja saya nomor 63 tapi jam 10.30 itu saya sudah selesai,” katanya.
Karena itu Paruliana berharap Tzu Chi dapat terus mengadakan pengobatan katarak gratis ini karena di luar sana masih banyak orang yang belum dapat menjalani operasi katarak karena berbagai hal.
Terinspirasi Menjadi Relawan
Bertrand tersentuh dengan ketulusan para relawan Tzu Chi mendampingi para pasien, termasuk dirinya.
Di antara 99 pasien yang berhasil menjalani operasi, ada satu pasien yang tampak begitu santai, nyaris tak menunjukkan bahwa sehari sebelumnya ia baru saja menjalani operasi katarak. Adalah Bertrand (55) pasien asal Sawangan, Kota Depok.
“Sekarang saya sudah boleh ngelirik ya,” kelakarnya.
“Sekarang terang. Dulu cuma bisa lihat sosok orang saja, orang marah atau senang ke saya enggak kelihatan bedanya. Sudah tujuh tahunan begitu. Saya orangnya cuek, padahal sebenarnya sengsara,” katanya jujur.
Katarak yang dialaminya bukan tanpa sebab. Menurut Bertrand, sejak kecil ia rutin mengonsumsi obat yang mengandung steroid karena asma dan alergi. Kondisi itu membuatnya mengalami katarak lebih dini.
Selama ini, penglihatannya selalu buram, baik jarak dekat maupun jauh. Tanpa disadari, ia kerap memicingkan mata, kebiasaan yang justru membuatnya jadi bahan olok-olok teman-temannya.
“Saya dipanggil ‘picek’. Kalau ketemu, ‘eh si picek mana?’,” ujarnya sambil menirukan gaya memicingkan mata. Ia tertawa, mengaku tak pernah tersinggung.
Elis, istri Bertrand, mendampingi suaminya menuju meja pemeriksaan mata setelah perban matanya dibuka.
Informasi tentang bakti sosial kesehatan Tzu Chi ia dapat dari tetangganya yang bekerja di rumah sakit. Ia pun langsung mendaftar. Pelayanan yang diterimanya meninggalkan kesan mendalam.
“Bagus. Sopan santunnya ada. Enggak mentang-mentang gratis jadi asal-asalan. Pasien benar-benar dihargai,” tuturnya.
Bertrand datang ditemani sang istri, Elis. Ayah dari satu anak ini mengaku tak punya rencana besar setelah penglihatannya kembali pulih. Namun ada satu niat yang tiba-tiba terlintas di benaknya.
“Begitu lihat ketulusan para relawan yang mendampingi pasien, saya langsung kepikiran ingin jadi relawan juga,” ujarnya.
Kerja Keras Disertai Ketulusan
Agus Minan, koordinator relawan, memberikan arahan pada tim sebelum bakti sosial dimulai.
Di balik senyum para pasien yang kembali melihat terang, ada kerja panjang dari tim medis Tzu Chi (TIMA) Indonesia serta tim relawan Tzu Chi, dalam hal ini relawan di Komunitas He Qi PIK yang menyiapkan pengobatan katarak ini. Agus Minan, koordinator dari tim relawan menuturkan bahwa bakti sosial katarak ini lahir dari keprihatinan bahwa masih banyak warga Jakarta yang membutuhkan, tapi belum terjangkau layanan kesehatan mata.
“Wilayah seperti Kapuk dan Kedaung itu padat dan banyak warga yang benar-benar membutuhkan. Dari situlah gagasan ini muncul,” ujar Agus.
Baginya, senyum para pasien saat perban mata dibuka menjadi jawaban atas segala lelah yang dirasakan para relawan. “Melihat mereka bahagia, kami merasa kerja keras ini tak sia-sia. Itulah kebahagiaan kami sebagai relawan.” Sambungnya.
Potret keramahan relawan yang membuat para pasien menjalani segala proses operasi dengan lebih santai dan yakin.
Bagi dr. Antonius Dwi Juniarto, Sp.M, yang kali ini berkesempatan mengoperasi mata 16 pasien, ia menemukan bahwa kebutuhan akan layanan kesehatan dasar masih nyata adanya, bahkan di Jakarta. Seperti kali ini, ia masih menemukan kasus katarak yang sudah sangat berat, sesuatu yang seharusnya bisa dicegah jika akses layanan lebih merata.
“Ini Jakarta, ibu kota. Tapi kami masih menemukan katarak yang sudah sangat keras karena terlalu lama tidak tertangani. Artinya masih ada masyarakat yang tertinggal dari akses kesehatan,” ujarnya.
Menurutnya, operasi katarak bukan semata-mata soal mengembalikan ketajaman penglihatan, melainkan juga soal keselamatan dan martabat hidup. Pasien dengan penglihatan buram berisiko tinggi mengalami kecelakaan, bahkan dalam aktivitas sederhana di rumah.
“Menyeberang jalan, memasak, atau sekadar berjalan saja risikonya besar kalau penglihatan terganggu. Kalau dua mata buram, itu sangat berbahaya,” jelasnya.
Dokter Antonius (kiri kedua) selalu merasa bahagia dapat berpartisipasi dalam bakti sosial kesehatan Tzu Chi yang selalu penuh kisah haru.
Lebih jauh, dr. Antonius menyoroti dampak katarak terhadap keluarga pasien. Gangguan penglihatan, katanya, sering kali memaksa anggota keluarga lain berhenti bekerja atau mengorbankan waktu untuk mendampingi.
“Ini bukan hanya tentang satu orang. Kualitas hidup satu keluarga ikut terdampak. Ketika pasien bisa melihat lagi, dia bisa mandiri, tidak membebani orang lain,” katanya.
Itulah sebabnya ia menilai bakti sosial katarak tetap relevan dan penting untuk terus dilakukan. “Mungkin orang bilang katarak tidak bikin meninggal. Tapi yang terganggu adalah quality of life. Dan begitu perban dibuka, kita langsung lihat perubahan itu, ekspresi wajahnya, senyumnya, bahkan ada yang menangis,” ujarnya.
Menutup hari panjang operasi, dr. Antonius menyampaikan harapannya. “Semoga semua pasien bisa melihat dengan baik, hidup lebih aman, lebih mandiri, dan menjalani hari-hari dengan lebih bermartabat.”
Editor: Fikhri Fathoni