Kerja Keras yang Tidak Sia-sia

Jurnalis : Sutar Soemithra, Fotografer : Sutar Soemithra
 
foto

Setelah sekian lama warga Jatibarang mengikuti baksos kesehatan Tzu Chi di Jakarta, pada tanggal 8-9 Agustus lalu Tzu Chi akhirnya mengadakan baksos kesehatan di Indramayu, Jawa Barat.

 

Berita tentang adanya bakti sosial kesehatan di Rumah Sakit Bhayangkara, Jalan Losarang, Indramayu, Jawa Barat, terlambat sampai ke telinga Wari (56). Warga tidak mampu yang menjadi pasien baksos tersebut harus didaftar jauh hari dan mengikuti screening sebelum pelaksanaan baksos tanggal 8-9 Agustus 2009. Namun karena keinginan yang kuat agar cucunya, Dayu Bachtiar (2) bisa memiliki wajah yang lebih baik tanpa sumbing di bibirnya, ia nekad ikut baksos.

 

 

Relawan yang menerima warga Desa Suka Haji, Kecamatan Patrol tersebut tersentuh melihat kondisi bibir sumbing Dayu yang cukup parah. Bibir atas bagian tengah menyembul ke depan terpisah dari bibir samping kiri dan kanan. Gigi dan gusi ikut menyembul juga. Maka relawan akhirnya memberikan nomor urut pasien dan mendaftarnya sebagai peserta pengobatan.

Karena tidak mengikuti screening, Dayu tidak menjalankan prosedur sebelum menjalani operasi seperti calon pasien lain, yaitu berpuasa. Karena tidak berpuasa sejak pagi, Dayu pun baru bisa dioperasi pukul setengah 2 siang setelah menjalani pemeriksaan awal dan dinyatakan memenuhi syarat untuk menjalani operasi.

Sering Diledek
Di ruang tunggu operasi, Dayu tak henti-hentinya menangis, terlebih ketika tim medis memasang selang infus di tangan kirinya. Relawan Tzu Chi harus membantu tim medis dan Wari memegangi Dayu yang meronta menangis sekencangnya menolak tangannya dipasangi infus. Sebuah papan penyangga berukuran kecil seukuran tangan Dayu dipasang di lengannya agar tangannya tidak tertekuk yang bisa menyebabkan jarum dan selang infus terlepas.

“Ini mesti bedah plastik. Giginya harus dicabut,” jelas relawan medis dr Ruth Anggraeni, ketika melihat kondisi bibir sumbing Dayu. Wari hanya mengangguk. Sesekali Dayu mencoba menarik-narik selang infus. Tangisnya pun berkali-kali meledak. Relawan Tzu Chi, Awalludin Tanamas berusaha menghiburnya dengan sebuah balon yang telah dibentuk dan digambar menjadi sebuah wajah orang. Tapi tak mudah membuat Dayu berhenti menangis. Di sela-sela menghibur Dayu, Awalludin mengiyakan ucapan dr Ruth, “Ini hari gigi cabut, diratain. Nanti beberapa tahun lagi operasi lagi. (Operasi) mesti bertahap, gak bisa langsung. Gak papa. Sabarlah...” Wari kembali mengangguk pertanda setuju. Bagi Wari, bibir Dayu diratakan saja sudah lebih dari cukup. “Yang ini aja udah alhamdulillah, soalnya kesentuh saja darah sudah keluar,” ucap Wari.

foto  foto

Ket : - Dayu tak henti-hentinya menangis ketika sedang menunggu giliran operasi bibir sumbing. Ia datang
            bersama neneknya, Wari, karena ibunya menjadi TKW di Arab Saudi. (kiri)
         - Sekitar 3.000 warga Indramayu yang kurang mampu mendapat pelayanan kesehatan dalam baksos yang           terselenggara berkat kerjasama Polri dan Tzu Chi. (kanan)
           

Dayu sering menjadi bahan ledekan oleh teman-temannya, bahkan oleh orang dewasa. Bibir sumbingnya sering dipegang-pegang karena menyembul. Kadang bisa menyebabkan bibirnya mengeluarkan darah. Dayu yang belum bisa bicara dan memang kemampuan bicaranya terganggu oleh sumbing kadang suka mengadu pada Wari. “(Yang meledek) nggak diomeli, (saya) cuma dari jauh suka sedih. Saya diem saja,” Wari tak kuat menahan tangisnya menceritakan rasa sedihnya.

Yang lebih membuat Wari sedih adalah jika ia dan Dayu bepergian. Di angkutan umum, orang-orang suka melihatnya dengan tatapan mata terenyuh, bahkan beberapa di antaranya sampai mengeluarkan uang untuk diberikan pada Dayu. Wari bukannya senang ada orang yang memberinya uang, malah sebaliknya. “Saya jadi sedih,” tutur Wari yang justru makin terenyuh melihat cucunya.

Hari-hari Dayu memang lebih banyak bersama neneknya karena ibunya, Uresi, sejak 9 bulan lalu menjadi TKW di Arab Saudi. “(Dia) nggak pesen apa-apa (ketika pergi). Saya sering nangis kalo ingat dia,” aku Wari. Sementara ayah Dayu juga tidak tinggal bersamanya karena telah bercerai ketika Dayu berumur 5 bulan. “Biasalah (karena) urusan pangan. Maklum orang susah,” Wari menjelaskan alasan cerai kedua orangtua Dayu. Dayu adalah anak keempat. Dua kakaknya yang terbesar kini bekerja serabutan, sedangkan kakaknya yang nomor tiga masih sekolah di bangku kelas 5 SD.

Ayah Dayu suka menjenguk Dayu dan kakak-kakaknya. Namun ia tidak berani ke rumah Wari. Biasanya ia hanya melihat dari rumah tetangganya. Wari sering memarahinya karena kalau datang jarang sekali membawa makanan atau susu buat Dayu yang masih kecil. Wari harus pontang-panting membesarkan Dayu dan membiayai sekolah kakaknya. Uresi belum sempat mengiriminya uang karena majikannya memintanya uang ditabung dahulu. Sementara itu suami Wari bekerja sebagai kuli umum di sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tak jauh dari tempat tinggal mereka. Dengan upah Rp 35 ribu per hari, masih dikurangi untuk biaya ojek dan kadang untuk beli rokok, uang sebanyak itu sangat tidak cukup. Bahkan jatah susu untuk Dayu pun sangat kurang. “Kalo malam suka minta susu. Akhirnya (saya) kasih gula batu,” aku Wari jujur, padahal ia tahu itu tidak baik untuk pertumbuhan Dayu, “Habis kasihan kalo nggak dikasih.

Pukul setengah 2 usai makan siang, Dayu pun masuk ruang operasi. “Nanti mamanya pulang udah ganteng ya, Dayu,” pesan zr Wenny.

foto  foto

Ket : - Darmanto tidak berani membuka matanya usai perban dibuka karena merasa takut. Maklum, sekitar 12
            tahun mata kanannya seolah tidak berfungsi akibat katarak. (kiri)
         - Dr Arif berpesan kepada Darmanto agar jangan terlalu banyak aktivitas terlebih dahulu. Matanya belum
           terlalu menunjukkan hasil yang menggembirakan usai dioperasi. Butuh waktu agar matanya siap.
            bisa bekerja kembali (kanan)

Efek Cat
Hari kedua baksos, para pasien yang telah menjalani operasi mata pada hari pertama memeriksakan kembali hasil operasi. Perban diganti dengan yang baru, bekas operasi dibersihkan, kemudian mata dites melihat untuk mengenali angka dan huruf. Setelah itu barulah diperiksa menggunakan alat pendeteksi kesehatan mata.

Darmanto (25) tahun ditemani oleh adiknya, Rizal. Waktu operasi pun Rizal yang menemaninya. “Matanya dibuka pelan-pelan, Pak,” pinta relawan Jandi Susanto pada Darmanto usai perban di mata kanannya dibuka. Laki-laki asal Jatibarang ini ragu-ragu membuka mata. “Takut,” ujarnya singkat. Maklum sudah 12 tahun mata kanannya hampir tidak berfungsi. “Cuma ada cahaya. Remang-remang,” jelasnya tentang kemampuan melihat matanya.

Kemalangan Darmanto terjadi ketika ia masih duduk di kelas 1 SMP. Ketika itu ia sedang libur sekolah. Ia membantu orangtuanya memperbaiki rumah. “Kita ngaduk semen, (lalu) kena mata,” kenang Darmanto. Ia langsung mencuci mata dan tidak ada sesuatu yang salah. Tak lama berselang ia baru menyadari ada yang janggal ketika sedang berburu burung. Untuk membidik sasaran, ia harus memicingkan mata kirinya dan menggunakan mata kanan sebagai pengintai. Ia kaget karena mata kanannya ternyata tidak bisa melihat dengan jelas.

Ketika duduk di kelas 2 SMP keganjilan di mata kanannya makin terlihat karena timbul bintik putih kecil di biji matanya. Mata kanan Darmanto kian hari kian bertambah buruk hingga akhirnya hampir tidak berfungsi. Karena itu pula ia tidak melanjutkan sekolah usai lulus SMP. Ia kemudian bekerja di sebuah bengkel. Untung keterbatasan pada mata kanannya tidak sampai mengganggu aktivitasnya di bengkel.

Darmanto mengetahui ada baksos ini dari tetangganya yang kebetulan seorang polisi. Ketika Darmanto membuka matanya pertama kali, ia masih belum terlalu bisa melihat. Menurut zr Swasana, perlu sedikit waktu bagi Darmanto agar matanya bisa melihat kembali. Ia mengibaratkan seperti bayi yang harus merangkak dulu sebelum akhirnya bisa jalan. “Jangan banyak kegiatan dulu ya,” dr Arif yang memeriksanya berpesan.

foto  foto

Ket : - Seorang pasien sedang menjalani bedah minor pada kakinya. Warga Indramayu sebagian besar adalah
           petani sehingga beberapa di antaranya rentan terkena gangguan pada kaki karena kebiasaan bekerja keras.            (kiri)
         - Ibu Budi merasa sangat bangga karena wilayahnya menjadi tempat penyelenggaraan Baksos Kesehatan
           Tzu Chi. Walaupun ia sudah tidak terlalu terlibat banyak, namun kedua anaknya yang menggantikan             perannya. (kanan)

Sebuah Kehormatan bagi Jatibarang
Baksos kesehatan ke-60 Tzu Chi ini terasa spesial bagi Julisetiawati dan keluarganya. Sejak tahun 1998 Julisetiawati telah berjodoh dengan Tzu Chi. Tak lama usai pembagian beras di Indramayu, ia berinisiatif mengoordinir warga tidak mampu di Jatibarang dan sekitarnya untuk mengikuti baksos kesehatan yang biasanya diadakan di Jakarta dan sekitarnya. Pertama kali ia mengajak 6 orang dengan menggunakan mobil pribadinya. Hingga kini ratusan orang telah berhasil ditolong. Biasanya mereka pergi ke Jakarta secara berombongan. Julisetiawati yang akrab dipanggil Ibu Budi bertugas mendata calon pasien, sedangkan kedua anaknya Agus dan Endang beserta orang kepercayaannya bertugas melakukan survei.

Ketika mendengar kabar dari relawan Jakarta akan diadakan baksos kesehatan di Indramayu 35 hari sebelumnya, Ibu Budi dan keluarganya kaget tapi juga senang. “Sempet stres saya karena biasa kita dari Jatibarang yang bawa pasien ke sana,” tutur Agus. Mereka saat ini sebenarnya sedang mengalami kesulitan finansial yang sangat berat hingga berujung pada dijualnya usaha apotek yang telah mereka rintis sekitar 30 tahun. Sudah sekitar 4 tahun ini pula mereka vakum tidak mengoordinir pasien berobat di Jakarta. Tapi mendengar kabar tersebut, ia dan keluarganya merasa tersanjung karena Tzu Chi berkenan mengadakan baksos kesehatan di wilayah mereka. Maka mereka pun berusaha menjadi tuan rumah yang baik. “Saya bener-bener jadi tuan rumah deh walaupun saya tidak bisa kerja sendiri tapi saya tugaskan anak saya. Satu kehormatan bener-bener bagi keluarga kita,” ucap Ibu Budi tanpa bermaksud sombong.

Ibu Budi dan dua anaknya terkadang harus meninggalkan suaminya yang belum lama ini terkena serangan jantung. Malah suaminya sempat ingin ikut membantu baksos, tapi Ibu Budi tidak mengiyakannya karena fisiknya masih sangat lemah. Mungkin yang bisa dibilang bekerja paling keras adalah Agus, juga Endang. Maklum Agus adalah anak laki-laki. Agus mengurus hampir semua hal. “Anak saya yang pontang-panting jadi koordinator lapangan. Anak saya kerja sendiri. Tiap hari pulang malem. Jam 12 malam tuh patokan pulang ke rumah. Usaha sendiri mah nggak diurusin,” beber Ibu Budi.

Selama 2 hari baksos itu, lebih dari 3.000 pasien pengobatan umum berhasil dilayani, termasuk puluhan anak yang dikhitan. Sedangkan tindakan operasi berhasil mengobati pasien hernia 72, bedah minor 86, bibir sumbing 9, katarak 112, dan pterigyum 41 orang. Relawan Tzu Chi yang terlibat pun bermacam-macam, dari Jakarta, Bandung, Jatibarang, dan Cirebon, serta dari Polri. Jumlahnya lebih dari 100 orang. Dokter dan tim medis yang terlibat pun merupakan gabungan antara tim medis Tzu Chi dan tim medis Polri. Jumlahnya puluhan.

 “Saya (merasa) luar biasa sekali. Luar biasa segala-galanya, ya capenya, ya bangganya, ya bahagianya. Ada kebahagiaan yang tidak bisa dibeli dengan uang,” ujar Agus setelah baksos 2 hari yang melelahkan tersebut hampir selesai. “Kita cape nggak sia-sia,” ucap Agus bangga.

 

 

Artikel Terkait

Bersumbangsih di Desa Sukamandang, Kalimantan Tengah

Bersumbangsih di Desa Sukamandang, Kalimantan Tengah

06 Juli 2018
Pada 12 Juni 2018, Relawan Tzu Chi Sinar Mas Xie Li Kalimantan Tengah 4 yang berada di wilayah Sungai Ayawan Estate bergerak untuk memberikan paket bantuan bagi keluarga yang membutuhkan di sekitar Desa Sukamandang, Kalimantan Tengah. Enam orang relawan bersama menuju ke sana.

"Rumah Baru" Kakek Keng Soen

11 September 2020

Tjiong Keng Soen (70) namanya. Ia hidup berpindah-pindah dari lapak satu ke lapak lainnya di Pasar Taniwan Kapuk Raya, Jakarta Utara. Ada kalanya juga ia tidur di Poskamling warga. Prihatin dengan kondisinya, relawan Tzu Chi mengajak Kakek Keng Soen tinggal di “rumah besar” bersama para Lansia lainnya. 

Dalam Masa Penuh Kekacauan diperlukan Pertobatan Besar

Dalam Masa Penuh Kekacauan diperlukan Pertobatan Besar

25 April 2013 Namun bedah buku yang satu ini berbeda karena diadakan di hari Minggu dan juga di pagi hari, jadi bagi relawan yang kesulitan untuk hadir pada kegiatan bedah buku weekdays, bedah buku ini adalah kesempatan yang baik dan tentunya ditunggu-tunggu.
Memberikan sumbangsih tanpa mengenal lelah adalah "welas asih".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -