Dengan penuh semangat, Sphatika Winursita membagikan pandangannya bahwa berdonasi tak selalu harus berupa materi. “Lewat tulisan pun kita bisa berdonasi,” ujarnya, menginspirasi peserta untuk menjadikan kata-kata sebagai ladang cinta kasih.
Dear..diary…Mengingat kembali semua kenangan yang tergores indah, tiada momen berharga yang terlewatkan tanpa mencurahkannya dalam tulisan. Menulis cerita adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Setiap momen akan selalu tersimpan; sejarah akan selalu terukir indah di setiap lembaran tulisan.
Minggu, 15 Juni 2025, relawan dari komunitas He Qi Angke Pluit untuk kedua kalinya mengadakan workshop Zhen Shan Mei (ZSM) di Galeri DAAI, Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara. Workshop kali ini, dirancang untuk membantu para relawan Tzu Chi mencatat setiap jejak cinta kasih Tzu Chi dalam berkegiatan. Workshop ini mengangkat tema Dear Diary yang dibawakan oleh Sphatika Winursita (penulis dari He Qi Pluit).
Siang itu, kegiatan dibuka dengan semangat oleh Triana Putri. Sebanyak 26 jiwa hadir, membawa semangat dan rasa ingin belajar. Dalam suasana akrab, Triana pun memperkenalkan sosok istimewa, Sphatika Winursita, atau yang akrab disapa Tika di komunitasnya.
Suasana hangat dan antusias terasa di Galeri DAAI, saat 26 peserta dari berbagai latar belakang berkumpul untuk memperdalam nilai-nilai Zhen Shan Mei kejujuran, kebaikan, dan keindahan melalui seni menulis.
Tika, seorang relawan dari generasi Z yang kini berusia 26 tahun, memulai perjalanannya bersama Tzu Chi pada tahun 2019. Saat itu, ia datang berkunjung ke Tzu Chi bersama teman-teman dari Universitas Indonesia. Tak disangka, kunjungan itu menorehkan kesan mendalam; benih cinta kasih mulai tumbuh dalam diam.
Tahun demi tahun berlalu, hingga akhirnya pada 2022, ia resmi bergabung menjadi relawan. Tepat pada 11 April, sebuah undangan datang; relawan Henny mengajak Tika untuk menjadi bagian dari keluarga Zhen Shan Mei (ZSM) Pluit. Tika tanpa ragu menyambut dengan sukacita, seakan menemukan panggilan jiwa. Dari sanalah kisah Tika sebagai penulis pada kegiatan relawan Tzu Chi dimulai.
“Saya baru tahu bahwa berdonasi itu tidak selalu harus dengan materi. Lewat tulisan pun kita bisa berdonasi. Kalimat dari Shi jie Henny membuat saya ingin terus berada di jalan ini (relawan Tzu Chi),” ucap Sphatika.
“Momen paling ‘gong’ adalah saat Tzu Chi Taiwan menghubungi saya karena mereka menyukai tulisan saya dan ingin menerjemahkannya untuk dimuat di situs web Tzu Chi Taiwan. Saya tidak menyangka tulisan saya bisa sampai ke banyak orang di luar sana. Insyaallah, semoga tulisan saya bisa menginspirasi dan memotivasi. Saya suka menulis karena perasaan saya bisa dikonversi menjadi tulisan dan mencapai ke hati orang lain,” pungkas Tika.
Yuliana (kanan) terlihat sumringah saat membagikan kesannya mengikuti workshop. Ia merasa lebih percaya diri dalam menulis, terutama setelah memahami penggunaan kata yang tepat seperti "di" dan "ke".
Dalam workshop ini, Sphatika juga berbagi banyak ilmu kepada para relawan senior, mulai dari alasan mengapa kita perlu menulis, tips membuat tulisan, gaya bahasa dan nada penulisan, rumus 5W+1H, membuat lead dan struktur tulisan yang runut, teknik membuat judul, aturan kapitalisasi judul, ejaan yang disempurnakan (EYD) dan koreksi typo, serta berbagai tips lainnya.
Sphatika juga menyampaikan rasa terima kasihnya kepada kemajuan teknologi, khususnya atas kehadiran ChatGPT. “Sebagai Gen Z, saya sangat bersyukur dengan adanya ChatGPT. Kita bisa bertanya apa saja di sana, misalnya: ‘Tolong review artikel saya.’ Tapi bahayanya adalah, ChatGPT juga bisa membuat artikelnya sendiri. Namun tetap saja, tulisan manusia tidak bisa dikalahkan oleh AI.
Tulisan yang dibuat oleh ChatGPT tidak seindah tulisan manusia, karena tulisan dari manusia datang dari hati, dari perasaan, dan bisa menyentuh hati pembacanya. AI adalah robot. Kita bisa manfaatkan ChatGPT untuk membantu memperbaiki EYD, tanda baca, dan sangat membantu. “Tapi jangan sampai kita dibodohi oleh teknologi,”ucap Sphatika.
Dokter Maretta Santirini Chandra (62) membagikan pengalamannya dengan penuh sukacita. Ia merasa kegiatan ini sangat bermanfaat, bahkan membangkitkan kembali semangatnya dalam menulis, meskipun usia tak lagi muda.
Usai sesi materi, para peserta diajak untuk mulai menuangkan isi hati ke dalam tulisan. Panitia memberikan waktu 30 menit kepada para peserta untuk praktik menulis, dengan pilihan tema “Kunjungan Kasih (Amal)” atau “Pelestarian Lingkungan.” Dua tema yang sama-sama sarat makna, mencerminkan kepedulian dan cinta kasih terhadap sesama maupun bumi tempat kita berpijak.
Dalam keheningan yang penuh konsentrasi, jemari tangan mulai menari di atas kertas dan papan ketik handphone. Kata demi kata mengalir, bercerita tentang momen-momen menyentuh dan pengalaman yang menggugah jiwa. Tidak hanya menulis, para peserta belajar menyelami makna di balik setiap kalimat, merekam empati, mengekspresikan nilai-nilai luhur dengan bahasa yang hidup.
Setelah waktu menulis usai, sesi pembahasan pun dimulai. Hasil tulisan peserta dibaca bersama, dibedah dengan penuh kasih oleh para senior Zhen Shan Mei. Fokus utamanya adalah memperbaiki tata bahasa sesuai kaidah EYD, mengoreksi kesalahan ketik, serta memberikan masukan untuk memperkuat isi dan gaya penulisan. Bukan sekadar kritik, tapi bimbingan yang penuh semangat agar setiap tulisan semakin bermakna dan mampu menjangkau hati pembaca.
Workshop Zhen Shan Mei yang digelar pada Minggu, 15 Juni 2025 di Tzu Chi Center, PIK, menjadi ruang bertumbuh bagi para relawan. Dibalut suasana kekeluargaan, kegiatan ini menjadi momentum berharga untuk menanamkan nilai-nilai luhur dalam setiap tulisan.
“Saya sangat senang mengikuti acara ini, karena saya jadi tahu dan lebih paham cara penulisan yang benar, misalnya dalam penggunaan kata 'di' dan 'ke'. Sekarang saya jadi lebih mengerti,” ungkap Yuliana, salah satu peserta yang tampak antusias sepanjang kegiatan.
Tidak hanya Yuliana, dr. Maretta Santirini Chandra (62) juga mengungkapkan perasaannya.“Luar biasa! Ini kedua kalinya saya mengikuti kelas ini. Sejak bergabung dengan ZSM, saya jadi bisa meng-upload foto dan menulis artikel. Kegiatan ini sangat bermanfaat,” ungkap dr. Maretta dengan sukacita.
“Saya juga sudah berumur, jadi kadang suka lupa dengan aturan EYD, tapi tadi dijelaskan kembali oleh Tika Shi jie, saya jadi teringat lagi. Saya sendiri sebenarnya juga seorang penulis novel, dan menurut saya kegiatan ini benar-benar menambah ilmu. Jadi, saya merasa tidak rugi sama sekali mengikuti workshop ZSM,” lanjutnya sambil tersenyum hangat, mencerminkan semangat belajar yang tak pernah padam.
Editor: Anand Yahya