Kolaborasi yang Harmonis

Jurnalis : Veronika Usha, Fotografer : Anand Yahya
 
foto

Kedai tempat Erni menjual pecel. Suami istri pengelola tempat ini tetap harmonis walaupun berbeda budaya.

Memadukan dua pemikiran yang berbeda memang bukanlah hal yang mudah. Terlebih apabila pemikiran itu berasal dari dua orang yang berbeda suku serta latar belakang.

Inilah yang dialami oleh Sri Erni Lestari (30 tahun) dan Samaun (37 tahun), suaminya. Sikap toleransi antara pasangan suami istri yang berasal dari Banyumas dan Aceh ini, berhasil membangun kembali usaha keluarga yang sempat hancur karena tsunami.

Semenjak merantau di Tanah Rencong, Dirsur (62 tahun) mulai merintis usaha pecel miliknya. Berkat ketekunan, kerja keras, serta dukungan sang istri tercinta, Dirsur berhasil membuat pecel "Sinok" sebagai salah satu pecel yang cukup terkenal di Aceh.

Namun bencana alam tsunami telah menghancurkan segalanya. Tidak hanya sang istri, tsunami juga merampas paksa harapannya akan sebuah kehidupan yang ideal.

"Saat itu bapak sempat stres, tidak henti ia mencari ibu kemana-mana," ucap Erni.

Namun berkat dorongan dari putra-putrinya, Dirsur bersedia untuk memulai kembali usaha yang telah menghidupi keluarganya selama lebih kurang 15 tahun.

"Tidak mudah memang awalnya bagi kami untuk meyakinkan bapak untuk kembali merintis usaha ini. Tapi setelah kami memberikan pengertian kepada beliau, akhirnya bapak pun mau membuka kembali usaha pecelnya," jelas Erni.

Usaha pecel tersebut dibuka dengan modal awal sekitar tiga juta rupiah yang ia dapatkan dari sebuah LSM. Tidak hanya uang, Erni mengaku, ia dan keluarga juga mendapatkan sebuah gerobak dan bahan baku seperti : sayuran, kacang, maupun bahan bakar, untuk merintis kembali usaha pecel mereka.

"Awalnya kami ingin sekali meninggalkan Aceh. Kami trauma. Namun bapak selalu bilang, sampai mati pun beliau tidak ingin meninggalkan Aceh," tutur Erni, sambil menunjukkan sebuah lesung (sebuah alat tumbuk yang digunakan untuk menumbuk bumbu pecel) yang masih tersisa dari bencana tsunami.

Setelah lebih kurang satu tahun Dirsur merintis kembali usaha pecelnya, tiba-tiba sebuah kecelakaan menimpanya. Sebuah kreta (sebutan masyarakat aceh untuk sepeda motor) menabrak Dirsur, dan akhirnya ia pun memutuskan untuk mundur dari usaha pecel dan mewariskannya kepada Erni, putrinya.

foto  foto

Ket : - Erni mengutamakan kebersihan dalam menjual makanannya. Ini yang membuat para pelanggannya terus
           bertambah. (kiri)
         - Samaun dengan senang hati membantu Erni berdagang pecel untuk menopang ekonominya yang sempat
           hancur akibat tsunami. (kanan)

Dengan bermodalkan semangat dan harapan, akhirnya Erni melanjutkan usaha pecel "Sinok". Pelan-pelan ia belajar untuk mengembangkan usaha tersebut. Bersama dengan Samaun yang resmi menikah dengannya pada 26 Desember 2006 lalu, Erni berjuang untuk bangkit kembali dari trauma dan himpitan ekonomi yang membelenggu keluarganya.

"Kalau ingat kakak (sebutan untuk dirinya sendiri) waktu tsunami, sedih sekali. Pakaian kami saat meninggalkan rumah hanya baju yang menempel di tubuh saja. Untuk tempat tinggal dan makan pun kami hanya berharap dari bantuan yang datang," ucapnya sambil menerawang.

Buat Erni, ia harus terus berjuang melanjutkan usaha pecel yang menghabiskan lebih kurang 15 kilogram kacang tanah setiap harinya. Makanan berbahan dasar sayuran dan kacang, yang merupakan makanan asli masyarakat Jawa ini, kini disukai pula oleh masyarakat Aceh maupun keturunan.

"Kakak ingat. Kakak harus mencoba sebanyak lima kali untuk berhasil membuat lontong, sebagai pelengkap pecel. Kakak bersyukur sekali ternyata bisa membuat pecel yang serupa dengan bapak dan ibu," tuturnya.

Mayoritas masyarakat Aceh memang cenderung untuk mencari kembali langganan yang pernah mereka miliki sebelum tsunami. Dan ini pun secara tidak langsung mempermudah Erni untuk menawarkan pecelnya. "Awalnya mereka sulit percaya kalau saya adalah anak pembuat pecel langganan mereka. Namun setelah mereka merasakan sendiri pecel kami, akhirnya mereka percaya kalau ini benar-benar pecel "Sinok"," katanya lagi.

Pecel yang dihargai sekitar Rp 7.000,- hingga Rp 8.000,- per porsi ini berhasil membuat Erni dan keluarga meraih keuntungan hingga lebih kurang 300 sampai 500 ribu rupiah.

Makanan pecel yang berasal dari daerah Jawa, yang konon katanya masyarakat yang tidak disukai oleh masyarakat Aceh ini (berkaitan dengan kasus-kasus semasa Gerakan Aceh Merdeka) dapat diterima dengan baik. Buktinya omset penjualan pecel Erni dapat meraih keuntungan yang cukup menggiurkan.

foto  foto

Ket : - Perbedaan budaya yang melatarbelakangi Erni dan Samaun, justru menjadi bahan untuk saling mengisi
           kekurangan di antara mereka. (kiri)
         - Dengan menggunakan becak motor, Erni berangkat menuju kedai yang ia sewa Rp 20.000 per hari,
           sementara Samaun bersih-bersih rumah. (kanan)

Tidak hanya budaya makan saja yang sebenarnya secara tidak langsung dapat memberi warna pada kehidupan Aceh. Salah satu bukti nyatanya adalah Erni dan Samaun. Dengan gotong-royong dua kepala yang berbeda latar belakang ini bisa menjadi satu dalam kebersamaan membangun rumah tangga dan usaha mereka.

Sifat sensitif sang suami yang diyakini Erni sebagai ciri khas masyarakat Aceh dapat berubah dengan perlahan. Tidak hanya itu, semangat kerja keras Erni pun menular pada diri Samaun.

"Tapi banyak juga sisi positif yang dimiliki suami saya. Ia mengajarkan saya untuk lebih kuat dan sabar menghadapi masalah, serta ia tegas dan tidak mudah terpengaruh dengan orang lain," jelas Erni.

Semenjak resmi menempati Perumahan Cinta Kasih, ada beberapa budaya baru yang tumbuh pada kehidupan sehari-hari pasangan ini. Salah satunya adalah budaya kebersihan yang diterapkan dalam lingkungan Perumahan Cinta Kasih Panteriek, Banda Aceh, juga mereka terapkan pada usaha dagang mereka. Hasilnya pelanggan mereka yang mayoritas dari etnis Tionghoa pun semakin bertambah. "Orang Tionghoa memang mengutamakan kebersihan makanan mereka," jelas Erni.

Erni menceritakan kebahagiaan yang ia rasakan ketika mendapatkan rumah yang ditempatinya itu. "Tadinya saya dan keluarga sempat mendaftar untuk rumah yang di Neuheun, Aceh Besar, tapi pengajuan kami ditolak. Tapi saya yakin Allah sudah punya jalan sendiri, dan kini Alhamdullilah saya mendapatkan rumah di Panteriek" ucap Erni.

Semangat untuk terus berjuang Erni semakin membara, terlebih setelah ia dan keluarga mendapatkan rumah. "Semua ini saya lakukan untuk anak dan keluarga, karena saat ini saya menjadi tulang punggung keluarga. Seperti kata bapak, ketika kita ingin merintis sesuatu kita harus total dan jangan pernah menurunkan kualitas agar konsumen kita bisa selalu merasa puas. Dan karena prinsip yang sama itulah, saya bisa Alhamdullilah bertahan dan maju hingga sekarang," ungkap Erni memaparkan rahasia dagang yang selalu ia tanamkan kepada sang suami serta keluarganya.

 

Artikel Terkait

Survei Pembangunan Jembatan di Nias Selatan

Survei Pembangunan Jembatan di Nias Selatan

16 Mei 2019
Lima relawan Tzu Chi Medan melakukan survei kondisi jembatan di Kabupaten Nias Selatan pada Jumat, 10 Mei 2019. Dua jembatan gantung yang akan dibangun adalah jembatan yang menghubungkan Dusun 6 dan 7 di Desa Togizita, dan Desa Aramo dan Hilisawato.  
Seratus Ribu Paket Bantuan Beras dari Tzu Chi dan Pengusaha Peduli NKRI Untuk Warga Bali

Seratus Ribu Paket Bantuan Beras dari Tzu Chi dan Pengusaha Peduli NKRI Untuk Warga Bali

02 Agustus 2021

Sebanyak 500 ton atau 100.000 paket beras dari Tzu Chi Indonesia dan Pengusaha Peduli NKRI telah tiba di Pulau Bali. Bantuan ini siap didistribusikan untuk warga yang sangat terdampak pandemi Covid-19, utamanya yang belum mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat.

Mendampingi dengan Ketulusan dan Cinta Kasih

Mendampingi dengan Ketulusan dan Cinta Kasih

02 Juni 2021
Sejak awal Tzu Chi berdiri tahun 1966 di Taiwan, metode pendampingan dan perhatian untuk para penerima bantuan Tzu Chi tidaklah berubah hingga saat ini.
Mendedikasikan jiwa, waktu, tenaga, dan kebijaksanaan semuanya disebut berdana.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -