Program Renovasi 4.000 Rumah Tidak Layak Huni hadir di Pagedangan Udik. Pada Rabu, 10 September 2025, Kepala Desa Pagedangan Udik, Astri Apriyanti, S.Pd, S.IP (tengah), turut membantu proses pendataan warga penerima bantuan.
Di ujung barat Kabupaten Tangerang, ada sebuah desa bernama Pagedangan Udik. Desa ini berada di Kecamatan Kronjo, sekitar satu hingga dua jam perjalanan dari pusat Kota Tangerang. Begitu memasuki wilayahnya, riuhnya lalu lintas dan padatnya permukiman berubah menjadi jauh lebih tenang dan lengang. Hamparan sawah membentang luas sepanjang kiri dan kanan jalan, memisahkan satu kelompok rumah penduduk dengan kelompok lainnya. Jalan desa sebagian sudah diaspal mulus, tapi masih ada gang kecil berupa tanah atau beton sederhana yang hanya cukup dilalui motor. Mayoritas warganya menggantungkan hidup sebagai buruh tani, buruh nelayan, membuka usaha kecil, atau bekerja di pabrik di kawasan industri sekitar.
Di balik ketenangan yang tersaji itu, masih ada potret lain yang tak bisa diabaikan, yaitu sejumlah rumah masih tergolong tidak layak huni. Kebanyakan berdinding anyaman bambu yang mulai rapuh, atapnya bocor, dan lantai tanahnya menjadi becek saat hujan turun. Kondisi ini membuat sebagian keluarga rentan ketika musim penghujan tiba atau saat angin kencang melanda.
Kepala Desa Pagedangan Udik, Astri Apriyanti S.Pd, S.IP, mencatat ada sekitar 30 rumah yang tergolong tidak layak huni. “Dari 13 RT di Pagedangan Udik, ada 30 rumah yang kondisinya benar-benar perlu dibantu. Kami senang sekali karena program ini bisa membantu warga keluar dari kondisi tersebut,” ujarnya.
Relawan Tzu Chi Tangerang, tim PT Agung Sedayu Grup, dan pemerintah setempat turun langsung melakukan survei. Sebelum turun ke lapangan, mereka terlebih dahulu melakukan persiapan dan briefing di kantor desa.
Potret rumah Alisan dan Ismat Antoni. Dinding bilik bambunya dilapisi papan plastik seadanya agar angin tidak langsung masuk ke dalam rumah.
Salah satu rumah itu milik Alisah dan suaminya, Ismat Antoni, yang sudah lima tahun terakhir terkena stroke. “Kalau hujan ya kebocoran ini di bagian kamar, dapur dan depan sini. Kalau banjir ya masuk ke dalam rumah, kadang sedengkul. Anak selalu naik ke kasur kalau hujan, itu dipannya juga juga udah reot,” cerita Alisah sambil menunjukkan bagian-bagian rumahnya yang sudah rapuh.
Rumah Alisah dan suaminya saat ini tepat berada di belakang sebuah madrasah. Dinding bagian belakang madrasah itu bahkan dipinjamkan untuk dijadikan dinding sebagian rumahnya. Sebagian lagi, ia menggunakan anyaman bambu yang ditambal dengan papan plastik agar angin tak masuk rumah. Sementara itu lantainya semen. Dengan empat anak yang harus diurus seorang diri, Alisah hanya bisa bekerja serabutan, mencuci piring atau baju tetangga untuk bertahan hidup.
“Pengennya sih rumahnya jadi lebih layak, nggak kebocoran, nggak kebanjiran, biar anak-anak nyaman tinggal di rumah,” ucap Alisah.
Rumah pasangan Saonah dan Sukara. Dinding dan sekat kamar terbuat dari anyaman bambu, sementara atap asbes membuat panas matahari terasa menembus ruangan.
Cerita lain datang dari Saonah dan Sukara, pasangan yang sudah tinggal 20 tahun di rumah warisan orang tua yang sudah dibagi masing-masing saudara. Uniknya, bagian depan rumah ini terlihat layak. Cat-nya berwarna cream dan masih bersih. Tapi ketika pintu itu dibuka, bagian dalamnya berbeda sangat jauh. Dinding kanan kiri dan belakang, semuanya anyaman bambu. Sekat antar kamar juga sama. Atapnya memakai asbes yang membuat panas matahari begitu terasa menembus ke dalam ruangan. “Kalau ada angin itu kerasa banget, takut rubuh,” kata Saonah.
Sekitar dua bulan lalu, menjelang acara tujuh bulan kehamilan anaknya, Saonah menyempatkan diri mengecat bagian depan rumah. “Biar nggak malu kalau ada tamu yang datang,” katanya sambil tersenyum kecil. Namun untuk memperbaiki bagian dalam rumah, ia mengaku belum sanggup karena penghasilannya habis untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak-anak. Ia berharap, melalui program renovasi rumah ini, keluarganya bisa tinggal dengan lebih aman dan nyaman, tanpa lagi dihantui rasa cemas setiap kali hujan atau angin kencang datang.
Rumah Santumah, seorang Lansia yang tinggal bersama anak dan cucunya. Rumahnya yang tak layak huni berada di pinggiran desa, bersebelahan langsung dengan hamparan sawah.
Ada lagi kisah Santumah, seorang Lansia yang tinggal bersama anak dan cucunya di rumahnya yang berada di pinggiran desa, bersebelahan dengan sawah. Sama seperti cerita warga lainnya, rumah Santumah hanya berbilik bambu dan beratap genteng dengan rangka bambu yang mulai menua. Karena letaknya dekat dengan sawah, banyak hewan dan serangga kerap mampir ke rumahnya yang penuh sela sela, entah dari dinding, atap, atau lantai tanahnya. Angin seperti kawan kalau datangnya sepoi-sepoi, kalau kencang berubah menjadi lawan karena pasti masuk ke dalam rumah. “Takut roboh,” kata Santumah lirih. Itu adalah kekhawatiran utamanya, selain hujan yang juga membuatnya ngeri. Di depan rumahnya, air empang tergenang hampir penuh, yang sewaktu-waktu pasti meluap kalau curah hujan tinggi.
Di usianya yang sudah 75 tahun, ia tak banyak berharap dan tak ingin membebani anak cucunya. Hanya saja, ia ingin bisa menghabiskan masa tuanya di rumah yang nyaman.
“Berdoa aja ya, Nek. Semoga lancar dan doanya dikabulkan,” kata relawan yang mensurvei rumahnya.
Melihat dari Dekat
Kisah-kisah seperti inilah yang mendorong Program Renovasi 4.000 Rumah Tidak Layak Huni hadir di Pagedangan Udik. Pada Rabu, 10 September 2025, sekitar 20 relawan Tzu Chi Tangerang dan tim PT. Agung Sedayu Grup turun langsung melakukan survei dibantu oleh pemerintah setempat. Mereka berkumpul sejak pagi di Kantor Desa Pagedangan Udik, lalu dibagi menjadi enam tim dan berkeliling kampung menggunakan sepeda motor.
“Yang pertama kita lihat itu ya kondisi rumah: atap, lantai, dinding. Kita juga perhatikan apakah ada anggota keluarga yang sakit, lansia, disabilitas, atau anak-anak,” jelas Johnny Chandrina, Ketua Tzu Chi Tangerang. “Dari yang kami survei tadi, rata-rata memang layak dibantu,” lanjutnya.
Relawan mendatangi 30 rumah di Desa Pagedangan Udik satu per satu untuk melakukan survei. Mereka melakukan verifikasi data sebagai tahap awal program renovasi rumah agar bantuan tepat sasaran.
Para relawan menyusuri gang dan jalan setapak di tepi sawah. Beberapa rumah hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor karena akses kendaraan roda empat tidak memungkinkan.
Bagi relawan, pengalaman ini menyentuh hati. “Hari ini dapat pengalaman baru lagi turun ke lapangan. Kita melihat masih banyak saudara kita yang berkekurangan, membuat kita belajar untuk paham akan rasa syukur. Semoga dengan survei ini jodoh ke depan bisa terjalin dan memulas rasa bahagia untuk mereka,” ungkap Edi Sheen, relawan yang ikut dalam tim.
Hasil survei ini kemudian akan dibawa ke pertemuan lanjutan untuk diputuskan rumah mana saja yang bisa segera direnovasi. Harapannya sederhana agar keluarga seperti Alisah, Saonah, Santumah, dan puluhan warga lainnya bisa tinggal di rumah yang aman, tidak bocor, dan memberi rasa nyaman. Seperti kata Kepala Desa Astri, “Mudah-mudahan semua warga yang diajukan benar-benar mendapatkan bantuan. Ini langkah awal agar mereka bisa hidup lebih baik.”
Editor: Arimami Suryo A.