Yopie Budiyanto menjelaskan catatan sejarah yang diukir dalam dokumentasi foto yang ada di dinding Lorong Aula Jing Si Indonesia.
Rombongan Gereja Paroki Puspa Gading Santo Andreas Kim Tae-gon, Jakarta, disambut hangat oleh insan Tzu Chi Indonesia pada Sabtu, 23 Agustus 2025. Selain bertujuan mempererat tali persaudaraan dalam kemajemukan, juga ingin mengenal kegiatan komunitas lintas agama.
Gereja Santo Andreas Kim Tae-gon telah berdiri selama 16 tahun, namun pada 16 Mei 2025 harus berpisah secara manajemen dengan Gereja Santo Yakobus, Kelapa Gading. Ini karena pertambahan jumlah umat setiap tahun dan pembangunan gedung baru Santo Andreas Kim Tae-gon di kawasan Kelapa Gading.
Tarcisius Rostiadji (75), Ketua Seksi HAAK Gereja Santo Yakobus Kelapa Gading untuk bidang hubungan antaragama dan kemasyarakatan, menjelaskan salah satu kegiatan mereka, Senam Bhinneka melibatkan warga multiagama. ‘Kami mengajak masyarakat lintas agama ikut senam yang diadakan di tempat umum untuk mendorong kebhinekaan dan menghindari tanggapan negatif. Kegiatan ini rutin setiap Sabtu di Kelapa Gading Barat, dan setiap Minggu di Kelapa Gading Timur serta Pegangsaan Dua,’ ujar Tarcisius. Senam ini gratis dan terbuka untuk semua warga Kelapa Gading tanpa memandang agama.
Tanjung Kesuma sedang menonton video dokumentasi mengenai Tzu Chi melalui DaAi TV dan berharap di kunjungan selanjutnya dapat melihat insan Tzu Chi melakukan pemilahan barang daur ulang.
Kegiatan Tzu Chi Indonesia Menginspirasi Mereka
Kehangatan terlihat sejak rombongan berjumlah 92 orang turun dari dua bus di depan gedung Tzu Chi Center, PIK. Kegiatan diawali dengan pengenalan singkat tentang Tzu Chi sebelum santap siang bersama di Kantin Aula Jing Si. Setelah itu, peserta diajak meninjau Exhibition Hall dan mengelilingi dua lorong Tzu Chi yang memuat catatan serta sejarah kegiatan amal kemanusiaan Tzu Chi di Taiwan dan Indonesia.
Trisna Dewi (68), Sekretaris Hubungan Antara Badan Kemasyarakatan Paroki Puspa Gading Santo Andreas Kim Tae-gon, menyusun program kegiatan lintas agama, termasuk kunjungan ke Museum Katedral (Katolik), Masjid Istiqlal (Islam), Terowongan Silaturahmi, Tzu Chi Indonesia, dan Vihara Dharma Suci (Buddha). “Program lintas agama ini bertujuan agar umat memahami kegiatan yang dilakukan setiap agama, namun tetap saling menghormati,” jelas Trisna.
Mario, Koordinator Kunjungan Komunitas Lintas Agama, berkeinginan belajar visi misi Tzu Chi, dan terkesan pada daur ulang Tzu Chi.
Trisna menambahkan, “Hari ini sebelum ke Tzu Chi Indonesia, kami mengunjungi Masjid Istiqlal dan Katedral Katolik. Rencana ke Vihara Dharma Suci batal karena ada kegiatan di sana hingga akhir September.”
Trisna juga menyampaikan kekagumannya atas sambutan Tzu Chi Indonesia. “Tzu Chi adalah pusat kegiatan kemasyarakatan yang luar biasa. Semua kegiatan Tzu Chi menginspirasi saya untuk terus melakukan kegiatan sosial dalam kelompok kecil. Nilai kemanusiaan yang dijalankan Tzu Chi hingga ke masyarakat kecil sungguh mengagumkan,” tuturnya.
Tarcisius Rostiadji (75) mengungkapkan harapannya di usia lanjut agar tetap bermanfaat bagi lingkungan dan berbagi kebaikan. “Saya terkesan dan ingin belajar dari Tzu Chi. Semua kegiatan amal sosialnya lintas agama. Saya menyadari bahwa membahagiakan orang lain membuat kita sendiri lebih bahagia. Di Tzu Chi ada kebaikan, prinsip, kebijakan, dan kebahagiaan,” ujar Tarcisius, yang juga ingin mengadakan bakti sosial bagi masyarakat setempat seperti yang dilakukan Tzu Chi.
Lebih lanjut, Tarcisius menegaskan bahwa dalam kunjungan ini tidak hanya umat gereja yang diajak, tetapi juga warga setempat dari ekonomi menengah ke bawah yang selama ini mereka bina. “Kami mengajak mereka berkunjung ke tempat agama lain untuk mengenal kegiatan mereka, seperti ke Tzu Chi Indonesia,” tutupnya.
Walau Berbeda Namun Tetap Satu Dalam Kebhinekaan
Mario (64), aktif dalam hubungan antaragama dan FKUB Jakarta Utara, memimpin rombongan warga lintas agama berkunjung ke Tzu Chi Indonesia untuk kegiatan kebhinekaan. “Hari ini kami diterima dengan baik di Tzu Chi. Setelah melihat sejarah dan kiprah kegiatan amalnya, ternyata misi kami sama: tidak membeda-bedakan suku, agama, atau ras,” ujar Mario.
Siti Asana (dua dari kanan) menceritakan pertama kali mengenal dan mendengar Tzu Chi saat kejadian tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 melalui televisi, hingga ia memiliki keinginan ikut bergabung dalam kegiatan sosial Tzu Chi.
Selain mendapat pengetahuan tentang sejarah Tzu Chi Taiwan dan Indonesia, rombongan ini juga mengunjungi Tzu Chi Hospital dan mendapat penjelasan singkat tentang Tzu Chi Hospital.
Ia terinspirasi oleh program daur ulang dan struktur organisasi Tzu Chi yang rapi dan tertata, terutama dalam membantu masyarakat. Antusiasme peserta sangat tinggi; mereka mengabadikan momen di Tzu Chi Center dan Tzu Chi Hospital. Mario pun terkesan dengan pelayanan rumah sakit yang modern, sistem cluster, dan perhatian relawan Tzu Chi terhadap pasien.
Romo Tunjung Kesuma (62) yang mengunjungi Tzu Chi untuk ketiga kalinya, juga terkesan dengan komitmen Tzu Chi dalam misi kemanusiaan lintas agama dan perhatian terhadap lingkungan. Siti Asana (41), yang pertama kali mengenal Tzu Chi saat bencana Aceh 2004, merasa terinspirasi untuk menjadi sukarelawan. “Tzu Chi membantu dengan hati tulus tanpa membedakan suku, agama, atau ras. Melihat langsung kegiatan mereka membuat saya ingin berbuat kebaikan,” ujar Ana, panggilan sehari-harinya.
Ana juga berharap bisa bertemu Master Cheng Yen suatu hari nanti. “Terima kasih telah membantu orang miskin dengan tulus. Semoga Master selalu sehat,” tuturnya.
Editor: Khusnul Khotimah