Menguatkan Peran Filantropi Lintas Iman demi Pembangunan yang Inklusif dan Berkelanjutan

Jurnalis : Anand Yahya, Fotografer : Anand Yahya

Sekretaris Umum Tzu Chi Indonesia, Hong Tjhin menjadi slaah satu pembicara dalam Filantropi Indonesia Festival 2025. Ia memaparkan pendekatan unik yang diterapkan oleh Tzu Chi adalah mendorong partisipasi aktif dari para donatur.

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia mendapat kesempatan menjadi narasumber dalam acara Filantropi Indonesia Festival 2025 (FIFest2025) yang berlangsung di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat pada 7 Agustus 2025. Hal ini menunjukkan komitmen Tzu Chi menjalankan filantropi lintas iman dengan berfokus pada upaya kemanusiaan yang universal.

Hong Tjhin, Dewan Penasihat perhimpunan Filantropi Indonesia dan sekaligus Sekretaris Umum Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia berpartisipasi sebagai pembicara dalam Filantropi Indonesia Festival 2025 (FIFest2025) bertajuk “Beda Keyakinan, Beragam Aksi, Satu Tujuan.” Acara ini juga  dihadiri oleh Prof. Dr. KH. Noor Achmad, M.A Ketua BAZNAS, Komaruddin Hidayat Ketua Dewan Pers, dan lainnya.

Sesi ini membahas strategi memperkuat peran filantropi lintas iman dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang universal dan inklusif. Dengan mengangkat praktik baik dan tantangan, kolaborasi antar agama.

Ahmad Juwaini, Ketua Pengurus Dompet Dhuafa mengutarakan para donatur di Dompet Dhuafa juga datang dari berbagai lintas agama dan lintas sosial.

Hong Tjhin, Komaruddin Hidayat, dan H. Rizaludin Kurniawan, M.Si, CFRM berdiskusi dan bertukar pikiran usai sesi seminar. Momen ini mencerminkan semangat kolaborasi lintas organisasi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang inklusif.

Pada sesi diskusi itu, Hong Tjhin bersama Angelina Theodora dari Wahani Visi Indonesia, Ahmad Juwaini Ketua Pengurus Dompet Dhuafa, dan Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, S.Psi, M.Psi, Koordinator Jaringan Nasional Gusdurian saling berdiskusi dengan di pandu oleh Irvan Nugraha Sekretaris Badan Pengurus PFI dan Chief Executive Officer Rumah Zakat. Dalam diskusinya, Hong Tjhin memaparkan peran filantropi lintas iman sangat penting dalam mewujudkan pembangunan yang universal dan inklusif.

“Kolaborasi menjadi kunci. Salah satu bentuk kolaborasi yang semakin mendapat sorotan adalah filantropi lintas iman, di mana nilai-nilai kemanusiaan melampaui batasan agama dan kepercayaan,” jelas Hong Tjhin.

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia menjadi contoh nyata dari praktik filantropi lintas iman yang konsisten dan berdampak luas. “Meski Yayasan Buddha Tzu Chi berlandaskan nilai-nilai Buddhisme, Tzu Chi tidak membatasi dirinya hanya pada kelompok umat Buddha. Justru sebaliknya, sekitar 70% donatur dan relawan aktif di Tzu Chi berasal dari kalangan non-Buddhis,” jelas Hong Tjhin. Ini menunjukkan bahwa semangat membantu sesama dan cinta kasih adalah nilai universal yang mampu menyatukan perbedaan.

Salah satu pendekatan unik yang diterapkan oleh Tzu Chi adalah mendorong partisipasi aktif dari para donatur. Tak sekadar menyumbangkan dana, mereka diajak terlibat langsung dalam proses penyaluran bantuan. Dengan cara ini, para donatur tidak hanya melihat ke mana bantuan mereka pergi, tetapi juga merasakan secara langsung dampaknya. “Mereka (donatur) menjadi bagian dari proses, bukan sekadar penyumbang pasif,” jelas Hong Tjhin. Menurutnya inilah cara terbaik untuk memastikan bahwa bantuan tidak hanya tepat sasaran, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan empati lintas golongan.

Perwakilan Filantropi Indonesia memberikan penghargaan kepada para pembicara yang telah berkontribusi dalam membagikan gagasan dan praktik baik filantropi lintas iman untuk pembangunan berkelanjutan.

Lebih dari sekadar kegiatan amal, filantropi lintas iman juga memiliki peran strategis dalam memperkuat kohesi sosial, terutama di negara seperti Indonesia yang kaya akan keberagaman. Dalam berbagai situasi darurat, seperti saat bencana alam atau pandemi COVID-19, Tzu Chi telah terbukti menjadi salah satu organisasi yang cepat tanggap, bekerja sama dengan berbagai kelompok keagamaan. Dalam situasi-situasi seperti ini, agama bukan menjadi batas, tetapi justru jembatan untuk kolaborasi.

Namun, menurut Hong Tjhin praktik baik ini tidak lepas dari tantangan. Salah satunya adalah kebutuhan untuk membangun platform kolaboratif lintas iman yang lebih terstruktur. “Saat ini, kerja sama antar organisasi keagamaan masih banyak yang bersifat bilateral atau berbasis inisiatif spontan, diperlukan wadah resmi yang bisa mempertemukan berbagai komunitas lintas iman untuk merancang dan mengimplementasikan program bersama misalnya dalam pembangunan rumah tidak layak huni, penyediaan air bersih, pembangunan ekonomi lokal, dan lainnya,” harap Hong Tjhin.

Inisiatif seperti ini tidak hanya menunjukkan solidaritas, tetapi juga menjadi contoh konkret bagaimana nilai-nilai spiritual dapat diterjemahkan ke dalam aksi nyata untuk pembangunan berkelanjutan. Di sinilah harapan muncul agar organisasi-organisasi seperti Filantropi Indonesia dapat mengambil peran sebagai penghubung dan penggerak, menciptakan ekosistem yang mendukung kolaborasi lintas iman secara sistematis.

Pada akhirnya, filantropi lintas iman bukan sekadar pilihan strategi, melainkan sebuah keniscayaan terutama di Indonesia yang berdiri di atas prinsip Pancasila dan mengakui keragaman sebagai kekuatan. Dalam konteks ini, Yayasan Buddha Tzu Chi menunjukkan bahwa gotong royong tidak harus satu agama, satu suku, atau satu bangsa, melainkan satu semangat: menjadi manusia yang peduli dan mau berbagi.

Para narasumber dan tokoh filantropi foto bersama usai sesi penghargaan di panggung utama FIFest 2025. Para tokoh lintas organisasi menunjukkan komitmen bersama untuk memperkuat peran filantropi dalam menghadapi tantangan global.

Sementara itu pada diskusi yang sama, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, S.Psi, M.Psi, Koordinator Jaringan Nasional Gusdurian menyampaikan pandangannya terhadap kolaborasi filantrofi lintas iman ada tantangannya dan peluang.

Dalam diskusinya, Alissa Wahid menyoroti pentingnya menciptakan ruang-ruang kolaboratif dalam kerja-kerja filantropi lintas iman. Ia mengawali dengan pengamatan bahwa kerja sama dalam satu agama cenderung lebih mudah dilakukan karena adanya kesamaan pandangan, nilai, dan struktur organisasi. “Dalam Islam, meskipun terdapat berbagai organisasi seperti NU, Muhammadiyah, dan lainnya, koordinasi saat terjadi bencana dapat berjalan relatif cepat dan efektif. Hal serupa juga terjadi dalam komunitas Buddha dan Kristen yang memiliki beberapa denominasi internal,” jelas Alissa Wahid.

Namun, Alissa menegaskan bahwa kerja-kerja filantropi lintas iman masih menghadapi banyak pertanyaan mendasar terutama terkait batasan ruang kerja bersama dan sensitivitas teologis. Salah satu contohnya adalah ketika ia melatih para pengelola zakat dan wakaf dari Kementerian Agama. Dalam pelatihan itu, muncul pertanyaan-pertanyaan yang sangat penting mana ruang yang boleh dikerjakan bersama dengan umat lain? Mana yang masih masuk kategori zakat? Mana yang tidak?

Menurut Alissa hal-hal semacam ini perlu edukasi khusus. “Penting untuk menjelaskan dengan terang mana wilayah ibadah yang bersifat eksklusif dan mana yang bersifat sosial yang bisa dikerjakan secara inklusif bersama umat lintas iman. Edukasi semacam ini akan membuka jalan untuk kolaborasi yang lebih produktif, tanpa harus mengorbankan prinsip keyakinan masing-masing,” jelas Allisa.

Stan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dalam pameran FIFest 2025. Perwakilan yayasan menjelaskan program Bebenah Kampung kepada pengunjung. Program ini berfokus pada renovasi 4.000 rumah tidak layak huni sebagai upaya mewujudkan hunian sehat dan masa depan yang berkelanjutan bagi masyarakat prasejahtera.

Lebih jauh, Alissa menekankan bahwa kerja-kerja lintas iman membutuhkan kapasitas khusus dalam hal networking dan koordinasi. Ia mencontohkan bagaimana pada masa pandemi COVID-19, berbagai kelompok agama sebenarnya sudah menunjukkan solidaritas. “Gereja mengumpulkan bantuan, santri bergerak, lembaga zakat seperti LAZISNU dan LAZISMU pun turut mengambil peran. Namun, tantangannya adalah bagaimana menghubungkan semua inisiatif itu dalam satu jaringan kerja bersama,” tutur Alissa.

Dalam hal ini, kemampuan membangun jejaring lintas iman yang terstruktur dan berkelanjutan menjadi sangat krusial. Alissa berharap adanya pelatihan, komunikasi terbuka, dan pemahaman lintas perspektif agar kerja sama tidak hanya terjadi dalam situasi darurat, tetapi juga bisa menjadi bagian dari pembangunan sosial yang berkelanjutan.

Yayasan Buddha Tzu Chi, yang berlandaskan ajaran Buddha, menjalankan filantropi lintas iman dengan berfokus pada upaya kemanusiaan yang universal, seperti bantuan medis (kesehatan), bantuan bencana, dan pendidikan, tanpa memandang agama. Tzu Chi memandang semua orang sebagai sesama dan mewujudkan welas asih melalui tindakan nyata, bukan hanya melalui ajaran agama.

Dengan kata lain, Tzu Chi tidak membatasi filantropinya pada komunitas Buddha, tetapi memperluasnya ke seluruh dunia, menjangkau mereka yang membutuhkan bantuan tanpa melihat latar belakangnya. Dalam konteks sosial yang beragam, terdapat satu kegiatan yang sepenuhnya dilandasi oleh semangat untuk saling membantu, bukan hanya untuk jangka waktu sementara, tetapi juga dengan tujuan membangun dan memberdayakan.

Editor: Arimami Suryo A

Artikel Terkait

Kolaborasi Bank Mandiri dan Tzu Chi: Kartu Kredit Donasi dan Filantropi Digital di Livin'

Kolaborasi Bank Mandiri dan Tzu Chi: Kartu Kredit Donasi dan Filantropi Digital di Livin'

29 November 2024

Tzu Chi Indonesia dan Bank Mandiri resmi menandatangani nota kesepahaman (MoU) mencakup kerja sama special design kartu kredit dan launching donasi Livin’ Sukha by Mandiri.

Tzu Chi Indonesia Menjadi Tuan Rumah Rapat Umum Perhimpunan Filantropi Indonesia

Tzu Chi Indonesia Menjadi Tuan Rumah Rapat Umum Perhimpunan Filantropi Indonesia

02 Mei 2024

Rapat Umum Anggota Perhimpunan Filantropi Indonesia dilaksanakan pada Selasa, 30 April 2024 di Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara. Kegiatan ini diikuti oleh 141 anggota.

Menguatkan Peran Filantropi Lintas Iman demi Pembangunan yang Inklusif dan Berkelanjutan

Menguatkan Peran Filantropi Lintas Iman demi Pembangunan yang Inklusif dan Berkelanjutan

08 Agustus 2025

Indonesia Philanthropy Festival (FIFest) 2025 sukses mempertemukan para tokoh dan organisasi filantropi dari berbagai latar belakang untuk memperkuat kerja sama lintas iman dan sektor.

Bila kita selalu berbaik hati, maka setiap hari adalah hari yang baik.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -