Henny mengajak setiap orang membuka ruang syukur dan mengekspresikan cinta melalui tulisan serta karya sederhana yang lahir dari ketulusan hati.
Setangkai bunga dari handuk kecil, selembar surat tulisan tangan, dan kisah tentang niat tulus yang mampu melampaui batas. Sekilas tak ada yang tampak istimewa. Namun pada Minggu pagi, 7 Desember 2025, ketiganya menjelma jadi jembatan yang menghubungkan banyak hati di Basement Gedung DAAI, Tzu Chi Center, PIK.
Sejak pukul delapan pagi, para relawan telah hadir lebih dahulu. Kursi dan meja ditata melingkar, meninggalkan susunan formal yang biasa dijumpai. Ketika satu per satu penerima bantuan khusus jangka panjang mulai berdatangan dan duduk saling berhadapan di meja bundar, ruang pertemuan perlahan berubah jadi tempat yang lebih dekat, hangat, dan bersahabat.
Sebanyak 82 penerima bantuan bersama 31 relawan komunitas He Qi Pluit berkumpul, menghidupkan tema Bersyukur Atas Cinta, Berbagi dalam Kebahagiaan sebagai benang merah yang merajut senyum, air mata, dan cerita yang hadir sepanjang kegiatan.
Keheningan mulai terasa saat video Master Cheng Yen Bercerita: Putri yang Berbakti diputar. Riuh percakapan mereda, berganti perhatian yang tertuju pada layar. Dalam kisah tentang seorang putri yang tulus merawat ayahnya yang sakit dan miskin, peserta diajak menyelami makna bakti yang tak menuntut balasan. Meski tak mampu pergi ke wihara, sang putri tetap bersujud tiap hari menghadap ke arah wihara, menjaga niat suci dengan kesetiaan yang sunyi.
Seluruh peserta mengangkat bungkusan berisi selembar surat yang telah ditulisi dan handuk kecil yang telah dirangkai menjadi setangkai bunga.
Master Cheng Yen mengingatkan bahwa ketulusan yang dirawat dari hari ke hari mampu menjangkau para Buddha dan Bodhisatwa, bahkan seluruh alam semesta. Pesan ini mengajak setiap hati untuk menjaga pikiran, memurnikan niat, serta menumbuhkan hormat kepada langit dan kasih kepada bumi. Perayaan Hari Ibu pun terasa sebagai ajakan untuk kembali menengok cinta yang hidup dalam keseharian.
Seiring suasana yang kian hangat, perhatian peserta beralih ke meja-meja yang telah dipenuhi bahan prakarya. Handuk kecil dilipat dan digulung dengan telaten, perlahan membentuk setangkai bunga sederhana. Di sampingnya, selembar kertas mungil diletakkan, seakan menanti kejujuran yang selama ini tersimpan rapi di dalam hati.
Pada momen ini, Henny mengajak peserta berhenti sejenak dan menengok ke dalam diri melalui pertanyaan sederhana, “Apa momen paling berkesan sepanjang tahun ini?” Pertanyaan yang tampak ringan tersebut membuka pintu kenangan. Pena mulai bergerak perlahan, merangkai rasa syukur, terima kasih, cinta, dan permohonan maaf yang lama tertahan.
Setiap kartu ditujukan kepada sosok yang berbeda, mulai dari orang tua, pasangan, anak, saudara, hingga relawan yang selama ini hadir tanpa pamrih. Dalam setiap lipatan handuk yang menjelma menjadi bunga, tersimpan keberanian untuk mengungkapkan perasaan yang jarang terucap. Setiap huruf memuat cerita yang mungkin tak dibacakan dengan suara, namun getarnya dapat dirasakan oleh siapa pun yang menerimanya.
Cinta Mengalir Lewat Pena, Syukur terbentuk Lewat Karya
Getaran emosi terasa nyata ketika beberapa peserta mulai membagikan isi hati. Dengan suara bergetar, Winarti membacakan ucapannya untuk insan Tzu Chi. “Terima kasih, saya selalu bersyukur. Semoga insan Tzu Chi selalu sehat. Buah durian memang manis, tetapi insan Tzu Chi lebih manis.” Kalimat sederhana tersebut mengundang senyum dan tawa hangat, seolah beban yang lama dipendam ikut luruh bersama kata-kata tulus.
Winarti (kiri) membacakan tulisannya yang ditujukan kepada insan Tzu Chi. Ucapan syukur yang disampaikannya diselingi kalimat hangat dan jenaka, mengundang senyum serta tawa ringan.
Di meja lain, Sumarni memegang bunga hasil karyanya dengan penuh perasaan. Ia mempersembahkannya untuk sang suami, pendamping setia dalam berbagai keadaan. “Bunga ini untuk suami saya, yang selalu ada, menjaga, mengantarkan saya berobat, dan mencintai saya apa adanya. Terima kasih, suamiku.” Ucapan singkat itu lahir dari perjalanan hidup yang dilalui bersama.
Kisah lain datang dari Riana Kumala (55), yang akrab disapa Elis. Dengan tangan yang pernah lumpuh akibat stroke, ia kini mampu menulis kembali. Surat tersebut ditujukan kepada sang ibu, Kitty, yang telah berusia 86 tahun.
“Dear Mama, Elis berterima kasih atas kasih sayang Mama sampai saat ini, yang Elis tidak bisa membayar. Elis minta ampun kalau Elis suka mengecewakan Mama. Elis hanya bisa berdoa agar Mama sehat dan panjang umur. Mama adalah orang yang paling sempurna di mata Elis. Peluk cium mesra dari Elis. I love you, Mama.”
Ketika Elis menuliskan kalimat “I love you, Mama”, tersimpan perjalanan panjang sejak pandemi COVID-19 mengubah hidupnya. Dari perempuan aktif dan mandiri, ia harus belajar kembali menggenggam pena. Tulisan itu menjadi penanda kemenangan kecil yang sarat air mata dan harapan.
Sutjianto, suami dari salah seorang penerima bantuan, memperlihatkan hasil karyanya dengan wajah penuh ketulusan.
Keceriaan juga terpancar dari keluarga kecil Adeena. Sang ayah, Adam, dan ibunya, Lana, saling menuliskan ungkapan cinta, menghadirkan suasana hangat yang sederhana namun bermakna. Sementara itu, Sutjianto menorehkan aksara Mandarin 安康吉祥 yang bermakna sehat dan sejahtera, sebagai doa tulus bagi siapa pun yang membacanya.
Gan En di Hati, Sukacita di Setiap Langkah
Henny menjelaskan bahwa pertemuan kali ini dirancang dengan pendekatan yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Jika sebelumnya perayaan Hari Ibu diisi dengan sesi penuangan teh, kali ini ruang dibuka lebih luas untuk menumbuhkan rasa syukur dan kebersamaan. Meja bundar dipilih agar setiap orang dapat saling menatap, berbagi cerita, dan merasakan kedekatan tanpa jarak.
Di tengah proses menulis ucapan dan merangkai bunga dari handuk kecil, suasana kerap berubah hening. Beberapa peserta meneteskan air mata. Ada kenangan tentang orang tua, tentang pasangan yang setia menemani dalam suka dan duka, juga tentang para relawan yang selama ini hadir tanpa pamrih.
“Jujur saya terharu,” ungkap Henny. “Karena saya melihat sendiri bagaimana tulisan kecil dan bunga sederhana ini menggugah hati mereka. Gan En di hati, sukacita di setiap langkah, itulah yang benar-benar terjadi hari ini.”
Mimi menyerahkan bingkisan Hari Raya kepada penerima bantuan yang merayakan Natal. Bingkisan ini disampaikan sebagai ungkapan perhatian dan kepedulian, dalam suasana kebersamaan yang hangat dan penuh syukur.
Hoklay menambahkan bahwa bakti dan dedikasi orang tua sering kali baru disadari ketika waktu telah berjalan jauh. “Cinta kasih harus sering diungkapkan dengan kata-kata dan tindakan. Hari ini, kita membuat persembahan kecil untuk orang yang kita sayangi. Itu tindakan yang menghangatkan hati.”
Ia juga menyampaikan kebahagiaan para relawan yang terlibat. “Kami sudah sangat bahagia bisa bersumbangsih di Tzu Chi. Dan yang membuat kami semakin bahagia adalah ketika kami merasa diterima sebagai keluarga oleh Bapak dan Ibu semua.”
Hari yang Menghangatkan Hati
Kebersamaan kian terasa ketika beberapa penerima bantuan melantunkan lagu Selalu Ada di Nadimu. Suaranya mengalir apa adanya, membawa para peserta menyusuri kenangan dan rasa syukur yang selama ini tersimpan diam.
Didampingi relawan, dua penerima bantuan melantunkan lagu Selalu Ada di Nadimu.
Lagu dari soundtrack film Jumbo ini mengisahkan cinta seorang ibu yang abadi, hadir melalui doa, harapan, serta kekuatan yang senantiasa menyertai langkah anaknya.
Pertemuan sederhana ini meninggalkan satu pelajaran yang dalam. Kebahagiaan tidak selalu datang dalam wujud besar dan meriah. Ia kerap hadir melalui kata-kata yang tulus, bunga buatan tangan, atau perhatian yang diberikan sepenuh hati.
Seperti yang kerap diajarkan Master Cheng Yen, “Selama ada cinta di hati, setiap langkah menjadi berkah.”
Pagi itu, di basement Gedung DAAI, setiap langkah benar-benar terasa hangat, tulus, dan penuh sukacita.
Editor: Khusnul Khotimah