Susi (tengah) bersama teman-temannya di jam istirahat rumah sakit. Mereka saling berbagi kisah, tawa, dan semangat satu sama lain. Di tengah padatnya tugas sebagai perawat, momen sederhana seperti ini menjadi ruang kecil untuk menguatkan hati dan menjaga semangat pelayanan dengan kasih.
Tahun 2014 menjadi kenangan yang tak pernah pudar bagi Susi. Saat itu, Tzu Chi Singkawang mengadakan baksos kesehatan gratis di Desa Caokng, Mempawah Hulu, Landak, Kalimantan Barat. Ia datang bersama warga kampung yang ingin memeriksakan kesehatan.
“Saya waktu itu ikut periksa gigi,” kisah Susi. “Ada dokter gigi dan perawat yang dampingi. Untuk mencairkan suasananya, dokternya periksa sambil tanya-tanya, ‘Kamu cita-citanya mau jadi apa?’ Saya jawab, ‘nggak tahu, Dok.’ Lalu dokter itu bilang, ‘Kenapa nggak jadi perawat saja? Pekerjaannya mulia, loh.’”
Kalimat singkat itu tertanam kuat di hatinya. ‘Masa iya sih perawat pekerjaan mulia?’ pikirnya. Setelah itu, ia mulai memperhatikan bagaimana para perawat bekerja: sabar, lembut, dan tulus. Seusai kegiatan, ia pulang dan langsung berkata pada orang tuanya, “Ma, boleh nggak nanti kalau besar aku jadi perawat?” Mamanya menjawab lembut, “Kalau memang kamu mau, ya silakan.”
Hari itu, di tengah baksos sederhana di pelosok desa, benih cita-cita tumbuh. Benih itu tumbuh bersama rasa kagum dan tekad untuk suatu hari kelak menjadi perawat yang bisa membantu orang lain seperti mereka yang ia temui di baksos Tzu Chi.
Susi (tengah, berkemeja putih) ketika masih di kampung halamannya di Dusun Pakan, Desa Caokng. Susi tampak mendengarkan sosialisasi tentang kegiatan Tzu Chi bersama beberapa keluarga desa. Dari pertemuan sederhana inilah benih cinta kasih dan cita-citanya untuk menjadi perawat mulai tumbuh.
Naik Bukit Demi Sinyal dan Harapan
Kehidupan di kampung tidak mudah saat itu. Jarak ke pasar jauh, listrik kerap padam dua sampai tiga hari, dan sinyal telepon hampir tidak ada. Saat pandemi datang, situasi menjadi lebih sulit.
“Sebenarnya pas SMA saya sekolah agak jauh dari rumah, tapi pas pandemi itu semua sekolah menjadi online. Jadi kalau saya ikut kelas online, harus naik bukit dulu,” kenang Susi. “Sekitar dua sampai tiga kilometer dari rumah, jalan kaki. Kadang pagi naik, siang turun lagi. Kalau sinyalnya hilang, ya tunggu sampai muncul lagi.”
Namun, ia tak menyerah. Dengan tekun, ia menyelesaikan sekolah menengahnya. Hingga suatu hari, ia mendengar kabar tentang beasiswa Tzu Chi dan kampus keperawatan mitra Tzu Chi, Andalusia. Harapan pun tumbuh kembali.
Mengecek berbagai info penting pun ia lakukan seperti jadwal meminum obat, tiga kali sehari. Pagi ia ke bukit, siang ke bukit, dan sore ke bukit, demi mencari sinyal agar tak ketinggalan informasi penting tentang cita-citanya.
Merantau ke Jakarta, Susi (depan, ketiga dari kiri) menempuh pendidikan di Akademi Keperawatan Andalusia. Setiap hari ia membagi waktu antara kuliah dan bekerja, menjalani hari-hari penuh perjuangan dengan keyakinan bahwa setiap langkah kecilnya mendekatkannya pada cita-cita.
Susi datang ke Jakarta dengan harapan besar untuk mendapatkan beasiswa Tzu Chi. Namun, takdir berkata lain. “Pas pengumuman, saya nggak keterima,” ujarnya lirih. “Sempat sedih banget. Rasanya pengin pulang aja.”
Tetapi semesta seperti memberi jalan lain. Kampus Andalusia membuka kesempatan bagi mahasiswa yang ingin kuliah sambil bekerja. Kesempatan itu ia manfaatkan sebaik mungkin. Sebagai anak kedua dari empat bersaudara, Susi tak ingin memberatkan perekonomian keluarga. Ayah dan ibunya adalah petani di kampung, sementara dua adiknya yang masih kecil juga butuh biaya sekolah.
Ia memutar otak, bagaimana bisa tetap tangguh di Jakarta, menempuh pendidikan sekaligus mencari biaya untuk hidup dan kuliah.
Susi mulai bekerja sebagai home care, mengurus rumah, dan merawat lansia. Beberapa bulan kemudian, ia pindah ke salah satu yayasan pendidikan Katolik dan mendapat tugas mendampingi anak berkebutuhan khusus.
“Awalnya kaget, karena nggak tahu harus bagaimana,” kenangnya. “Tapi lama-lama belajar sabar, belajar memahami. Mereka bukan untuk dikasihani, tapi didampingi.”
Walau berat menjalani keduanya, kala itu Susi tak menyerah. “Kalau pasrah, ya saya nggak akan jadi apa-apa. Saya ingin membuktikan bahwa saya mampu. Orang tua saya juga mampu memberikan dukungan dan doa untuk saya. Saya ingin mengangkat derajat keluarga saya,” tuturnya semangat.
Di sela kesibukan, Susi tetap aktif mengikuti berbagai kegiatan kerelawanan, termasuk pelestarian lingkungan bersama muda-mudi Tzu Chi (Tzu Ching).
Kembali Berjodoh dengan Tzu Chi
Waktu berlalu. Kampus Andalusia kemudian bekerja sama dengan Tzu Chi Hospital (TCH). Melalui kegiatan kampus, Susi sering mengikuti kegiatan relawan Tzu Chi. Ia pun merasa seolah kembali ke rumah lama yang pernah menumbuhkan cita-citanya.
“Rasanya senang banget. Yang dulu belum berjodoh sama beasiswa, ternyata berjodoh lewat jalan lain,” katanya sambil tersenyum.
Susi bersama Ners Educator dan rekan-rekannya mempersiapkan diri sebelum memeriksa pasien. Persiapan sederhana ini menjadi bagian penting dari dedikasi mereka dalam memberikan pelayanan terbaik dengan ketulusan, profesionalisme, dan semangat welas asih.
Susi mendapat kesempatan magang di Tzu Chi Hospital, lalu diterima bekerja sebagai perawat rawat jalan (OPD) di lantai 6. Kini, setiap hari ia membantu pasien dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
“Senang banget! Nggak pernah kepikiran. Karena dulu sempat putus asa juga dan berjuang bisa kuliah sendiri. Tentu bahagianya dobel karena akhirnya sesuai cita-cita, saya bisa diterima kerja di Tzu Chi Hospital sebagai perawat.”
“Menjadi perawat itu memang capek,” ucapnya. “Tapi kalau lihat pasien sembuh dan merasa nyaman, rasanya bahagia banget. Ada kepuasan yang nggak bisa diganti.”
Rindu yang Disimpan Sepadan dengan Harapan yang Ditanam
Sudah tiga tahun Susi merantau di Jakarta. Ia belum pernah pulang ke kampung halaman. “Saya punya prinsip, pulang kalau sudah sukses,” katanya pelan. “Biar orang tua bangga. Kalau saya sukses, saya yang bawa mereka ke sini.”
Dari kejauhan, ia tetap menjaga komunikasi lewat telepon. Orang tuanya selalu memberi dukungan. “Mereka cuma bilang, semangat terus. Jangan menyerah. Itu yang bikin saya kuat.”
Susi (depan) kini bertugas sebagai perawat rawat jalan (OPD) di lantai 6 Tzu Chi Hospital. Dengan senyum hangat dan hati yang tulus, ia melayani setiap pasien yang datang.
Suatu hari nanti, Susi bermimpi ingin kembali ke kampung halamannya untuk sedikit mendermakan apa yang ia dapat dari perantauan membangun klinik kecil agar warga di sana tak perlu menempuh jarak yang sangat jauh hanya untuk berobat.
“Biar orang kampung saya bisa periksa kesehatan tanpa harus berjam-jam naik kendaraan dulu,” ucapnya sambil tersenyum hangat.
Kini, setiap kali melangkah di koridor rumah sakit, Susi tahu bahwa perjuangannya tidak sia-sia.
Dari bukit tanpa sinyal itu, ternyata telah membawanya menemukan sinyal kehidupan sinyal kebaikan, sinyal welas asih yang terus ia bawa.
Sungguh masih terngiang suara dokter yang menerbangkan cita-citanya amat tinggi: menjadi perawat, yang akan terus ia kenang. “Sungguh saya berterima kasih,” katanya mantap.
Editor: Anand Yahya