Mengubah Arah Hidup dengan Pandangan dan Keyakinan Yang Benar

Jurnalis : Elin Juwita (Tzu Chi Tebing Tinggi), Fotografer : Erik Wardi, Henny (Tzu Chi Tebing Tinggi)


Sebanyak 24 relawan membawa persembahan pelita, bunga, dan buah dengan tulus dan hormat yang diiringi dengan lagu Pendupaan dimana pelita melambangkan penerangan batin, bunga melambangkan ketidakkekalan, dan buah melambangkan buah karma (perbuatan).

Bulan Tujuh Imlek adalah bulan penuh berkah, bulan bersukacita, dan bulan berbakti pada orang tua. Inilah yang terus diserukan relawan Tzu Chi Tebing Tinggi kepada masyarakat luas untuk mengubah pandangan keliru (takhayul) ke pandangan yang benar. Tradisi membakar kertas sembahyang atau memberi persembahan berupa makanan daging hewan sering dijumpai dalam budaya masyarakat etnis Tionghoa karena adanya pandangan yang keliru tentang makna Bulan Tujuh.

Masyarakat memandang Bulan Tujuh sebagai bulan yang tidak baik untuk melakukan apapun sehingga banyak pantangan yang harus dijalankan. Namun dalam Ajaran Buddha tidaklah demikian. Dalam ceramahnya Master Cheng Yen mengatakan bahwa makna dari Upacara Ulambana adalah menyelamatkan makhluk yang menderita. Oleh karena itu Tzu Chi Tebing Tinggi mengadakan Kegiatan Bulan Tujuh Penuh Berkah pada hari Minggu, 25 Agustus 2019 di Kantor Penghubung Tzu Chi Tebing Tinggi dengan harapan bisa mengajak masyarakat untuk kembali memiliki pandangan yang benar tentang makna Bulan Tujuh Penuh Berkah.

 

relawan penyelam Dharma dan  Bodhisatwa Cilik Kelas Bimbingan Budi Pekerti menampilkan bahasa isyarat tangan Sutra Makna Tanpa Batas,  Bab Sifat Luhur Bodhisatwa”.

Kegiatan ini dihadiri oleh tiga orang anggota Sangha, seorang suster dan Pastor dari Panti Rehabilitasi Harapan Jaya Pematang Siantar dan juga 327 tamu undangan. Tampak beragam keharmonisan yang tercipta. “Saya tergerak untuk ikut menghadiri acara ini karena saya melihat kepedulian relawan yang selama ini bekerja sama dengan Harapan Jaya. Tzu Chi saya lihat sangat peduli dengan kemanusiaan dan kebaikan karena itulah yang diinginkan oleh Tuhan supaya semua baik adanya,” kata Pastor Guido Situmorang. Menurut Pastor Guido Situmorang,  apa yang diajarkan Buddha mirip dengan yang diajarkan dalam agama Kristen, sama-sama mengajarkan kemanusiaan dan pertobatan.  “Contoh nyatanya tadi saya menyaksikan dua saudara kita yang baru keluar dari Lapas bisa bertobat karena pendampingan relawan. Jadi mereka bisa mengubah pandangan mereka ke arah kebaikan dan berjanji akan lebih baik menjalani kehidupan. Ini luar biasa,” tegasnya.

Acara dimulai dengan penampilan Genderang dan Gentha (Zhong Gu) dari relawan Tebing Tinggi dan Bodhisatwa Cilik Kelas Budi Pekerti dengan lagu 12 Ikrar Bhaisayjaguru. Kemudian sebanyak 24 relawan membawa persembahan pelita, bunga, dan buah dengan tulus dan hormat yang diiringi dengan lagu Pendupaan.

Bertobat dari Masa Lalu yang Kelam
Sesi yang paling mengharukan dari acara ini adalah sesi sharing dan pertobatan yang dilakukan seorang mantan narapidana, Aliang Shixiong di hadapan tamu undangan dan juga kedua orang tuanya. Aliang yang baru menghirup udara bebas sekitar dua bulan lalu merasa sangat bersyukur bisa berjodoh dengan Tzu Chi karena berkat pendampingan relawan ia menemukan jalan yang terang bagi kehidupannya.

 

Aliang, seorang mantan narapidana menyampaikan pertobatannya di hadapan tamu undangan dan juga kedua orangtuanya. Aliang secara tulus juga meminta maaf kepada kedua orangtuanya serta berjanji akan senantiasa berjalan di jalan yang benar dan berbakti kepada mereka.

Aliang dulu terjerumus dalam Narkoba. Pergaulan yang salah membuatnya merasakan kehidupan yang dingin dan menderita di dalam penjara. Sudah empat kali Aliang keluar-masuk penjara. Dalam sharingnya Aliang menceritakan bagaimana menderitanya di dalam penjara, bahkan untuk makan saja susah. Di dalam penjara juga batinnya selalu bergejolak karena harus menerima akibat dari perbuatan buruknya itu. Bahkan keluarganya tidak mau menerimanya kembali karena kesalahan yang berulang-ulang dilakukannya. Pada saat pertama kali dipenjara, Aliang telah berjanji kepada kedua orangtuanya untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Akan tetapi setelah bebas, ia lupa dengan janjinya. Orang tua Aliang bahkan sempat memutuskan hubungan dengannya dengan mengumumkannya melalui surat kabar. Tindakan Aliang sangat menyakiti hati kedua orang tuanya.

Pada saat Alian dipenjara untuk keempat kalinya, dalam batinnya timbul pergolakan yang hebat. Ia tahu jalan yang ia tempuh salah, tetapi tidak ada yang mampu membimbing dan mengarahkannya. Ia ibarat berjalan di lorong yang gelap tanpa ada penerang yang bisa menuntun jalannya. Pada saat itu, di Lapas Medan ada sebuah wihara dan di sana ia melafalkan nama Namo Amitofo sebanyak 1.000 kali dalam satu hari.

 

Sebanyak 24 relawan membawa persembahan pelita, bunga, dan buah dengan tulus dan hormat yang diiringi dengan lagu Pendupaan dimana pelita melambangkan penerangan batin, bunga melambangkan ketidakkekalan, dan buah melambangkan buah karma (perbuatan).

Suatu hari, Aliang terpanggil untuk dikirim ke Lapas Tebing Tinggi. Di Lapas Tebing Tinggi inilah jodoh beliau dengan Tzu Chi dimulai. Tzu Chi Tebing Tinggi yang saat itu mendirikan cetiya untuk warga binaan yang beragama Buddhis mempertemukan Aliang dengan relawan Tzu Chi. Relawan yang setiap minggu memberikan bimbingan di Lapas seakan memberikan angin segar bagi Aliang.

Saat bertemu Wardi, salah seorang relawan Tzu Chi, Aliang menanyakan alamat Kantor Tzu Chi Tebing Tinggi dan nomor telepon Wardi. Wardi juga berpesan kalau Aliang bebas untuk tidak lupa menghubunginya. Seminggu sebelum bebas, yang dirasakan Aliang bukan kebahagiaan, tetapi kerisauan batin. Ia bingung setelah bebas akan kemana dan siapa yang akan menerimanya. Apalagi teman-teman lamanya mengajaknya kembali ke dunia hitam. Dalam kebimbangannya, Aliang menghubungi Wardi dan pada saat hari kebebasannya, relawan pergi menjemput Aliang. Pada saat keluar Lapas Aliang hanya membawa satu baju yang melekat di tubuhnya dan satu bungkusan plastik berisi buku-buku Dharma yang dibawakan relawan. Itulah harta satu-satunya yang berharga. Setelah bebas, relawan terus melakukan pendampingan. Setiap ada kegiatan relawan selalu mengajaknya, seperti daur ulang, bedah buku, Xun Fa Xiang, dan juga acara bulan tujuh ini.

 

Di akhir kegiatan, para tamu undangan dituntun oleh relawan untuk maju ke depan altar untuk berdoa bersama dengan hati yang tulus.

Hal yang paling membahagiakan Aliang adalah ia memperoleh kesempatan untuk bertobat di hadapan kedua orang tuanya. Sebelum bebas, relawan menghubungi kedua orang tua Aliang dan memohon kepada orang tuanya untuk membuka pintu maaf bagi putranya. Kedua orang tua Aliang juga menyambut baik. Mereka mau memaafkan dan menerima kembali Aliang.

Dalam kesempatan ini Aliang mengakui segala kesalahan yang pernah dilakukannya. Rasa haru dirasakan tamu undangan yang merasakan ketulusan Aliang ketika meminta maaf dan mendoakan kedua orangtuanya diberi umur yang panjang sehingga ia masih ada kesempatan untuk berbakti kepada mereka. Kedua orangtua Aliang tersentuh dan menangis melihat perubahan dalam diri putranya. “Saya bangga sekali anak saya bisa dibimbing oleh Tzu Chi dan malam ini anak saya ingin melakukan pertobatan maka saya selaku orangtua hari ini datang untuk mendukung dan memberinya semangat,” kata Oerip Wibowo, orang tua Aliang.

Dengan haru Oerip mengatakan jika putranya sudah jauh lebih baik. “Tzu Chi sudah mau menerima dan membimbing anak saya. Saya sebagai orang tua kenapa tidak bisa membuka pintu maaf untuk anak saya. Saya juga melihat anak saya selama satu bulan ini sudah banyak berubah dan anak saya bisa berbicara Dharma. Itu yang saya banggakan. Harapan saya ke depannya bisa berjalan berdampingan dengan anak saya,” kata Oerip lagi.

Editor: Hadi Pranoto


Artikel Terkait

Bulan Tujuh Penuh Berkah: Pekan Amal Tzu Chi untuk Warga Desa Cengklong

Bulan Tujuh Penuh Berkah: Pekan Amal Tzu Chi untuk Warga Desa Cengklong

19 Agustus 2022

Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI ke-77, relawan Tzu Chi di He Qi Barat 1 mengadakan acara Pekan Amal yang menjual pakaian sangat layak pakai di dua lokasi, yaitu di Vihara Kham Sie Bio, dan di Klenteng Hok Tek Cen Sen, Kabupaten Tangerang.

Menyambut Bulan Tujuh Penuh Berkah dengan Makanan Vegan Catering Rumahan

Menyambut Bulan Tujuh Penuh Berkah dengan Makanan Vegan Catering Rumahan

11 Agustus 2022

Relawan Tzu Chi komunitas He Qi Timur membuka vegan catering selama dua minggu sejak 1-12 Agustus 2022. Setiap harinya dengan menu-menu vegan yang disajikan bervariasi.

Memperingati Bulan Tujuh Penuh Berkah, yang Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI

Memperingati Bulan Tujuh Penuh Berkah, yang Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI

18 Agustus 2021
Dalam rangka Bulan Tujuh Penuh Berkah yang bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI, relawan Tzu Chi di Komunitas He Qi Pusat memasak nasi tumpeng mini bernuansa 17 Agustus-an.
Dengan keyakinan yang benar, perjalanan hidup seseorang tidak akan menyimpang.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -