Sabar ditemani relawan Tzu Chi menunggu giliran dipanggil ke ruang operasi di Bakti Sosial Kesehatan Tzu Chi di RSUD dr. Tengku Mansyur, Tanjungbalai, Sabtu 3 Mei 2025.
Saat mengetahui bayinya terlahir dengan bibir sumbing, Gustina menamainya Sabar, Sabar Andre Christian. Ia berharap anaknya tumbuh menjadi pribadi yang sabar, terutama saat menghadapi ejekan dari teman-temannya kelak. Doa itu terkabul, Sabar tumbuh menjadi anak yang sabar.
“Di sekolah diejek dia, jelek jelek.. makanya kalau pulang sekolah,‘Mak operasi lah ini Mak.. diejek-ejek orang aku..” cerita Gustina saat mengantar Sabar mengikuti Bakti Sosial Kesehatan Tzu Chi ke-148, di RSUD dr. Tengku Mansyur, Tanjungbalai, Sabtu 3 Mei 2025.
Walau hatinya terluka, Sabar tak pernah hilang semangat. Itu juga yang membuat guru-guru menyayanginya. Bahkan kepala sekolah kerap memperingatkan murid-muridnya.“Jangan anak ini kamu ganggu, ini anak istimewa,” kata Gustina menirukan perkataan kepala sekolah.
Selain menjadi anak yang sabar, Sabar dianugerahi tubuh yang sangat sehat. “Sejak lahir sampai besar, sampai mau dioperasi ini, tak pernah dia sakit. Di antara anakku yang lima, ini paling kuat. Waktu pertama kali dibius, harus dua kali baru mempan,”sambung Gustina.
Para relawan membantu Sabar mengenakan baju operasi.
Ini adalah operasi ke-5 Sabar, sehingga sudah cukup akrab dengan suasana ruang operasi.
Di bakti sosial ini, ada 12 pasien bibir sumbing, mulai dari usia 1,5 tahun hingga 11 tahun. Gustina bersyukur ada bakti sosial Tzu Chi yang digelar di kotanya karena Sabar sangat ingin operasi satu kali lagi, apalagi ini gratis.
“Kalau bayar tak ada awak ini,” tuturnya. Ayah Sabar bekerja sebagai pengantar gas elpiji ke rumah-rumah tetangga.
Gustina langsung mendaftarkan Sabar setelah melihat spanduk Baksos Tzu Chi yang terpajang di jalan. Operasi kali ini merupakan operasi bibir sumbing kelima bagi Sabar, untuk memperbaiki langit-langit mulutnya yang belum tertutup sempurna. Akibat celah di langit-langit, makanan atau minuman kerap keluar melalui hidung saat ia makan atau minum. Karena sudah empat kali operasi, Sabar tak terlalu takut.
“Nama saya Sabar, kelas 1 SD, kalau sudah gede mau jadi polisi. Biar bisa menembak penjahat,” kata Sabar malu-malu. Suaranya lumayan jelas, tak terlalu terdengar sengau. Setelah kaki Sabar dicuci bersih dalam proses sterilisasi, relawan Tzu Chi mempersilahkannya masuk. Gustina turut menemani Sabar saat infus dipasangkan.
Komitmen yang Teguh
Joice (keempat dari kiri) bersama timnya yang solid dan sangat berpengalaman di baksos skala besar Tzu Chi. Pada baksos kali ini jumlah pasien katarak sebanyak 116, pterygium 11, hernia 6, sumbing 12 dan minor atau benjolan 32 pasien.
Banyak sekali momen haru di Ruang OKA yaitu ruang operasi kamar bedah di tiap Baksos Kesehatan Tzu Chi. Ada kesedihan orang tua yang berbalut rasa syukur atas kesempatan membawa anaknya berobat. Ada keberanian anak-anak yang walau sedikit cemas. Ada para dokter dan perawat yang memberi tindakan terbaiknya, ada juga para relawan yang mendukung kelancaran, yang tidak bersifat medis langsung.
Adalah Joice Kuntjoro dan timnya dari Tzu Chi Jakarta, wajah-wajah tak asing yang hampir selalu ada di Ruangan OKA di Baksos Kesehatan Tzu Chi skala besar. “Karena saya sudah berkomitmen pada Tzu Chi International Medical Association (TIMA) Indonesia bahwa setiap baksos, akan turut bersumbangsih. Terutama para relawan dari Jakarta ini yang memang pengalamannya sudah ada untuk membantu membina relawan-relawan lokal sehingga dalam pelaksanaan baksos ini berjalan lancar,” tutur Joice.
Lancar yang ia maksud misalnya dalam pencatatan pasien di Ruang OKA dan penerimaan pasien. Hingga saat ini di tim Joice ada sembilan relawan yang datang bergantian. Kalau ada satu yang tak bisa datang, yang lain bisa
cover.
Pada bakti sosial ini, Joice melihat banyak sekali pasien-pasien yang memang belum ada kesempatan untuk bisa dibawa ke kota besar untuk operasi. Tapi Tzu Chi berusaha untuk menjangkau pasien-pasien tersebut agar terbantu. Joice mengaku sangat salut dengan komunitas relawan Tzu Chi di Tanjung Balai yang sebenarnya masih lumayan kecil namun berani mengadakan suatu pengobatan yang besar.
Repany yang Pemberani 
Repany saat proses sterilisasi kaki sebelum masuk Ruang OKA.
Nurjannah, sang ibu menemani Repany usai dipasangkan selang infus.
Di ruang yang sama, terlihat gadis kecil dengan wajah yang sangat manis. Sama seperti Sabar, Repany duduk di bangku kelas 1 SD. Namun Repany yang tinggal di Provinsi Riau mesti menempuh perjalanan delapan jam untuk sampai di RSUD dr. Tengku Mansyur.
“Pemberani dia, ini operasi yang ke-6. Iya kan anakku?” tutur Nurjannah sang ibu, dengan menatap lembut anaknya. “Repany anak yang baik, rajin sekali bantu orang tua. Dia anak paling muda tapi paling rajin, dua kakaknya malas,” Tambahnya sambil tersenyum.
Menurut Nurjannah sebenarnya operasi di Riau pun bisa, namun ia tak sanggup karena tak bisa menggunakan BPJS. Penghasilan suami sebagai pedagang kecil tak cukup untuk membayar biaya yang puluhan juta rupiah. Ia dan sang suami berharap operasi Repany yang ke-6 ini menjadi yang terakhir karena sangat tak tega pada putrinya itu.
Bibir sumbing adalah kelainan bawaan yang terjadi ketika jaringan di bibir atas tak menyatu sempurna saat janin berkembang dalam kandungan. Kelainan ini bisa berdiri sendiri atau disertai dengan celah langit-langit. Dr. Yantoko, yang menangani operasi bibir sumbing pada baksos ini menjelaskan, untuk kasus bibir sumbing yang simple, biasanya celahnya dekat atau sempit. Sedang yang kompleks celahnya lebar, yang terkadang tak cukup operasi langit-langit satu kali. Biasanya ada komplikasi, seperti celah yang tak mencukupi, sehingga perlu rekonstruksi lanjutan.
Dr. Yantoko mengecek kondisi Repany pascaoperasi, hasilnya bagus.
Repany sudah ceria lagi di ruang pemulihan.
“Celah itu harus ditutup supaya tak ada makanan atau minuman yang masuk dari mulut ke rongga hidung. Juga supaya suara yang ada di hidung tidak masuk ke dalam mulut, udaranya sehingga diharapkan nanti kalau latihan, suaranya akan lebih bagus,” jelas Dr. Yantoko.
Operasi yang dijalani Sabar dan juga Repany bisa menjadi operasi yang terakhir, tergantung perawatan pascaoperasi. “Saat operasi saya lihat sudah bagus. Aproksimasinya bagus, lukanya tidak tension, tapi dalam perawatannya kita tidak tahu nih di rumah. Dalam perawatan itu dietnya harus cair, atau susu selama dua pekan, kemudian selalu minum air putih untuk membilas susu yang diminum supaya lukanya selalu bersih,” tambah Dr. Yantoko mengenai operasi Sabar dan Repany.
Stop Perundungan!
Dr. Yantoko mengecek kondisi Sabar dan memberikan saran-saran terkait perawatan mulut Sabar pascaoperasi.
Pada kesempatan ini Dr. Yantoko juga berharap semua orang mempunyai kesadaran untuk tidak mentolerir sekecil apapun bullying atau perundungan, dalam hal ini pada anak-anak atau orang dengan bibir sumbing. Semua orang justru harus memberikan support pada anak-anak istimewa ini.
“Lingkungan itu harus dididik. Siapa yang mau lahir dalam kondisi sumbing. Tidak ada. Justru anak-anak ini dan keluarganya adalah orang-orang terpilih yang diuji oleh Tuhan sesuai kemampuannya. Mereka mampu, kalau orang normal diuji belum tentu mampu, dia bisa depresi segala macam. Orang-orang ini orang-orang hebat,” pesan Dr. Yantoko.
Esok hari setelah operasi, Dr. Yantoko ditemani perawat dan relawan Tzu Chi menjenguk para pasien bibir sumbing untuk dilihat kondisinya apakah ada pendarahan atau tidak. Sembari memberikan saran terkait perawatan pascaoperasi kepada para orang tua. Mereka pun diizinkan untuk berkemas pulang.
“Terima kasih sudah mengadakan pengobatan bibir sumbing, pelayanannya sangat baik, kami sering ditanya kurang minum kah? kurang apa, lembut-lembut, enggak ada yang kasar, ngomong kasar itu kan yang kadang buat kita sakit hati karena mungkin gratis, tapi ini tidak ada,” kata Nurjannah.
“Pelayanan di baksos ini bagus, kami dikasih susu, dikasih mainan, senang sekali Sabar. Tapi Sabar sudah ingin makan nasi, kan tidak boleh ya.. hahaha,” sambung Gustina.
Editor: Arimami Suryo A