Relawan Tzu Chi Medan Mandala menggelar perayaan Waisak di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Bakung, diikuti oleh sekitar 80 warga dan melibatkan 35 relawan. Perumahan ini dihuni oleh 70 kepala keluarga penyintas kebakaran Gg. Bakung yang terjadi 13 tahun lalu, tepat pada hari ke-15 Imlek.
Setiap tahun pada minggu kedua bulan Mei, insan Tzu Chi memperingati tiga momen istimewa secara bersamaan: Hari Waisak, Hari Ibu Internasional, dan Hari Tzu Chi Sedunia. Ketiganya dirayakan bersama masyarakat sebagai bentuk penghormatan, syukur, dan cinta kasih universal.
Hari Waisak diperingati dengan penuh kekhidmatan untuk mengenang tiga peristiwa agung dalam kehidupan Buddha Sakyamuni: kelahiran, pencapaian Penerangan Sempurna, dan Parinibbana (wafat). Hari Ibu Internasional (11 Mei) menjadi momen untuk mengenang kasih sayang tulus orang tua, sementara Hari Tzu Chi Sedunia (14 Mei) merayakan hari kelahiran Master Cheng Yen sekaligus berdirinya Yayasan Buddha Tzu Chi Internasional—wujud syukur atas budi dan jasa para relawan yang telah bersumbangsih tanpa pamrih bagi sesama.
Para peserta mengikuti prosesi pemandian rupang Buddha dengan tulus dan khusyuk, dimulai dari Li Fo Zu (menyentuh air dan bersujud di kaki Buddha) sebagai simbol syukur dan penghormatan mendalam.
Di Medan, relawan Tzu Chi Medan Mandala turut memaknai hari penuh berkah ini dengan mengadakan perayaan Waisak di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Bakung. Sekitar 80 warga dan 35 relawan mengikuti acara yang berlangsung hangat dan menyentuh hati. Perumahan ini dihuni oleh 70 kepala keluarga penyintas kebakaran hebat yang terjadi di Gg. Bakung, 13 tahun silam. Kala itu, Ketua Yayasan Tzu Chi Medan, Mujianto, menginisiasi pembangunan kembali rumah bagi warga terdampak. Sejak saat itu, jalinan kasih antara relawan dan warga terus terpelihara hingga kini.
Menyatu dalam Prosesi Penuh Makna
Tujuan utama dari kegiatan ini adalah mengajak masyarakat, khususnya siswa sekolah, untuk bersama-sama memperingati Hari Waisak sekaligus mempererat jalinan kebajikan. “Melalui prosesi pemandian rupang Buddha, kami ingin mengenalkan makna mendalam Waisak sebagai perayaan spiritual yang sarat nilai kesadaran, kasih sayang, dan perdamaian,” ujar Laily, koordinator kegiatan.
Sejak pagi, para relawan telah bersiap di lokasi. Meja-meja prosesi ditata rapi, lengkap dengan rupang Buddha, pelita, air, dan bunga—melambangkan penghormatan, kesucian, serta pengingat akan ketidakkekalan hidup.
Laily (kanan) bersama Chairudin Kuslan, Ketua Yayasan Sekolah Putra Bangsa Berbudi, mengikuti prosesi dengan penuh kesungguhan. Semoga berkah Waisak terus menyertai lingkungan pendidikan mereka.
Acara dimulai dengan sambutan hangat dari Roslina Yun selaku pemandu, dilanjutkan pemutaran video kilas balik kegiatan sosial Tzu Chi di Medan. “Dengan rasa hormat dan sukacita, mari kita sambut Hari Waisak 2025 atau 2569 Buddhist Era,” serunya, menandai dimulainya upacara secara resmi.
Prosesi pemandian rupang Buddha berlangsung khidmat. Para peserta mengikuti arahan dengan penuh ketulusan: mulai dari Li Fo Zu (menyentuh air dan bersujud di kaki Buddha), Zi Cheng Fa Yuan (membuat ikrar tulus), hingga Jie Fa Xiang (menerima harumnya Dhamma), dan ditutup dengan Zhu Fu Ji Xiang (berdoa memohon keberkahan dan mengembangkan cinta kasih dalam kehidupan sehari-hari).
Acara juga mengajak peserta bertekad menjalani pola hidup vegetarian, melindungi semua makhluk, dan memutar roda kebajikan demi kedamaian diri, keluarga, dan bumi.
Ketua He Qi Jati, Lim Ik Ju, terharu menyaksikan antusiasme warga dan relawan yang mengikuti prosesi Waisak dengan khidmat dari awal hingga akhir. “Momen Waisak membawa kedamaian dan keharmonisan. Semoga semakin banyak yang berjodoh ikut merayakan di tahun-tahun mendatang,” harapnya.
Suasana haru dan damai terasa menyelimuti acara. Salah satu warga Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Bakung, Alim, mengungkapkan rasa syukurnya, “Acara ini begitu tertib dan menyentuh. Hati terasa tenang. Semoga tahun depan kami bisa merayakan Waisak bersama Tzu Chi lagi.”
Ketua Komunitas Relawan Tzu Chi He Qi Jati, Lim Ik Ju, turut terharu menyaksikan kesungguhan warga. “Waisak membawa pesan damai yang dalam. Semoga semakin banyak yang berjodoh hadir di tahun-tahun mendatang,” harapnya.
Momen Waisak di Sekolah: Berbakti dan Belajar Kasih
Tak hanya di perumahan, perayaan Waisak juga digelar di Sekolah Husni Thamrin dan Sekolah Putra Bangsa Berbudi. Para siswa, guru, dan orang tua mengikuti prosesi dengan penuh antusiasme.
Ratna Dewi, ibu dari Kenjo Claverli, turut hadir dalam perayaan Waisak di sekolah. “Saya sangat terharu saat anak-anak membasuh kaki orang tua. Momen ini mengajarkan pentingnya berbakti dan menghargai jasa orang tua,” ujarnya penuh rasa syukur.
Di Sekolah Husni Thamrin, peringatan Waisak dikolaborasikan dengan perayaan Hari Ibu. Para siswa dengan penuh cinta membasuh kaki ibu mereka, menyuguhkan teh, dan menyuapi kue. Ratna Dewi, orang tua dari Kenjo Claverli, tak kuasa menahan haru. “Momen membasuh kaki sungguh menyentuh. Anak-anak diajarkan untuk selalu ingat jasa orang tua. Terima kasih Tzu Chi,” ujarnya.
Vanshika, siswa kelas 5 sekolah dasar, membagikan pesan sederhana namun tulus, “Ibu adalah segalanya bagiku. Aku mungkin kesal saat dimarahi, tapi aku tahu, itu demi kebaikanku. Terima kasih, Ibu.”
Vanshika, murid kelas 5 SD Husni Thamrin, mengungkapkan kesan mendalam atas perayaan Waisak dan Hari Ibu. “Ibu adalah segalanya. Terima kasih sudah selalu ada dan menyayangiku,” ucapnya tulus.
Chairudin Kuslan, Ketua Yayasan Sekolah Putra Bangsa Berbudi, menyampaikan apresiasinya. “Relawan Tzu Chi telah menjalin jodoh dengan kami sejak sebelum pandemi. Anak-anak kami antusias mengikuti. Semoga jalinan ini terus berlanjut dan langgeng.”
Perayaan Waisak ini menjadi momen refleksi sekaligus pengingat akan pentingnya ketulusan, cinta kasih, dan penghargaan terhadap setiap kehidupan. Mengutip perenungan Master Cheng Yen, “Memperingati Hari Waisak dengan khidmat adalah cara kita membalas budi Buddha, menyerap Dharma ke dalam hati, dan menghimpun kekuatan cinta kasih untuk membawa manfaat bagi semua makhluk.”
Editor: Hadi Pranoto