Ponijo dan Rumah yang Dibangun oleh Kebaikan di Sudut Petarangan

Jurnalis : Anand Yahya, Fotografer : Anand Yahya

Ponijo, Suriyah dan dua orang anaknya kini tinggal di rumah yang nyaman dan sehat. Rumah Ponijo yang berada di Desa Petarangan, Kecamatan Kemrajen, Kabupaten Banyumas satu dari 40 unit rumah yang sedang dalam pengerjaan.

Pagi itu, matahari menyorot lembut dari balik dedaunan pohon-pohon durian di Desa Petarangan, Kecamatan Kemrajen, Kabupaten Banyumas. Angin semilir perlahan, membawa aroma tanah  basah dan embun pedesaan. Dari kejauhan, saya melihat sebuah rumah bercat putih bersih dipadu dengan warna abu-abu dan atap biru. Rumah itu berdiri di tepi jalan kecil yang dikelilingi pepohonan durian dan pohon melinjo. Di teras rumah itu, seorang ibu mengendong balita tersenyum ramah menyambut kedatangan saya.

“Nama saya Suriyah,” katanya sambil menjabat tangan saya erat. Senyum itu tulus, hangat, dan di matanya saya bisa melihat rasa syukur yang begitu dalam.

Dari dalam rumah terdengar ada orang sedang bekerja menyemen dinding rumah. Dia Ponijo (40) salah satu penerima manfaat program renovasi rumah tidak layak huni dari Tzu Chi. Ponijo ikut membantu merenovasi rumahnya karena memang pekerjaannya adalah buruh bangunan.

Rumah yang kini Ponijo tempati tampak bersih, dan kokoh dengan dinding bata dan lantai keramik yang mengilap. Namun, dari nada suaranya, saya tahu rumah ini menyimpan kisah panjang, kisah tentang perjuangan, kesabaran, dan harapan yang tak pernah padam.

Rumah yang Dulu Hampir Runtuh
Sambil mempersilkan saya duduk di teras rumahnya, Ponijo menceritakan kondisi rumahnya sebelum direnovasi. “Dulu rumah saya masih dinding kayu, gedeg (anyaman bambu), dan masih lantai tanah,” ujarnya pelan bercerita tentang masa-masa sebelum program renovasi rumah dari Tzu Chi datang ke desanya. Rumahnya dulu berdinding papan dan gedeg. Lantainya tanah, penuh lubang tikus, dan tiang-tiangnya mulai keropos dimakan usia.

Rumah Ponijo telah selesai di renovasi namun karena ada rejeki tambahan Ponijo membangun sendiri untuk memplester dinding bagian dalam rumahnya sendiri. Kebetulan Ponijo berprofesi sebagai buruh bangunan.

Ponijo sedang memplaster dinding kamar dalam rumahnya. Pada waktu renovasi rumah Ponijo ada tiga seniman bangunan yang merenovasi rumahny, dan Ponijo ikut membantu sebagai seniman bangunan membangun rumahnya sendiri dalam waktu dua bulan.

“Kalau hujan, air masuk dari celah bambu. Lantai becek, dingin. Tapi mau bagaimana lagi,” ujar Ponijo, seolah kenangan lama masih menempel di sana.

Ponijo hidup bersama istrinya, Suriyah (32), dua anak mereka, dan satu Bibik. Ponijo bekerja sebagai buruh bangunan, pekerjaan yang keras tapi tak selalu menjanjikan penghasilan tetap. “Kadang ada proyek, kadang enggak. Kalau lagi sepi, ya saya tanya-tanya teman yang di Jakarta atau Bandung,” katanya sambil tertawa kecil, mencoba menutupi getirnya.

Di desa seperti Petarangan, cerita seperti Ponijo bukan hal langka. Banyak warga menggantungkan hidup pada pekerjaan serabutan. Di tengah keterbatasan ekonomi, memperbaiki rumah sering kali bukan prioritas, asal bisa berteduh, sudah cukup. Namun bagi Ponijo, rasa syukur selalu menjadi pegangan. “Rumahnya jelek, tapi saya tetap bersyukur,” ucapnya lirih.

Ketika Harapan Datang Tanpa Diduga
Suatu sore, kabar baik datang dari Kepala Desa Petarangan. RT setempat mengumpulkan warga untuk menyampaikan adanya program renovasi rumah dari Tzu Chi yang sedang menjalankan program renovasi rumah tidak layak huni di wilayah Banyumas.

“Pak RT bilang, ‘Kamu mau rumahnya direnovasi?’ Saya jawab, ‘Iya, mau. Syukur alhamdulillah,’” kata Ponijo sambil tersenyum mengingat momen itu.

Bagi orang lain, mungkin itu hanya pertanyaan sederhana. Tapi bagi Ponijo, kalimat itu adalah pintu menuju perubahan besar dalam hidupnya. Ia seperti melihat kembali cahaya setelah bertahun-tahun bertahan dalam gelap.

Selama proses renovasi, Ponijo tak tinggal diam. Ia ikut membantu para pekerja. Membuat adukan, mengangkat pasir, mencampur semen, menata bata. “Saya terbiasa kerja bangunan, jadi kalau bisa bantu ya saya bantu. Rasanya senang, seperti ikut membangun harapan saya sendiri,” tuturnya.

Ponijo berbincang dengan istrinya yang tengah menggendong anak mereka di teras rumah baru. Di belakang mereka, sisa material bangunan masih terlihat, saksi dari proses program renovasi rumah dari Yayasan Tzu Chi.

Dinding Bata dan Kehangatan yang Baru
Kini, dinding rumah Ponijo berdiri kokoh, catnya bersih, dan kusen jendela baru memberi cahaya terang ke dalam ruangan. Di lantai keramik putih itu, anak-anaknya berlari kecil sambil tertawa, sesuatu yang dulu jarang mereka lakukan di rumah lama yang lembap dan gelap.

“Sekarang tidur jadi nyenyak. Gak takut atap bocor lagi,” kata Suriyah sambil menyiapkan teh hangat untuk kami. Ia tampak bahagia, wajahnya bersinar meski sederhana.

Ponijo menatap sekeliling rumahnya, lalu menatap saya. “Saya berterima kasih banget sama Tzu Chi. Rumah ini bukan cuma tempat tinggal, tapi berkah buat keluarga saya. Saya gak bisa balas apa-apa, cuma bisa mendoakan semua yang membantu diberi kesehatan dan rezeki yang luas.”

Lebih dari Sekadar Rumah
Menjelang sore, suara azan terdengar dari masjid kecil di ujung jalan. Cahaya jingga senja menyapu dinding rumah Ponijo, menimbulkan bayangan yang hangat di beranda. Saya duduk sejenak, memandangi keluarga kecil itu tertawa, bercengkerama, menikmati suguhan teh dan sore yang damai.

Saya teringat bagaimana di banyak desa di Indonesia, ribuan keluarga masih hidup dalam rumah tidak layak huni. Namun, di tengah keterbatasan, selalu ada tangan-tangan baik yang datang membawa harapan. Program seperti yang dijalankan Tzu Chi bukan sekadar membangun rumah, tetapi membangun kehidupan, memberi rasa aman, mengembalikan martabat, dan menyalakan kembali semangat untuk melangkah maju.

Suasana rumah baru Ponijo di Desa Petarangan, Kecamatan Kemrajen, Banyumas. Dinding bata yang kokoh dan cat berwarna cerah menggantikan rumah lamanya yang dulu berdinding gedeg dan berlantai tanah. Kini, di bawah atap biru itu, tumbuh rasa aman dan syukur yang tak ternilai.   
   

Ponijo kini bukan hanya memiliki rumah yang sehat, tapi juga semangat baru untuk mencari nafkah. Ia tahu bahwa kebaikan, sekecil apa pun, bisa menjadi pondasi kokoh bagi masa depan. “Rumah ini tidak besar,” katanya menutup pembicaraan, “tapi di sini, saya merasa punya semangat yang baru lagi,” ucap Ponijo dengan senyum lepas.

Ketika saya berpamitan, kami diantar sampai ke ujung jalan, matahari mulai turun ke barat mengeluarhan cahaya kuning langsat. Di balik rumah bercat putih kombinasi abu-abu itu, cahaya lampu kecil menyala lembut di teras rumah, seperti harapan yang tak pernah padam.

Editor: Metta Wulandari

Artikel Terkait

Ponijo dan Rumah yang Dibangun oleh Kebaikan di Sudut Petarangan

Ponijo dan Rumah yang Dibangun oleh Kebaikan di Sudut Petarangan

07 Oktober 2025

Ponijo, seorang buruh bangunan dari Desa Petarangan, Banyumas, yang selama bertahun-tahun tinggal bersama keluarganya di rumah reyot berdinding gedeg dan berlantaikan tanah. Rumah yang dulu lembap dan lapuk kini berdiri kokoh.

Pemkab Banyumas Berikan Penghargaan untuk Tzu Chi Indonesia Atas Kontribusinya dalam Renovasi 500 Rumah Tidak Layak Huni

Pemkab Banyumas Berikan Penghargaan untuk Tzu Chi Indonesia Atas Kontribusinya dalam Renovasi 500 Rumah Tidak Layak Huni

25 Juli 2025

Penghargaan untuk Tzu Chi ini sebagai bentuk apresiasi atas kolaborasi strategis dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Bersinergi, Tzu Chi Wujudkan Hunian yang Layak di Banyumas

Bersinergi, Tzu Chi Wujudkan Hunian yang Layak di Banyumas

24 Juni 2025

Relawan Tzu Chi Indonesia menjalankan kegiatan penandatanganan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) renovasi rumah untuk warga di Balai Desa Somakaton, Banyumas, Jawa Tengah. Ada 132 rumah yang akan direnovasi ditahap awal ini. 

Hakikat terpenting dari pendidikan adalah mewariskan cinta kasih dan hati yang penuh rasa syukur dari satu generasi ke generasi berikutnya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -