Training TTD 2025: Ketika Relawan Ditempa, Ketangguhan Indonesia Terbangun

Jurnalis : Khusnul Khotimah, Fotografer : Arimami Suryo A

Suasana penuh semangat saat relawan Tzu Chi berlatih penanganan bencana dalam Training TTD 2025 yang diikuti 157 peserta dari berbagai daerah.

Tzu Chi Indonesia telah menunjukkan komitmennya sebagai lembaga kemanusiaan yang konsisten hadir di garis depan setiap kali bencana melanda negeri ini. Mulai dari tsunami Aceh 2004, gempa Lombok, hingga gempa dan tsunami Palu. Tzu Chi tak hanya memberi bantuan darurat tapi juga membangun kembali kehidupan para penyintas melalui hunian, layanan kesehatan, hingga program pemulihan jangka panjang.

Dengan pendekatan holistik yakni menenteramkan raga, hati, hingga memulihkan kehidupan, Tzu Chi menjadi teladan dalam penanganan bencana di Indonesia. Komitmen ini tak lahir begitu saja melainkan tumbuh dari pengalaman panjang. Dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, Tzu Chi terus belajar dan memperkuat sistem tanggap daruratnya.

Seperti pelatihan relawan tanggap darurat (TTD) Tzu Chi yang digelar pada 16-17 Agustus 2025 lalu, yang diikuti oleh 157 relawan dari berbagai daerah. Melalui pelatihan ini, Tzu Chi Indonesia menempa para relawan tanggap darurat jadi lebih tangguh dan penuh empati. Relawan dibekali pemahaman mendalam mengenai penanganan bencana baik secara teori maupun praktik langsung di lapangan.

Pelatihan yang digelar bersamaan dengan peringatan kemerdekaan RI pun semakin menumbuhkan rasa cinta para relawan Tzu Chi pada tanah air.

Pada simulasi lapangan, para peserta dibawa dalam situasi yang mendekati kondisi saat bencana. Dengan sumber daya terbatas, kekacauan di lapangan, para relawan dituntut untuk bijak menentukan perencanaan, melakukan survei, hingga pemberian bantuan. Semua harus dilakukan dalam waktu singkat.

Selain praktik lapangan, materi teori juga memberikan kesan mendalam. Salah satu yang menyentuh adalah materi dari Dr. Wang Suryani, Sp.DVE, CHT yang biasa disapa dr. Kimmy anggota tim medis Tzu Chi Indonesia. Dr. Kimmy menjelaskan pentingnya kata-kata penuh empati dalam situasi bencana. Dalam penanganan bencana, peran relawan tak sebatas memberi bantuan logistik atau tenaga fisik. Lebih dari itu relawan juga dituntut mampu menghadirkan ketentraman jiwa bagi para korban.

Dokter Kimmy memberikan materi komunikasi empati bagi relawan Tzu Chi, menekankan pentingnya kata-kata menenangkan saat bencana.

Dr. Kimmy menekankan bahwa komunikasi memiliki peran penting dalam meredakan trauma korban. Kalimat sederhana yang penuh kelembutan dapat menurunkan kecemasan, menstabilkan detak jantung dan bahkan mengaktifkan kembali sistem penyembuhan alami tubuh. Sebaliknya, kata-kata yang salah justru dapat memperburuk kondisi psikologis korban. Ucapan seperti “wah parah banget” atau “jangan panik” harus dihindari karena kata-kata negatif dapat memperkuat rasa takut dan terekam dalam pikiran bawah sadar korban.

Sebagai gantinya, relawan disarankan mengucapkan kalimat menenangkan, seperti: “Anda baik-baik saja, kami ada di sini untuk membantu Anda.” Atau “Tenang, ini akan segera berlalu, Anda tidak sendirian.” Kalimat positif semacam ini memberi rasa aman pada menit-menit awal pasca trauma, yang sangat menentukan perjalanan pemulihan korban.

Untuk memudahkan relawan dalam membangun komunikasi efektif, Dr. Kimmy menjelaskan model CREDIBLE, yakni:
  • CCredibility (Kredibilitas): Penampilan dan suara relawan harus menenangkan.
  • CConfidence (Keyakinan): Bicara dengan penuh percaya diri agar korban ikut merasa aman.
  • RRapport (Hubungan): Bangun ikatan melalui kontak mata, nada lembut, dan kepedulian.
  • EExpectation (Harapan): Tumbuhkan harapan positif, jauhkan kata-kata negatif.
  • DDirective (Arahan): Beri instruksi jelas, positif, dan spesifik.
  • IImagery (Citra Mental): Gunakan kata-kata yang membangkitkan gambaran positif.
  • BBelievability (Dapat dipercaya): Sampaikan informasi yang benar dan masuk akal.
  • LLiteral Interpretation: Hindari kata-kata yang bisa ditafsirkan negatif secara harfiah.
  • EEnthusiasm (Semangat): Nada suara penuh energi dan optimisme akan menular pada korban.

Pengalaman Dr. Kimmy dalam mendampingi korban, mulai dari tragedi AirAsia hingga bencana di Lombok dan Padang, menunjukkan bahwa kehadiran relawan dengan tutur kata menenangkan mampu mempercepat pemulihan fisik dan emosional korban.

“Dalam kondisi darurat, satu kalimat yang tepat bisa menjadi pembeda antara kekacauan dan ketenangan, bahkan antara trauma berkepanjangan atau awal dari pemulihan,” tegasnya.

Belajar dari Jepang, Membangun Ketangguhan Bencana di Indonesia
Abdul Muhari, Ph.D., Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, berbagi pengalaman dan refleksinya tentang penanggulangan bencana, baik dari pengalamannya di Jepang maupun dalam kiprahnya di Indonesia. Abdul Muhari bergabung di BNPB sejak 2019. Sebelumnya ia menempuh studi doktoral di bidang tsunami engineering di Tohoku University, Jepang, sejak 2009.

Abdul Muhari, Ph.D., Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, menjelaskan Indonesia menghadapi 15–20 bencana setiap hari atau sekitar 3.000–5.000 per tahun. Jumlah ini tak mungkin ditangani BNPB sendiri, sehingga peran relawan dan lembaga swasta sangat dibutuhkan.

Nasib mempertemukannya dengan tsunami besar Jepang tahun 2011, yang menjadi laboratorium nyata untuk penelitiannya. Setelah menyelesaikan Ph.D. tahun 2012, ia diminta pemerintah Jepang untuk terlibat dalam rekonstruksi hingga 2015.

Tahun 2018, Indonesia diguncang tsunami Palu dan tsunami Krakatau. Sistem peringatan dini terbukti tidak berjalan dengan baik. Hal ini membuat Presiden gusar dan mendorong evaluasi besar-besaran. Dari situ, Abdul Muhari diminta untuk ikut memperkuat sistem kebencanaan di Indonesia hingga akhirnya resmi bergabung dengan BNPB pada awal 2020.

Dari pengalamannya hidup di Jepang pasca-tsunami 2011, Abdul Muhari mencatat beberapa hal penting. Pertama tentang penanganan korban, dalam dua pekan pertama, pemerintah Jepang mengerahkan kekuatan militer terbesar pasca Perang Dunia II untuk fokus pada pembersihan jenazah. Media dilarang menampilkan gambar mayat agar tidak memperburuk kondisi psikologis masyarakat.

Lalu tentang kedisiplinan masyarakat. Di pengungsian, waktu itu 1.200 orang hanya dilayani 6 toilet, namun tetap terjaga kebersihannya. Anak-anak sekolah secara sukarela bergantian membawa air untuk membersihkan toilet tanpa perlu diperintah. Kemudian distribusi logistik yang tertib, bantuan makanan dibagikan sesuai jumlah pengungsi yang tercatat, sehingga tak ada yang kekurangan. Bahkan di toko swalayan, warga membeli hanya sesuai kebutuhan agar semua kebagian. Nilai solidaritas dan kedisiplinan inilah yang membuat Jepang mampu bangkit cepat dari bencana besar.

Indonesia Rawan Bencana, Perlu Edukasi dan Mitigasi
Indonesia sendiri adalah salah satu negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia. Rata-rata terjadi 3.000–5.000 bencana per tahun, mulai dari banjir, longsor, kekeringan, hingga gempa bumi. Kerugian ekonomi rata-rata mencapai Rp 20 triliun per tahun, dan bisa melonjak tajam bila terjadi gempa besar.

Sayangnya, banyak rumah warga tak tahan gempa. Misalnya, gempa Cianjur bermagnitudo 5,4 saja sudah merusak 16 ribu bangunan, sementara di Jepang, gempa lebih besar tidak menimbulkan kerusakan berarti karena kualitas konstruksi.

Ketua Tim Tanggap Darurat Tzu Chi Indonesia, Joe Riady memberikan sertifikat penghargaan kepada Abdul Muhari, Ph.D., sebagai pembicara yang telah berbagi ilmu kebencanaan.

BNPB menekankan pentingnya mitigasi prabencana, antara lain: Edukasi kebencanaan melalui sanggar bencana dan Desa Tangguh Bencana. Juga penguatan rumah-rumah warga agar lebih tahan gempa. Serta pemanfaatan teknologi pemetaan risiko bencana melalui aplikasi InaRISK.

Tentang peran, BNPB memiliki fungsi penting pada saat darurat bencana yakni menggerakkan sumber daya lintas lembaga, termasuk TNI/Polri. Membentuk posko darurat sebagai pusat koordinasi logistik, informasi, dan operasi penyelamatan. Kemudian menyederhanakan prosedur pengadaan barang dan jasa, sehingga bantuan bisa segera sampai ke masyarakat tanpa terhambat birokrasi.

Namun, Abdul Muhari menekankan bahwa peran masyarakat tetap menjadi kunci. Relawan sebaiknya tidak hanya turun setelah bencana terjadi, tetapi juga aktif dalam edukasi prabencana, agar korban dapat diminimalisir. Indonesia tidak bisa menghindari bencana, tetapi bisa mengurangi dampaknya. Belajar dari Jepang, yang mampu bangkit cepat berkat kedisiplinan warganya dan sistem yang kokoh, Indonesia diharapkan bisa membangun budaya sadar bencana yang berkelanjutan.

“Bencana bukan soal budaya, tapi soal pembiasaan. Sistem harus dibangun dan terus diingatkan, sehingga masyarakat siap setiap saat,” tegas Abdul Muhari.

Prinsip Kemanusiaan yang Harus Dipegang
Dalam sesi berbagi pengalaman, Francisco Fernando, Disaster Management Manager Wahana Visi Indonesia (WVI) menekankan pentingnya penerapan safeguarding dan kode etik dalam setiap respon bencana. Francisco yang akrab disapa Nando membuka sesi dengan mengajak peserta berinteraksi. Lebih dari separuh peserta ternyata memiliki pengalaman langsung dalam penanganan bencana, seperti di Palu dan Aceh.

Francisco Fernando, Disaster Management Manager Wahana Visi Indonesia, memaparkan pentingnya safeguarding dalam setiap respon bencana.

Dari situ, ia menegaskan bahwa kerja kemanusiaan tidak cukup hanya dengan niat baik, tetapi juga harus berlandaskan pada prinsip-prinsip kemanusiaan internasional. Nando menjelaskan empat prinsip dasar yang diakui secara global dalam kerja kemanusiaan, yakni Humanity; menyelamatkan nyawa dan meringankan penderitaan manusia. Impartiality; bantuan diberikan berdasarkan kebutuhan, tanpa diskriminasi agama, suku, gender, atau status sosial. Neutrality: organisasi kemanusiaan tidak berpihak pada pihak manapun. Dan Independence: keputusan dan tindakan kemanusiaan tidak boleh diintervensi pihak luar.

Safeguarding, menurut Nando adalah upaya mencegah dampak buruk terhadap manusia maupun lingkungan dalam program kemanusiaan. Ia mencontohkan kasus bencana di Cianjur, di mana sumbangan air mineral dalam kemasan plastik justru meninggalkan timbunan sampah setelah relawan pulang. “Kadang niat baik kita bisa berdampak buruk jika tidak dipikirkan matang-matang,” jelasnya.

Di WVI, seluruh staf dan mitra wajib menandatangani kebijakan safeguarding. Hal ini mencakup pencegahan eksploitasi, pelecehan, hingga perlindungan anak dari praktik berbahaya seperti pernikahan dini. WVI bahkan menerapkan zero tolerance terhadap pelanggaran ini.

Francisco juga menekankan beberapa hal penting bagi relawan ketika terjun ke lapangan, di antaranya: Tidak melakukan eksploitasi dalam bentuk apapun, termasuk pertukaran bantuan dengan imbalan seksual. Menjaga komunikasi yang sehat dengan anak dan kelompok rentan, baik secara langsung maupun digital. Lalu memperhatikan budaya lokal agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Serta menjaga martabat saat mendokumentasikan korban atau situasi bencana, misalnya menghindari foto yang memperlihatkan penderitaan secara eksplisit.

“Jangan sampai kita menggalang dana dengan menjual penderitaan orang,” tegasnya.

Peserta Training TTD 2025 menyimak materi safeguarding dengan penuh antusiasme.

WVI menyediakan berbagai kanal pelaporan jika terjadi dugaan pelanggaran safeguarding, mulai dari atasan langsung, call center, hingga tim khusus investigasi. Kasus yang masuk ditangani secara serius, bahkan bisa dilanjutkan ke jalur hukum. Selain itu, akuntabilitas juga menjadi kunci utama. Masyarakat penerima bantuan berhak tahu siapa pemberi bantuan, sumber donasi, dan jenis dukungan yang akan diberikan. WVI juga mendorong partisipasi masyarakat dalam menentukan bentuk bantuan agar sesuai kebutuhan lokal.

Sebagai organisasi kemanusiaan yang fokus pada anak, WVI selalu memastikan prinsip kepentingan terbaik anak dalam setiap program. Misalnya, dengan menyediakan child friendly space (ruang ramah anak) di lokasi bencana agar anak-anak tetap mendapat perlindungan dan kesempatan belajar.

Di akhir sesi, Francisco mengingatkan bahwa seketat apapun mekanisme safeguarding dijalankan, tetap ada risiko pelanggaran. Karena itu, kesadaran individu dan komitmen bersama adalah kunci.

“Bekerja di bidang kemanusiaan bukan hanya soal menolong orang, tetapi juga soal menjaga martabat dan keselamatan mereka,” pungkasnya.

Pelatihan relawan tanggap darurat ini juga menjadi wujud nyata sinergi antara Tzu Chi Indonesia dengan BNPB dan WVI. Tzu Chi telah menjalin MoU dengan kedua lembaga tersebut, baik di bidang penanggulangan bencana, kesehatan, pendidikan, hingga pembangunan masyarakat. Dengan kolaborasi ini, diharapkan respons kebencanaan di Indonesia semakin terkoordinasi, cepat, dan berkelanjutan.

Antusias Para Relawan
Meski dibekali dengan materi pelatihan yang padat, antusiasme peserta selama dua hari pelatihan sangat tinggi. Para relawan merasa bersyukur mendapat kesempatan ini. Tentu harapannya semangat ini terus dibawa saat terjun ke lapangan. Kalau nanti semangat mulai kendor, mereka akan ingat lagi tujuan awal mereka bergabung menjadi relawan Tzu Chi, yakni membantu sesama.

Dari pengalaman pahit di Palu, Masda belajar arti solidaritas dan kini mewariskannya melalui aksi nyata bersama Tzu Chi.

Saat tayangan dokumentasi bencana Palu diputar, Masda tak kuasa menahan air mata. Ia kembali teringat betapa dahsyatnya gempa dan tsunami 2018 yang memorak-porandakan tanah kelahirannya.

“Saya menangis tadi. Waktu itu biar orang kaya, punya banyak uang, mau beli apa pun tidak bisa. Semua terputus. Jadi saya hanya berharap Indonesia aman dan damai. Saya berterima kasih kepada Tzu Chi. Bantuan Tzu Chi luas sekali,” katanya.

Melihat langsung ketulusan para relawan Tzu Chi membantu warga Palu menggerakkan hati Masda untuk menjadi relawan Tzu Chi. Meski sudah berusia 58 tahun Masda menegaskan dirinya tetap siap jika diminta turun ke lapangan saat terjadi bencana. “Insya Allah kalau sehat saya siap. Tapi saya juga mengajak anak-anak muda untuk ikut,” katanya.

Editor: Fikhri Fathoni

Artikel Terkait

Training TTD 2025: Sigap dalam Kepedulian dan Tanggap dalam Tindakan

Training TTD 2025: Sigap dalam Kepedulian dan Tanggap dalam Tindakan

19 Agustus 2025

Training TTD 2025 mempertemukan relawan senior dan generasi muda dalam suasana penuh semangat. Dari sini, tongkat estafet kemanusiaan kini siap diteruskan generasi penerus.

Training TTD 2025: Melatih Diri, Bersatu, dan Bergerak Cepat di Bencana yang Tak Terprediksi

Training TTD 2025: Melatih Diri, Bersatu, dan Bergerak Cepat di Bencana yang Tak Terprediksi

20 Agustus 2025

Dalam Training TTD Tzu Chi, relawan tak hanya dibekali teori, tapi juga diuji langsung lewat simulasi situasi darurat yang menyerupai kondisi nyata di lapangan.

Training TTD 2025: Ketika Relawan Ditempa, Ketangguhan Indonesia Terbangun

Training TTD 2025: Ketika Relawan Ditempa, Ketangguhan Indonesia Terbangun

20 Agustus 2025

Melalui pengalaman, praktik lapangan, dan materi dari para pakar, Training TTD 2025 jadi ajang penting bagi relawan untuk memperkuat kesiapan bencana sekaligus menumbuhkan empati.

Bila kita selalu berbaik hati, maka setiap hari adalah hari yang baik.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -