Training TTD 2025: Sigap dalam Kepedulian dan Tanggap dalam Tindakan

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Anand Yahya, Indra Gunawan (He Qi Ange), James Yip (He Qi Barat 2)

Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei, menyampaikan sambutan sekaligus memberi semangat dan motivasi kepada para relawan peserta Training Tim Tanggap Darurat.

Pagi itu, Sabtu 16 Agustus 2025, halaman Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk dipenuhi semangat yang berbeda. Seragam biru tua para relawan Tzu Chi, tampak berbaris rapi menyambut dimulainya Training Tim Tanggap Darurat (TTD) 2025 dengan tema “Sigap dalam Kepedulian, Tanggap dalam Tindakan”. Selama dua hari penuh (16-17 Agustus), 157 peserta dari Jakarta, Tangerang, Bandung, Cikarang, Medan, Makassar, Pekanbaru, Riau, Palu, dan Padang diajak menyelami kembali jiwa serta semangat relawan TTD: siap sedia di tengah bencana, sigap namun tetap penuh welas asih.

Di dalam ruang Xi She Ting, Lantai 1 Aula Jing Si suasana terasa hangat. Di barisan depan, para relawan senior dengan rambut yang mulai memutih duduk tegap, sebagian dari mereka sudah puluhan tahun berdedikasi sebagai relawan tanggap darurat. Di belakang mereka, hadir anak-anak muda berusia 20–40 tahun, beberapa orang dari barisan ini baru pertama kali ikut pelatihan.

Kontras itu menghadirkan nuansa haru, seakan tongkat estafet sedang bersiap untuk berpindah tangan, dari generasi yang telah lama mengabdi, kepada penerus yang baru merintis langkah. Layaknya warisan cinta kasih yang diteruskan dari generasi ke generasi.

Andre Zulman, Dept. Head External Relation Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, memaparkan penjelasan umum SOP TTD sebagai panduan dalam pembagian bantuan di lokasi bencana.

Berbagai materi yang kebanyakan merupakan sharing kisah-kisah relawan di lapangan, berhasil memberikan suasana baru dalam pelatihan, seperti bernostalgia dengan ingatan. Semua kisah terasa seru dan sangat menarik untuk disimak. Di hari pertama, ada materi mengenai aksi bantuan TTD Internasional di Nepal, ada juga materi bantuan TTD di dalam negeri yakni di Palu, dan banyak kisah lainnya. Tak ketinggalan, para relawan ini juga dibekali dengan penjelasan umum mengenai Standard Operating Procedure (SOP) tanggap darurat, sebuah panduan yang penting agar semangat yang diwariskan senior bisa dipraktikkan dengan langkah yang terarah.

Tongkat Estafet yang Harus Diteruskan
Cerita-cerita itu bukan sekadar nostalgia. Ia menjadi pengingat bahwa perjalanan TTD sudah ditempa oleh pengalaman panjang sejak awal berdiri. Kehadiran tim ini bermula dari kenangan kelam tsunami Aceh 2004. Saat itu, para relawan Tzu Chi Indonesia yang jumlahnya masih terbatas dipaksa belajar cepat, tanggap, dan tegas menghadapi bencana yang maha dahsyat. Dari pengalaman itulah TTD lahir, dan sejak itu pula mereka hadir di berbagai situasi darurat: gempa Padang, erupsi Merapi, hingga gempa Palu.

Materi tentang aksi bantuan TTD Internasional di Nepal dibawakan oleh Hong Tjhin, Joe Riady, dan Jhonny, dengan moderator Johnny Chandrina (kiri).

Dalam sambutannya, Ketua TTD Joe Riady mengingatkan bahwa pelatihan bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi untuk menyatukan hati, pikiran, dan langkah. Lima prinsip dasar TTD juga kembali digaungkan, yang di antaranya: prioritas yang tepat, tepat sasaran, tepat waktu, tepat guna, dan menghormati penerima bantuan. Prinsip-prinsip inilah yang sejak awal membedakan TTD, dimana relawan hadir ke lokasi bencana bukan hanya mengantarkan bantuan, tetapi juga menjaga martabat mereka yang sedang menderita.

Ketua TTD ini juga menegaskan bahwa tugas utama para senior kini adalah menyiapkan penerus. “Kalau kita tidak mewariskan, kita pun gagal meregenerasi cinta kasih,” ucapnya.

Sebanyak 157 peserta dari berbagai wilayah mengikuti Training Tim Tanggap Darurat yang berlangsung pada 16–17 Agustus 2025, disambut dengan penuh sukacita.

Senada dengan hal tersebut, Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei pun menyuarakan kegelisahan itu dengan jujur. “Generasi pertama, kedua, ketiga sudah banyak yang berumur. Sekarang kita tanya, generasi keempat di mana?” ucapnya sambil menatap barisan relawan muda yang hadir diselingi tawa.

“Jadi selain mengemban tanggung jawab, kita berharap Shixiong Shijie semuanya juga bisa mewariskan. Tadi kan yang Shixiong-Shixiong di depan ini ada beberapa ya, beberapa yang udah berumur. Sehingga kita berharap kita bisa wariskan ke anak-anak muda yang lebih kuat, lebih powerful lagi,” lengkap Liu Su Mei.

Sesi materi mengenai bantuan TTD di Palu menghadirkan nostalgia para relawan yang pernah terjun langsung. Materi dibawakan oleh Joe Riady, Ricky Budiman, dan Edi Sheen, dimoderatori oleh Rudy Suryana (kiri).

Jhonny, relawan yang turut berbagi kisah dalam bantuan internasional di Nepal ikut memberikan semangat kepada generasi muda untuk melanjutkan estafet TTD. “Tiga orang Shibo (relawan senior) ini kalau digabungin umurnya, jumlahnya itu sudah 200 tahun,” ucapnya disambut tawa para peserta.

“Jadi saya mengharapkan Shixiong-Shijie yang lebih muda, ayo ikut tanggap darurat agar kita bisa semakin banyak pengalaman dalam terjun membantu sesama. Tentu kita berharap kegiatan ini jarang terjadi dan kalau bisa jangan ada. Tapi kalau dibutuhkan, ayo yang muda-muda, kita regenerasi, ayo mulai bergabung ke tim tanggap darurat,” ajaknya penuh semangat.

TTD memang butuh kader kerelawanan yang baru. Bahkan Joe Riady mengaku dengan nada ringan dan tawa, “Memang harus regenerasi ya, karena saya juga sudah kepala tujuh.”

Suara dari Barisan Muda
Di sela-sela wajah senior, tampak tiga sosok muda yang semangatnya amat terasa. Mereka adalah potret kecil dari generasi baru yang mulai menapaki jalan TTD. Ada Kennardy Salim (24), relawan Tzu Chi Pekanbaru yang mengenal Tzu Chi dan ikut berkegiatan sejak Tzu Shao (kelas bimbingan budi pekerti bagi siswa sekolah). Ada pula Tommy Cendana (24), relawan Tzu Chi komunitas He Qi PIK yang ikut Tzu Chi bersama orang tuanya. Juga Benny (30), relawan Tzu Chi komunitas Barat 1, yang bergabung bersama Tzu Chi melalui Tzu Ching (muda mudi Tzu Chi di jenjang perkuliahan).

Ketiganya datang dengan antusiasme yang sulit disembunyikan. Bagi mereka, pelatihan ini bukan sekadar teori di kelas, tapi latihan nyata untuk bersiap bila suatu saat bencana datang tanpa diduga.

Kennardy Salim (tengah) ikut dalam simulasi pascabencana, sigap mempersiapkan dan memasang spanduk bersama relawan lainnya.

Kennardy Salim yang akrab disapa Ken merasa beruntung bisa mengenal Tzu Chi sejak muda, sebuah kesempatan yang menurutnya tak semua orang dapatkan. “Kalau jodohnya sudah datang lebih cepat, ya kenapa tidak? Saya ingin mendedikasikan diri sepanjang hidup,” ucapnya, matanya berbinar.

Berbeda dengan Ken yang baru pertama kali mengikuti pelatihan, Tommy Cendana sudah pernah turun ke lapangan dan ikut dalam TTD. Tahun 2018 lalu, ia ikut membantu di Palu setelah gempa besar mengguncang kota itu. Pengalaman itu membekas dalam di hati dan pikiranya.

Tommy mengaku, sebagai anak muda, godaan untuk menghabiskan waktu dengan kesenangan duniawi memang besar. Namun di balik semua itu, ia menemukan makna lain, kebaikan yang ditanam hari ini akan kembali suatu saat nanti. “Berbuat baik itu seperti investasi jangka panjang. Tidak instan, tapi hasilnya nyata di masa depan,” katanya sambil tersenyum ringan.

Benny (berbaju biru) bersemangat memasang bendera Tzu Chi dalam sesi simulasi pascabencana, simbol tekad melanjutkan tongkat estafet TTD.

Sementara itu, Benny membawa cerita yang lebih personal. Masa remajanya penuh kenakalan, tapi perlahan arah hidupnya berubah sejak bergabung dengan kegiatan Tzu Chi di SMA hingga perkuliahan. Ia juga masih sangat terkesan melihat bagaimana para senior yang usianya sudah tak lagi muda, namun tetap turun tangan tanpa ragu.

“Sebetulnya mereka bisa saja memilih santai, tapi justru mengorbankan tenaga, waktu, bahkan biaya sendiri berkegiatan Tzu Chi,” ujarnya, nada kagum jelas terdengar. Teladan itu menyalakan tekadnya untuk menjaga Tzu Ching tetap hidup, sekaligus siap mendampingi para Shibo di TTD.

Bagi mereka bertiga, pelajaran terpenting bukan hanya soal SOP atau teknis lapangan. Tapi mereka ingin bisa menyerap kebijaksanaan juga kewelasasihan dari para senior: bagaimana mengatur tim di tengah kekacauan, tetap tenang saat situasi darurat, hingga menjaga perasaan warga yang menerima bantuan.

“Jangan takut untuk berbuat baik,” pesan yang membekas di hati Ken. Sementara Tommy mengaku belajar berpikir dua-tiga langkah ke depan, sebuah naluri yang menurutnya sudah mendarah daging pada para senior setelah bertahun-tahun di lapangan.

Ambil Bagian dalam Misi Kemanusiaan
Tak seorang pun menginginkan bencana datang. Namun bila alam berbicara lain, para relawan TTD ingin memastikan diri sudah siap, baik secara hati maupun keterampilan untuk menjadi bagian dari tangan-tangan yang menolong, hadir membawa harapan di tengah duka.

Karena itu, pelatihan dua hari ini menjadi titik temu antara masa lalu dan masa depan. Di satu sisi, para senior dengan rambut beruban berbagi pengalaman panjang yang mereka bawa sejak awal berdirinya TTD. Di sisi lain, tampak mata-mata muda memandang dengan semangat baru.

“Generasi muda adalah penerus, mau bagaimana pun caranya. Para senior mungkin mastermind, tapi tangan dan tenaga harus dibantu anak muda sesuai kapasitas dan kapabilitasnya,” ujar Benny. Kata-katanya menjadi gambaran jelas bagaimana semangat kemanusiaan perlahan terwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dari suara para relawan muda inilah, makna regenerasi TTD menjadi nyata. Hal ini bukan soal siapa yang paling kuat, melainkan siapa yang bersedia menjaga visi misi dan welas asih tetap menyala. Seperti pesan Master Cheng Yen, “Setetes air pun mampu membasahi tanah kering, jika terus mengalir tanpa henti.”

Selama semangat itu diwariskan, TTD akan selalu hadir, sigap dalam kepedulian, tanggap dalam tindakan, dan siap berdiri di sisi mereka yang paling membutuhkan.

Editor:Fikhri Fathoni

Artikel Terkait

Training TTD 2025: Sigap dalam Kepedulian dan Tanggap dalam Tindakan

Training TTD 2025: Sigap dalam Kepedulian dan Tanggap dalam Tindakan

19 Agustus 2025

Training TTD 2025 mempertemukan relawan senior dan generasi muda dalam suasana penuh semangat. Dari sini, tongkat estafet kemanusiaan kini siap diteruskan generasi penerus.

Menghadapi kata-kata buruk yang ditujukan pada diri kita, juga merupakan pelatihan diri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -