Training TTD 2025: Melatih Diri, Bersatu, dan Bergerak Cepat di Bencana yang Tak Terprediksi

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Anand Yahya, Arimami Suryo A, James Yip (He Qi Barat 2)

Para peserta Training Tim Tanggap Darurat 2025, mengikuti praktik lapangan dalam simulasi pascabencana. Mereka menyusun strategi pemberian bantuan sesuai dengan SOP TTD.

Bencana selalu datang tanpa pemberitahuan. Karena itu, kesiapan dan ketanggapan jadi hal yang sangat penting. Di momen-momen genting seperti itulah, relawan Tim Tanggap Darurat (TTD) Tzu Chi hadir sebagai sahabat pertama yang membawa tidak hanya bantuan, tapi juga harapan dan ketenangan. Mereka adalah orang-orang biasa dengan semangat luar biasa, terus belajar dan berlatih agar bisa sigap dan penuh kasih saat dibutuhkan.

Training TTD yang baru saja berlangsung akhir pekan lalu (16–17 Agustus 2025) menjadi pelengkap yang penting, menggabungkan pembelajaran teknis dan prosedur yang sistematis dengan sentuhan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi jiwa Tzu Chi. Tidak hanya diisi dengan teori dan sesi berbagi pengalaman, pelatihan ini juga mengajak relawan turun langsung ke lapangan untuk melakukan simulasi. Di sini, mereka belajar mempraktikkan langkah-langkah penting seperti mobilisasi cepat, koordinasi antar tim, hingga cara mendistribusikan bantuan dengan tertib dan humanis.

Di hadapan para relawan senior yang bertindak sebagai juri, masing-masing tim menjelaskan seperti apa pembagian tugas dan alur pembagian bantuan dilakukan di lapangan.

Dalam waktu satu jam, para relawan mempersiapkan proses pembagian bantuan dan mengemas barang bantuan sesuai kategori bencana.

Menurut Rudy Suryana pengisi materi simulasi, tujuan utama dari latihan ini adalah agar relawan memiliki kemampuan yang utuh, bukan hanya teknis, tapi juga kepemimpinan, perencanaan, serta penerapan SOP di lapangan. “Yang membedakan Tzu Chi dengan organisasi lain adalah bagaimana kita tetap menghadirkan keteraturan dan ketertiban tanpa kehilangan sentuhan humanis. Itu yang harus dimunculkan di lapangan,” jelasnya.

Pada simulasi ini, enam tim yang terbagi di lapangan langsung sibuk mempersiapkan perlengkapan simulasi masing-masing. Dalam waktu satu jam, tiap tim harus bisa mempersiapkan proses pembagian bantuan. Untuk itu mereka langsung sigap membagi tugas dan berkoordinasi untuk mendirikan tenda Tzu Chi, memasang spanduk kegiatan, mengemas barang bantuan sesuai kategori bencana (kebakaran, banjir, dan lainnya), dan menata alur pembagian bantuan. Terakhir, mereka akan mempresentasikan hasil koordinasi mereka kepada relawan senior yang bertindak sebagai juri.

Antusiasme relawan terlihat jelas saat simulasi berlangsung. Mereka diajak merasakan bagaimana kondisi nyata di lapangan ketika keadaan darurat terjadi dan tidak ada yang menyiapkan semua keperluan, seperti ketika bantuan internasional di Nepal dilakukan. Relawan Tzu Chi Indonesia yang menjadi bagian tim TTD bersama relawan Tzu Chi internasional kala itu, menerima tanggung jawab sebagai koordinator logistik. Hong Tjhin, Joe Riady, dan Jhonny menuturkan banyak sekali tantangan yang harus dihadapi dan sangat kompleks, mulai dari medan yang sulit, keterbatasan logistik, hingga perbedaan bahasa dan budaya.

Pemasangan tenda menjadi satu hal yang paling penting dalam pembagian bantuan di lokasi bencana. Untuk itu masing-masing tim mempraktikkannya dengan baik.

Adenan Hasan dari tim 5 mempresentasikan pembagian tugas dan alur pemberian bantuan. Ia pun berbagi beberapa kendala yang ditemui di lapangan.

Seluruh tim terus berkoordinasi di lapangan dan memastikan ketersediaan logistik bantuan untuk dibagikan kepada warga yang terdampak bencana. Di sana relawan belanja sendiri, mulai dari beras hingga sikat gigi. Yang mana, sangat tidak mudah menemukan barang-barang tersebut di lokasi bencana. Tak sampai di sana, TTD Tzu Chi untuk Nepal itu kemudian mengemas bantuan, menyiapkan kupon, hingga mengatur alur penerima bantuan.

“Jadi di simulasi ini, kita semua latihan kepemimpinan sekaligus kerja tim dalam keadaan yang darurat. Dengan panduan SOP, tentu kita bukan diminta untuk saling adu pendapat, tapi bagaimana menyatukan banyak kepala dan perbedaan demi tujuan bersama, yaitu menyukseskan bakti sosial pembagian bantuan,” tambah Rudy Suryana.

Tapi kondisi di lapangan memang sering jauh dari perkiraan. Seperti simulasi dari tim 5 yang diwakili oleh Adenan Hasan. Tim 5 menuturkan bahwa mereka mendapat kendala berupa miss-informasi data-data yang didapat dari beberapa pihak eksternal. Hal ini mengakibatkan tersendatnya pembagian bantuan, mungkin karena nama penerima bantuan yang mirip atau berulang (misalnya: Aji Guna dan Guna Aji).

“Simulasi begini sih bermanfaat ya karena kalau di lapangan kita pasti ada aja kendalanya. Ini sebagai media pembelajaran kita sama-sama,” kata Adenan antusias.

Seperti kata Adenan, walaupun hanya simulasi, kendala serupa memang kerap terjadi di lapangan. Mengenai hal tersebut, Rudy menekankan pentingnya fleksibilitas: “Kita memang punya data awal, tapi saat ada perbedaan harus disesuaikan dengan kebijakan dan situasi di lokasi. Itu bagian dari kebijaksanaan yang harus dimiliki relawan.”

Helen Suryana (seragam biru, ketiga dari kanan) dan tim 2 mempraktikkan yel-yel tim mereka. Seluruh peserta tampak bahagia dan sukacita.

Rudy Suryana menerima souvenir berupa topi Tzu Chi dan pin, yang diberikan langsung oleh Ketua TTD Joe Riady di akhir kegiatan training TTD.

Berbeda kasus, Helen Suryana dari tim 2, menyatakan kendala terbesar dari simulasi lapangan ini adalah menyamakan isi kepala. “Semua anggota tim ingin hasil yang maksimal, jadi seluruhnya mengutarakan ide. Untungnya nggak ada yang sampai adu mulut ya karena sudah biasa di Tzu Chi jadi masing-masing sudah lebih bisa kontrol diri,” katanya sumringah. “Akhirnya ya disepakati memilih ide yang terbaik dari yang baik baik lainnya,” lengkapnya.

Menanggapi hal tersebut, Rudy juga mengingatkan pentingnya menjaga hubungan antarrelawan, terutama dalam menyatukan persepsi dan meredam ego. “Sebagai senior, kita tugasnya membimbing. Sebaliknya, sebagai junior, kita tugasnya menghormati. Kalau semua mau melebur dan saling belajar, pasti lebih baik. Jangan sampai gontok-gontokan, karena tujuan kita sama: membantu warga yang terdampak bencana,” ujarnya.

Di akhir sesi, Rudy berpesan agar setiap relawan selalu berpegang pada prinsip He Xin, He Qi, Hu Ai, Xie Li, yakni: bersatu hati, harmonis, penuh cinta kasih, dan bergotong royong. “Kesepakatan dulu, tujuan apa yang mau dicapai. Setelah itu jalankan dengan rasa percaya dan cinta dalam kelompok. Kalau ego yang dikedepankan, tujuan nggak akan tercapai. Tapi kalau mau mengecilkan ego, semua bisa terlaksana dengan baik,” pesannya menutup simulasi.

Editor: Fikhri Fathoni

Artikel Terkait

Training TTD 2025: Melatih Diri, Bersatu, dan Bergerak Cepat di Bencana yang Tak Terprediksi

Training TTD 2025: Melatih Diri, Bersatu, dan Bergerak Cepat di Bencana yang Tak Terprediksi

20 Agustus 2025

Dalam Training TTD Tzu Chi, relawan tak hanya dibekali teori, tapi juga diuji langsung lewat simulasi situasi darurat yang menyerupai kondisi nyata di lapangan.

Training TTD 2025: Sigap dalam Kepedulian dan Tanggap dalam Tindakan

Training TTD 2025: Sigap dalam Kepedulian dan Tanggap dalam Tindakan

19 Agustus 2025

Training TTD 2025 mempertemukan relawan senior dan generasi muda dalam suasana penuh semangat. Dari sini, tongkat estafet kemanusiaan kini siap diteruskan generasi penerus.

Training TTD 2025: Ketika Relawan Ditempa, Ketangguhan Indonesia Terbangun

Training TTD 2025: Ketika Relawan Ditempa, Ketangguhan Indonesia Terbangun

20 Agustus 2025

Melalui pengalaman, praktik lapangan, dan materi dari para pakar, Training TTD 2025 jadi ajang penting bagi relawan untuk memperkuat kesiapan bencana sekaligus menumbuhkan empati.

Menggunakan kekerasan hanya akan membesarkan masalah. Hati yang tenang dan sikap yang ramah baru benar-benar dapat menyelesaikan masalah.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -