Dengan melihat kondisi dan kemampuan insan Tzu Chi, terkadang menjadi suatu tantangan yang harus dihadapi Johnny Chandrina.
Tzu Chi Indonesia menggelar pelatihan Relawan Tanggap Darurat (TTD) pada 16–17 Agustus 2025, diikuti oleh relawan dari berbagai daerah. Selama dua hari peserta dibekali pemahaman mendalam mengenai penanganan bencana, baik melalui teori maupun praktik langsung di lapangan.
Setiap sesi memberi manfaat, dari pembahasan SOP hingga pengalaman lapangan seperti banjir, kebakaran, penyaluran sembako, hingga gempa Palu. Relawan belajar bahwa penanganan bencana bukan sekadar menyalurkan bantuan, tapi juga menjaga ketertiban, berkoordinasi, dan menyampaikan cinta kasih secara humanis. Rangkaian pengalaman ini menjadi fondasi sekaligus pengingat bahwa di balik setiap bencana selalu ada ruang untuk menumbuhkan welas asih, kebijaksanaan, dan semangat kebersamaan.
Belajar dari Pengalaman Banjir
Banjir umumnya disebabkan oleh faktor alam, cuaca, maupun ulah manusia. Kadang pula karena saluran air yang tersumbat. Jenisnya beragam; banjir lokal, rob, kiriman, bandang, lahar, maupun lumpur. Karena itu, relawan perlu memahami kondisi di lapangan agar bantuan dapat disalurkan secara tepat.
“Kita harus melihat kategori banjir dengan melakukan survei atau kunjungan langsung ke lokasi bencana, bukan hanya berdasarkan laporan,” jelas Johnny Chandrina, Ketua He Qi Tangerang.
Ia menekankan bahwa saat bencana datang, relawan harus memupuk welas asih dan membangkitkan cinta kasih. “Relawan Tzu Chi harus berkoordinasi dengan aparat setempat, RT, RW, menggali data, dan menyiapkan paket bantuan. Semua penyaluran harus dilakukan secara tertib dan berbudaya humanis.”
Johnny kemudian mengenang banjir besar Jakarta pada 2014. Saat itu, fasilitas yang ada sangat terbatas. Depo Kosambi bahkan pernah dijadikan basecamp darurat dengan dapur berukuran hanya 2x5 meter. Namun, dari dapur kecil itu relawan berhasil menyalurkan 10.700 bungkus makanan hangat dengan melibatkan lebih dari 100 relawan.
Johnny mengakui, setiap bencana membawa tantangan tersendiri. Di satu wilayah, begitu ada banjir melanda, tentunya tidak semua rumah insan Tzu Chi yang kena. Di sini, bagaimana kita berkoordinasi untuk mengajak orang yang tidak terkena bencana, dapat terjun membantu orang yang terkena bencana. Juga mengadakan bakti sosial kesehatan bila banjir sudah surut.” tambahnya.
Koordinasi dan kerja sama yang baik, lanjut Johnny, mampu membangkitkan cinta kasih dan memperluas jangkauan bantuan. Meski begitu, pengalaman di lapangan tak selalu mulus. Ia pernah mengalami penolakan saat hendak menyalurkan makanan hangat kepada korban banjir. “Itu hak warga untuk menolak, mungkin karena mereka merasa mendapat bantuan yang lebih baik dari pihak lain,” ucapnya.
Dari pengalaman itu, Johnny semakin paham bahwa bantuan harus disalurkan dengan bijak dan tepat sasaran. Survei lapangan menjadi kunci agar bantuan benar-benar diterima oleh mereka yang membutuhkan.
Meski menghadapi kendala, relawan tidak pernah berhenti berkreasi. Walau hanya dengan bahan sederhana seperti nasi, tahu, tempe, dan telur, relawan bisa menyajikan makanan bergizi dan layak. Cara ini kemudian menginspirasi banyak orang untuk turut mendonasikan makanan matang atau sayur sederhana, hingga akhirnya mereka pun ikut terlibat menjadi relawan.
Kisah dari Lapangan
Suherman, Wakil Ketua He Qi Barat 1, menuturkan bahwa penyaluran bantuan kerap menghadapi kendala teknis. “Walaupun kami sudah berkoordinasi dengan pihak kelurahan, RW, dan RT, masih ada RT yang enggan menyerahkan data warganya. Ada yang beralasan ingin menyalurkan bantuan sendiri,” ujarnya.
Suherman, walau mendapatkan kesulitan dalam lapangan, namun menyikapinya dengan cinta kasih Tzu Chi.
Namun, kendala itu justru menjadi momen pembelajaran. Saat akhirnya bantuan disalurkan, RT yang semula menolak justru terharu melihat ketulusan relawan. “Hubungan yang awalnya kurang harmonis berubah menjadi kerja sama yang erat,” tambah Suherman.
Hal serupa dialami Mulyady Salim saat bakti sosial di Dumai. Meski awalnya ada keraguan dari aparat setempat, pada akhirnya mereka tersentuh oleh semangat kemanusiaan relawan Tzu Chi yang menyalurkan bantuan tanpa pamrih.
Menyikapinya dengan Senyuman
Yopie Budiyanto (74), fungsional Tanggap Darurat He Qi Pusat juga berbagi pengalamannya. Menurutnya, dalam penyaluran bantuan kebakaran sering kali ada warga terdampak yang tidak terdata di RT. “Biasanya kami menyesuaikan dengan jumlah kupon. Jika ada paket tersisa karena warga yang terdata tidak mengambil, barulah kami berikan kepada mereka yang tidak terdaftar,” jelasnya.
Dalam berbagi pengalamannya, Yopie Budiyanto (kanan), setiap menangani kasus kebakaran dalam pemberian bantuan paket kebakaran, sering terjadi ada beberapa warga korban kebakaran tidak mendapatkan bantuan Tzu Chi karena data mereka tidak ada di Ketua RT.
Ia teringat momen saat mendampingi korban kebakaran. “Hari pertama banyak warga menangis, berteriak, bahkan pingsan. Kami datang tanpa seragam, baru keesokan harinya dengan seragam Tzu Chi kami mulai melakukan survei dan pencatatan,” kenangnya.
Yopie berharap pengalaman ini bisa menginspirasi generasi muda untuk ikut terjun sebagai relawan. “Banyak kebakaran disebabkan arus listrik atau kelalaian kompor gas. Karena itu, perlu ada kaderisasi agar generasi muda siap melanjutkan tugas ini,” tutupnya.
Mulyadi berbagi pengalamannya saat mengikuti pelatihan tanggap darurat, menekankan pentingnya koordinasi dan semangat kebersamaan dalam penanganan bencana.
Mulyady Salim, Ketua Tanggap Darurat Tzu Chi Pekanbaru, juga menambahkan bahwa setiap bencana memiliki karakteristik sendiri. “Misalnya kebakaran di indekos mahasiswa, tentu bantuan yang diberikan berbeda dengan kebakaran rumah biasa. Kami sesuaikan dengan kebutuhan korban,” ujarnya.
Ia pun mengisahkan pengalaman menyedihkan ketika seorang petugas pemadam kebakaran gugur saat bertugas. Saat mengantar bantuan duka, keluarga korban terharu mengetahui bahwa mereka bukan kerabat, melainkan relawan Tzu Chi. “Saya tidak tega melihat keluarga berduka. Tapi di saat seperti itu, cinta kasih harus kita hadirkan,” kata Mulyady dengan mata berkaca-kaca.
Bagi relawan Tzu Chi Pekanbaru, bencana adalah panggilan untuk segera bergerak. Survei dilakukan cepat, data korban diverifikasi, bahkan bantuan pakaian diusahakan tiba di hari yang sama. “Semua dilakukan agar korban tidak merasa sendirian,” pungkas Mulyady.
Kita mengakui bahwa Indonesia adalah negeri yang diberkahi pemandangan pantai, gunung, dan laut yang indah. Namun, di balik keindahan itu tersimpan duka mendalam. Salah satunya adalah gempa bumi bermagnitudo 7,4 SR yang disertai tsunami dan fenomena likuifaksi di Desa Petobo, Jono Oge, Sigi, serta Palu, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018. Peristiwa itu merenggut ribuan jiwa dan meninggalkan luka besar bagi bangsa.
Atas dasar misi kemanusiaan, Tzu Chi tergerak membantu melalui penyaluran makanan, pelayanan medis, bakti sosial kesehatan, hingga pembangunan rumah—200 unit di Palu dan Sigi, serta 500 unit di Sentani. Relawan Tzu Chi juga hadir mendampingi para korban dengan penuh ketulusan.
Dengan pengalaman panjang di lapangan, Joe Riyadi menekankan pentingnya kesiapsiagaan dan kerja sama antarrelawan.
Krisis yang terjadi tidak hanya pada kebutuhan pangan, tetapi juga bensin dan tenaga medis. Ricky, Wakil Ketua TTD Tzu Chi Indonesia, mengenang masa itu. Ia segera menghubungi dr. Ong yang kebetulan berada di Makassar. “Dok, bisa bawa tim dokter ke Palu? Di sini semua dokter tidak ada. Rumah sakit penuh dengan jenazah dalam kantong mayat, kami tidak tahu harus bagaimana,” kisahnya. Dr. Ong menyanggupi permintaan itu dengan syarat tim medis diterbangkan menggunakan pesawat Hercules, dan kebutuhan makan ditanggung Tzu Chi.
Namun, tantangan tak berhenti di sana. Peralatan medis TIMA sempat hilang selama dua hari sehingga pengobatan sempat terhenti. “Sebelum bantuan makanan datang, kami hanya bisa menyalurkan uang duka Rp1,5 juta kepada korban. Syukurlah, relawan Tzu Chi Medan akhirnya tiba membawa 20 dus nasi xiang ci fan sehingga kami bisa bertahan,” kenang Joe Riady, Ketua TTD Tzu Chi Indonesia.
Kesulitan lain muncul ketika bantuan dari Taiwan berupa selimut dan makanan xiang ci fan sempat ditahan aparat. “Paket dikirim atas nama Kapolda Palu, dan dianggap bukan milik Tzu Chi. Akhirnya setelah kami datang dengan seragam biru putih, baru bantuan itu diserahkan kembali, meski jumlahnya sudah berkurang,” jelas Joe Riady.
Di tengah keterbatasan, bantuan tetap mengalir. Setiap hari 80 ribu roti didatangkan dari Makassar. Edy Sheen bersama Djalal membagikannya kepada anak-anak di pengungsian. “Melihat senyum anak-anak saat menerima roti, hati terasa hangat. Tapi ada seorang anak perempuan yang hanya diam. Ternyata ia sudah tiga hari kehilangan ibunya yang tertelan likuifaksi. Saat mendengar kata ‘mama’, ia berteriak keras mencari ibunya. Saya ikut menangis,” kenang Edy dengan mata berkaca-kaca.
Dalam misi membawa 500 bungkus nasi ke wilayah pegunungan, Edy juga bertemu seorang ibu lansia yang mengejar mobilnya. “Kami sudah lima hari hanya makan mi instan,” kata sang ibu sambil mencium tangan Edy setelah menerima sebungkus nasi. “Saya meneteskan air mata. Betapa berartinya satu bungkus nasi bagi mereka,” ujarnya.
Pengalaman ini mengajarkan relawan arti sejati dari welas asih. “Relawan harus menjaga diri, memahami situasi, dan tidak membahayakan diri sendiri,” pesan Joe Riady.
Lim A On kerap menitikkan air mata saat merasakan kesedihan para penyintas, bahkan tak jarang ikut menangis ketika menceritakan kondisi mereka.
Lim A On (56) yang juga hadir dalam misi itu menyebut gempa Palu sebagai bencana paling kompleks yang pernah ia lihat. “Gempa, tsunami, likuifaksi, dan gempa susulan terus terjadi. Dalam hitungan detik, Palu hancur. Kami harus mencari tempat aman, bahkan sulit mendapat transportasi untuk menjangkau lokasi,” jelasnya.
Ia juga menceritakan kendala bahasa saat menjangkau desa pedalaman. “Kadang kami tidak mengerti bahasa mereka, jadi kami hanya menggunakan bahasa cinta,” ucapnya. Meski begitu, ia mengakui wajar bila korban bertindak emosional karena trauma yang dialami. “Tugas kita adalah tetap bijak menjaga keamanan dan kenyamanan semua orang.”
Bencana Palu mengajarkan bahwa hidup ini tidak kekal. Namun, dari setiap tragedi, relawan Tzu Chi belajar untuk selalu bersyukur, menumbuhkan welas asih, dan menciptakan kembali berkah yang membawa cahaya dan kebahagiaan bagi dunia.
Editor: Khusnul Khotimah